BannerFans.com

Mengembangkan Ketrampilan Menjual

Pintar ngecap dan lincah, sepatu mengkilat, senyum ramah serta sikap mendesak, bukan lagi dianggap hal yang penting dalam seni menjual. Para spesialis yang mengajarkan teknik menjual (salesmanship) kini lebih menekankan teknik pendekatan cara lain: Seorang salesman memperlakukan langganan atau calon langganan bagaikan teman atau saudara, serta lebih banyak mendengar ketimbang berbicara. Tampaknya teknik ini lebih berhasil.

Untuk sukses dalam bisnis, yang dibutuhkan sebenarnya hanya satu, yaitu pembeli atau konsumen. Teknologi, gedung mewah, neraca, dan segala elemen lain yang dianggap perlu bagi suatu bisnis tidak akan ada artinya kalau tidak ada yang bersedia membayar produk atau jasa yang dihasilkan. Jelasnya, segala upaya harus mendukung tema sentral konsumen.

Sekarang timbul pertanyaan, sebe-rapa besar pengetahuan Anda tentang konsumen Anda? Mengapa mereka membeli dan Anda? Dan apakah Anda memanfaatkan sales meeting sebagai sarana informasi, atau apakah manajemen bisa memanfaatkannya sebagai kesempatan mendapatkan informasi pasar dari orang lapangan?

Dalam berhubungan dengan konsumen atau calon konsumen, tiga pusat pelatihan teknik menjual di Amerika Serikat mengajarkan teknik baru.

Ketiganya — Xerox Learning Systems (salah satu anak perusahaan Xerox Corp.), Wilson Learning Corp. dan Fo¬rum Corp. menekankan bahwa se-orang tenaga penjual (salesman, marketer) harus menjadi pendengar dan penanya yang baik, sensitif terhadap kebutuhan orang lain, paham betul dengan produk yang dia jual, dan lebih merupakan penasehat (advisor) yang santai ketimbang pekerja yang sibuk. Seorang salesman tidak perlu memaksakan diri untuk menjual sesuatu produk kepada orang yang tidak atau belum membutuhkannya.

Ketiga lembaga pendidikan ini memang lebih menekankan pendekatan melalui penjalinan hubungan erat. saling percaya, dan hubungan jangka panjang daripada menjual dan segera. Dengan pendekatan seperti itu, akan bisa tercipta konsumen yang langgeng. “Falsafah kami memang melayani konsumen sebagai konsultan, bukan sebagai penjaja,” kata Richard D. Songey, seorang instruktor dari Forum.

Dengan menawarkan pendekatan ‘baru tersebut, ketiga lembaga pendi¬dikan ini tampaknya cukup sukses. Sebagian besar perusahaan raksasa di Amerika telah menggunakan jasa mereka dalam beberapa tahun terakhir. Klien Xerox Learnings, misalnya, 80% datang dari 500 perusahaan paling terkemuka negeri itu. Sementara Wilson Learnings sudah mengajarkan teknik penjualan kepada 92.000 orang di tahun 1984. Forum, pendatang paling baru di antara mereka, sudah mengajar tidak kurang dari 30.000 orang dengan klien paling besar AT & T.

Bagaimana seharusnya seorang sa¬lesman yang baik? Pertanyaan ini, menurut Curtis R. Berrien, senior vice president di Forum, lebih baik di-jawab dengan mengungkapkan definisi seorang salesman yang buruk. Katanya, salesman yang buruk tidak mampu mendengar dan memberi perhatian dengan baik. Sikapnya mendesak, ngecap terus-menerus, menyerang, dan segera melupakan klien setelah berhasil. Dia juga lebih banyak membicarakan karakteristik teknis dari produk ketimbang keuntungan yang bisa diberikan produk yang dia jual. Dia tidak memahami siapa target, tidak menyusun prioritas dan tidak mengikuti strategi. Ketiga lembaga tadi sama-sama setuju bahwa seorang salesman yang baik ada¬lah kebalikan dari itu.

Toh masing-masing memiliki teknik pendekatan yang berbeda. Wilson, misalnya, menekankan pada pendekatan perilaku (behavior approach); menunjukkan bagaimana seorang salesman berhubungan dengan orang-orang dengan kepribadian yang berbeda-beda. Sementara Xerox dan Forum lebih menekankan pada teknik berkomunikasi dari mulai seorang salesman bertemu sampai meninggalkan konsumen.

