Setahun lalu, Grup Soho (GS) memberanikan diri mengikuti ajang Hall of Fame Balanced Scorecard yang diselenggarakan Palladium Group Inc. Ceritanya, sejak tahun 2000 Palladium Group — konsultan yang membantu perusahaan menerapkan balanced scorecard (BSC) — memberi penghargaan kepada perusahaan-perusahaan yang berhasil mencapai kinerja mengesankan setelah mengimplementasikan BSC. Kebetulan, GS menerapkannya sejak 2005. Kendati demikian, Preskomnya, Tan Eng Liang, memandang perlu mengikuti lomba ini. ”Ajang ini menjadi proses pembelajaran bagi Grup Soho. Kami jadi tahu sudah sampai mana implementasi sistem manajemen yang bagi sebagian perusahaan dianggap kompleks ini,” tuturnya beralasan.
Meskipun saat itu tidak menjadi juara, Tan Eng tidak mempermasalahkan. ”Saya yakin sistem ini (BSC) dapat membantu Soho mencapai visi dan misinya. Kami berharap kinerja organisasi akan meningkat secara keseluruhan, bukan sekadar peningkatan angka penjualan. Keyakinan inilah yang mendasari komitmen saya mengimplementasikan sistem ini secara penuh,” ungkapnya. Tahun 2007, dia kembali mengikutkan Soho di ajang bergengsi ini. Dan, tak disangka, perusahaannya berhasil meraih juara.
Kuatnya tekad Tan Eng menerapkan BSC di GS merupakan daya tarik tersendiri. Maklum, ini adalah perusahaan keluarga. Sedikit menengok ke belakang, perusahaan ini beralih kepemimpinan ke generasi kedua setelah ayah Tan Eng, Tan Tjhoen Lim, yang juga pendiri perusahaan, wafat pada 1997. Sejak itu, kepemimpinan diserahkan ke putra tertuanya. Di tangan Tan Eng, GS tumbuh pesat. Perubahan demi perubahan terus dilakukan agar mampu bersaing di industrinya. Di antaranya, pembenahan di bidang teknologi informasi (TI) yang dilakukan pada 1998. Tak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk mengimplementasikan TI secara terintegrasi di tiga anak perusahaan — PT Soho Industri Pharmasi, PT Ethica Industri Farmasi dan PT Parit Padang (distribusi) — bernilai US$ 2 juta. Padahal, di tahun yang sama, perusahaan lain sedang megap-megap karena dihantam krisis.
Sebenarnya, GS pun tak luput dari krisis. Namun, Tan Eng bersyukur, perusahaannya tak dililit utang US$. Selain penerapan TI, lelaki berpenampilan kalem ini juga merekrut banyak profesional dari luar keluarga. Bahkan, jabatan presdir pun diserahkan ke tangan profesional. Untuk jabatan ini, dia memilih Andreas Halim Djamwari, yang sebelumnya berkarier di perusahaan farmasi juga.
Perubahan mencolok yang dilakukan Tan Eng adalah ketika dia memutuskan menerapkan BSC di perusahaan. ”Konsep BSC muncul dari Pak Tan Eng sekitar 2003. Dulu anak-anak perusahaan berjalan sendiri-sendiri. Transparansi sangat kurang. Orang-orang di level menengah-bawah tidak tahu perusahaan akan dibawa ke mana. Lalu, Pak Tan Eng mencari metode yang tepat untuk membenahi Soho. Ketemulah balanced scorecard,” kata Andreas menjelaskan latar belakang penerapan BSC.
Keinginan menerapkan BSC makin kuat karena Tan Eng ingin kelompok bisnisnya menjadi pemain di tingkat regional, bahkan global. ”Kami ingin menjadi pemain ekspor yang terbaik di bidang farmasi. Untuk itu, banyak requirement yang harus kami patuhi dan benahi, mulai dari internal organisasi sampai membuka pasar di luar negeri. Tetapi, bagaimana kami bisa menjadi pemain global jika internal organisasinya saja belum solid?” tanyanya pada diri sendiri.
Setelah mencari metode yang tepat, pada 2005 digunakanlah BSC versi aslinya dari Robert S. Kaplan dan David P. Norton asal Amerika Serikat. Dengan bantuan tool BSC, tiap unit di GS dituntun melakukan perbaikan sistematis dalam menjalankan tugas masing-masing sehingga tidak ada lagi karyawan yang melihat pekerjaan hanya dari dirinya sendiri. Sekadar gambaran, dulu paradigma karyawan di ketiga anak perusahaan berbeda-beda. Menurut Andreas, melalui BSC, paradigma karyawan yang terpecah-pecah itu disatukan. ”Dalam penerapan BSC ada yang namanya alignment. Sehingga, kami jadi lebih terbuka kepada karyawan. Mereka jadi tahu strategi perusahaan,” ujarnya. Dengan cara tersebut, diharapkan motivasi karyawan bertambah dan perusahaan pun jadi lebih transparan.
Lantas, bagaimana penerapannya?
Andreas menjelaskan, prosesnya dimulai dari visi dan misi pemilik GS, yang diturunkan ke dalam bentuk strategic map yang dilanjutkan dengan strategic map di level board of director (Grup). Dari strategi di level grup, kemudian diturunkan lagi ke tiga anak usaha sehingga masing-masing anak usaha pun memiliki corporate strategic map. Setelah itu, ke bawah lagi, hingga ke level manajer dan akhirnya sampai ke strategic map diri sendiri.
Direktur Manajemen Strategi Korporat GS Renyati Latu menjelaskan, dalam penerapan BSC strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam empat perspektif yang meliputi: aspek finansial, customer, proses internal, serta learning & growth. Untuk mengetahui arah perusahaan, masing-masing perspektif tersebut digali lagi. Caranya, dengan melakukan banyak diskusi di antara pihak-pihak terkait di perusahaan. Dalam hal ini, masing-masing perspektif harus memiliki objektif yang jelas dan terukur.
Pertama, di aspek finansial, ketiga anak perusahaan harus bisa menjelaskan bagaimana agar bisa tumbuh optimal. Juga, bagaimana melakukan efisiensi. Kedua, dari sisi customer, mereka harus bisa menentukan siapa pelanggan GS: dokter, end user, apotek, atau lainnya. ”Customer tentu ingin obat yang berkualitas. Setelah diminum, langsung kelihatan manfaatnya,” Reny menjelaskan.
Ketiga, di proses internal, karyawan harus tahu upaya yang dilakukan untuk mencapai kebutuhan pelanggan. Saat ini GS dikenal sebagai perusahaan farmasi yang banyak memproduksi obat-obatan herbal. Karena itu, di proses internalnya, karyawan harus terus berinovasi menciptakan obat-obatan herbal sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Selain itu, juga perlu disiapkan bagaimana perusahaan mampu menjalankan proses tersebut secara tepat waktu dengan kualitas terbaik. Dan keempat, dalam perspektif learning & growth, perusahaan menyiapkan SDM agar kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga. ”Kami meng-assess karyawan untuk melihat kekurangannya, lalu memberikan pelatihan sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu, kami juga menyediakan information capital. Maksudnya, bagaimana SDM kami bisa menggunakan informasi sebaik mungkin untuk tujuan bersama,” Reny memaparkan.
Dengan sistem BSC, kini sasaran anak-anak usaha dan unit-unit bisnis menjadi lebih terarah dan ada proses alignment. Tiap kali mengadakan rapat, strategi pasti dibahas. Jadi, tidak ada karyawan GS yang merasa lebih hebat daripada yang lain. Setiap masalah juga dibicarakan bersama. Misalnya, untuk mencapai suatu sasaran, akan dikerjakan sendiri ataukah butuh bantuan dari holding perusahaan. Di sisi lain, pengukuran kinerja pun menjadi sangat jelas sehingga tidak saling mencurigai.