Dalam pembahasannya, Xerox mengemukakan bagaimana cara mengatasi tiga rintangan utama yang sering dihadapi seorang salesman — skeptisme, keberatan, dan sikap acuh tak acuh calon konsumen. “Kalau Anda menemukan seorang yang bersikap acuh tak acuh terhadap produk yang Anda tawarkan” maka Anda harus menyelidiki barangkali dia hanya karena belum tahu bahwa produk Anda sebenarnya dia butuhkan,’f demikian nasehat Will Boston, seorang pengajar di Xerox Learnings.

Menghadapi sikap skeptis, menurut Will Boston, seorang salesman tidak perlu adu argumentasi. “Anda sebaiknya menghargai sikapnya dan segera alihkan pembicaraan pada hal-hal positif.” Toh sikap paling utama adalah kecepatan menangkap tanda-tanda ingin membeli. Seorang salesman yang ’siap’, katanya, tidak akan menemui kesulitan menangkap sinyal-sinyal keinginan membeli dari seorang calon konsumen.

Forum Corp., yang baru didirikan setahun lalu, menjuduli programnya dengan “Face-to-face Selling Skill.” Meskipun terminologi yang digunakan sedikit berbeda, namun pesan paling mendasar hampir sama seperti di Xerox.

Dalam Face-to-face selling, Forum menyarankan untuk “menempatkan diri pada posisi klien atau calon kon¬sumen, ajukan pertanyaan dan de-ngarkan jawaban dengan baik serta usahakan memberi penjelasan cukup.” Dengan cara seperti itu seorang calon konsumen akan lebih terbuka memberi informasi tentang kebutuhan dan keinginannya.

Sementara itu Wilson Learning mengajarkan pendekatan yang dikenal dengan counselor selling. Salah satu pokok pembahasan termasuk Social Styles Sales Strategy. Di sini Wilson Learnings membedakan masyarakat konsumen dalam empat tipe menurut sikap perilakunya: tipe analistis. tipe sopir, ramah tamah, dan ekspresif.” Masine-masing orang memiliki satu tipe dominan dan satu kurang dominan. Hal ini, katanya, perlu dipahami agar seorang salesman bisa dengan mudah membuat deal dengan konsumen. Seseorang yang ekspresif, misalnya, tidak akan pernah bisa digaet menjadi langganan kecuali kalau Anda berhasil menciptakan suasana hangat dalam menjalin hubungan pribadi.

Seseorang yang ekspresif, misalnya, tidak akan pernah bisa digaet menjadi langganan, kecuali kalau Anda berhasil menciptakan suasana hangat dalam menjalin hubungan pribadi. Dalam marketing, memang terdapat beberapa hambatan psikologis. Konsumen memiliki persepsi negatif terhadap beberapa jenis produk yang biasanya termasuk produk baru atau produk berteknologi baru.

Persepsi negatif di sini bisa berupa kekuatiran terhadap suatu konsep dan produk baru. Ini bisa terlihat ketika memasarkatt teleyisi berwarna, misalnya. Masyarakat pada mulanya cenderung berpikian negatif menyangkut sinar radiasi yang dipancarkan layar berwarna. Toh akhirnya sekarang seluruh penonton TV tidak lagi mengingat sinar radiasi itu.

Persepsi lain bisa pula terhadap harga yang dianggap terlalu tinggi pa-da saat suatu produk baru muncul di pasaran. Persepsi-persepsi seperti ini tentunya tidak mudah ‘dibetulkan’. Peranan marketing man dituntut lebih besar. Yang paling penting adalah bagaimana sikap dan kepribadian dalam menghadapi serta menangani konsumen.

Secara umum, persyaratan paling utama dalam diri seorang tenaga penjual adalah antusiasme. Namun perlu dicatat bahwa kalau sekelompok salesman berkumpul, dengan atau tanpa kehadiran manajemen, situasi ketidakpuasan dan keluhan selalu mewarnai sehingga tidak jarang perusahaan merasa kurang perlu mengada-kan sales marketing karena dikuatirkan justru menciptakan kecaman dan kericuhan baru.

Gejala seperti itu dalam seni menjual dengan consultative selling tentunya harus dihindari. Untuk mengetahui apa kebutuhan konsumen, mengapa dia membeli produk atau jasa tertentu, tidak mungkin tercapai tanpa entusiasme tinggi dalam diri seorang salesman atau marketing man.

Yang merasa kecam biasanya macam-macam, termasuk harga produk terlalu tinggi, servis dan ketepatan penyerahan yang buruk meskipun tidak jarang kegagalan melangkah tugas pemasaran sebenarnya terletak dalam diri mereka sendiri.

Atau dengan kata lain, apa pun metoda atau strategi yang dijalankan, keberhasilannya sangat tergantung pada sikap dan kepribadian para pelaksanaannya. Ketiga lembaga pendidikan tadi memang menawarkan strategi baru.