Diakui Reny, awalnya manajemen menemui kendala. Maklum, perusahaan yang mempekerjakan 3.300 karyawan ini telanjur berjalan sendiri-sendiri. ”Mulanya ada resistensi dari karyawan. Gap juga terjadi antara divisi manufaktur dan marketing. Dulu, kedua divisi ini tak ada koordinasi,” ungkapnya. Untuk menyosialisasi konsep ini ke karyawan, manajemen melakukan pendekatan dengan banyak cara. Misalnya, melalui program pelatihan yang diberikan langsung oleh konsultan BSC yang menangani GS. Pesertanya mulai dari pemilik perusahaan sampai manajer madya. Agar bisa memahami konsep, Reny menuturkan, karyawan diajak memasukkan ide dan dilibatkan dalam membuat objektifnya. Selanjutnya, untuk anak-anak perusahaan diteruskan dengan rencana komunikasi (communication plan). ”Misalnya, dengan memasang spanduk dan membagi-bagikan kaus kepada karyawan,” Reny mencontohkan.
Menambahkan Reny, Manajer Pengembangan Pelatihan Korporat Richard Lumban Tobing menjelaskan, untuk lebih memahami BSC, perusahaan memiliki tim komunikasi yang bergerilya ke 25 cabang GS yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, perusahaan memiliki buletin internal bernama Pareto (singkatan dari Parit Padang, Ethica dan Soho) yang mengomunikasikan BSC ke seluruh karyawan.
Sekalipun demikian, segala upaya yang dilakukan tidak ada artinya tanpa peran yang menonjol dari pemilik dan pemimpin perusahaan. Andreas menegaskan, untuk menyukseskan implementasi BSC, mutlak dibutuhkan komitmen pemegang saham dan pemimpin perusahaan. Pasalnya, biaya yang dikucurkan untuk menerapkan program ini sangat besar — mencapai US$ 1 juta. Bagi Tan Eng, dana yang besar tidak menjadi masalah selama bisa memberi manfaat yang lebih besar lagi. ”Saya tidak khawatir. Meskipun nilai investasinya mahal, saya yakin benefit-nya jauh lebih besar,” katanya menandaskan. Terlebih, ”Saya ingin karyawan Grup Soho merasa nyaman dan bangga bekerja di sini.”
Setelah berjalan selama dua tahun, hasilnya mulai dirasakan. Pendapatan GS meningkat rata-rata 25% sejak 2004. Di saat bersamaan, industri farmasi malah pernah mengalami pertumbuhan minus pada 2006. Laba sebelum pajak dalam dua tahun terakhir juga meningkat dari 8% menjadi 11%. Berdasarkan data IMS, pangsa pasar GS pun meningkat tajam dari 4,6% menjadi 7,9%. Sayang, baik Andreas maupun Tan Eng tidak membeberkan lebih rinci angka-angkanya. Ini bisa dimaklumi lantaran bukan perusahaan publik. Keberhasilan itu belum termasuk berbagai penghargaan yang diterima selama dua tahun terakhir berkaitan dengan customer satisfaction. Reny mengklaim, setelah menerapkan BSC, kepuasan pelanggan GS meningkat dua kali dibanding sebelumnya.
Dilihat dari sisi SDM, Richard menilai, tidak ada lagi kegiatan pelatihan yang dilakukan hanya sekadarnya. ”Kegiatan training kini lebih terencana antardivisi dan lebih jelas tujuannya bagi perusahaan,” ujarnya. Yang menarik, di GS sistem punishment (hukuman) berbeda dari perusahaan lain pada umumnya. Bentuk hukuman lebih kepada pemberian motivasi agar karyawan mampu mencapai target yang sudah ditentukan. Sementara untuk reward, hal itu ditentukan oleh manajemen berdasarkan kinerja karyawan.
Keberhasilan menerapkan BSC juga dapat dipantau dari penjualan produk GS. Beberapa produk — seperti Curcuma Plus Emulsion dan Diapet — penjualannya ikut melonjak. Dalam artikel SWA edisi 20/2007, Direktur Penjualan & Pemasaran Divisi Kesehatan Konsumen PT Soho Industri Pharmasi (SIP) Harun Pramono, mengungkapkan, sejak diluncurkan pada 2001 Curcuma Plus menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Setelah sukses dengan Curcuma Plus, SIP mengeluarkan Curcuma Plus Emulsion. Selama dua tahun meramaikan pasar, menurutnya, penjualan Curcuma Plus Emulsion mencapai 200%.
Salah satu pemilik apotek yang diwawancarai SWA, Irvanansy, membenarkan, dalam dua tahun terakhir produk GS memperlihatkan kinerja yang cukup bagus, baik dari sisi penjualan maupun pengembangan produk. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, jumlah item produk sekarang lebih banyak. Khusus produk GS, saat ini di apotek milik Irvan terdapat sekitar 20 item. ”Selama dua tahun ini terdapat 8 produk baru yang dikeluarkan Soho. Salah satunya, Curcuma Plus, dalam beberapa varian,” ujar pemilik Apotek Khudil Farma di Jalan Raden Inten, Jakarta Timur ini. Irvan mengaku, di apoteknya Curcuma Plus terjual 40-an botol/bulan.
Menanggapi penerapan BSC di GS, pengamat manajemen Riri Satria berpendapat, BSC adalah alat untuk memetakan strategi, bukan untuk memformulasikan strategi. Jadi, proses pengembangan dan implementasi BSC dimulai dengan menyelaraskan visi, misi, sistem nilai, tujuan, sasaran dan strategi bisnis perusahaan. ”Kalau tidak, apanya yang mau dipetakan?” ungkapnya. Hanya saja, karena GS adalah grup perusahaan, perlu penyelarasan (alignment) antarunit-bisnis di dalam grup. ”Inilah yang menjadi isu utama dalam buku Kaplan dan Norton yang berjudul Alignmen. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu menyelaraskan strategi antarunit-bisnis dengan grup serta menjadikan strategi tersebut sebagai dasar strategic themes dalam penyusunan BSC. Dengan demikian, semuanya akan in-line atau dalam bahasa BSC-nya aligned,” kata Riri lebih detail.
Dari kacamata pengamat, Riri menilai, metode BSC mendapat banyak sambutan baik, dari kalangan praktisi maupun akademisi bisnis dan manajemen. Dalam perjalanannya, akademisi dan praktisi mengembangkan BSC sehingga menjadi lebih kaya. Bisa dikatakan, BSC mengalami perkembangan pesat, baik secara vertikal maupun horizontal. ”Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat sampai ke tingkat individu (personal scorecard). Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang fungsional, bahkan sangat spesifik. Perkembangan pesat ditunjukkan oleh bidang fungsional manajemen SDM sejak 2001,” Riri menjelaskan.
Lebih jauh Riri memaparkan, ada beberapa alasan mengapa BSC begitu fenomenal. Pertama, konsep ini memaksa pemimpin organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada indikator kinerja (key performance indicator). Ini mengubah pola pikir para pemimpin organisasi yang terbiasa dengan pola pikir umum dan tidak operasional, atau sangat filosofis, menjadi kuantitatif dan operasional.
Kedua, pemimpin organisasi dipaksa berpikir sistematis karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships) yang harus dibangun untuk setiap strategi dan program kerja organisasi. Ini juga mengubah pola pikir para pemimpin organisasi yang terbiasa dengan pola pikir tidak berkait dan tidak bisa melihat dampak dari sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemis dan integratif.
Ketiga, pemimpin organisasi akan berpikir komprehensif karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif, tidak hanya dari satu sudut pandang. Ini akan mengubah pola pikir pemimpin organisasi yang biasanya cenderung parsial menjadi lebih komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan utuh.
Keempat, sebagai sebuah metode dalam manajemen strategi, BSC dikenal sangat simpel dan mudah dipahami. ”Metode ini tidak rumit dan membutuhkan suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami dan menjadi pengguna metode ini,” ujar Riri seraya menambahkan, metode ini mudah dipahami oleh berbagai lapisan organisasi.
Kelima, BSC dikenal sangat fleksibel dan bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk organisasi bisnis komersial, tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi. Namun untuk organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, ini tentu tidak tepat. ”Kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan dengan kebutuhan organisasi,” katanya.
Keenam, BSC dapat diintegrasikan dengan berbagai metode manajemen lainnya, seperti SWOT, six sigma dan manajemen risiko. Riri pun yakin, BSC diciptakan bukan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada, melainkan melengkapinya. Bisa dikatakan, metode ini dilahirkan untuk menjadi perangkai (integrator) bagi metode-metode manajemen yang telah ada saat ini. (Swa.co.id)