Timoma adalah salah satu jenis keganasan di rongga toraks yang kasusnya terus meningkat, terutama di Rumah Sakit Persahabatan, sebagai rumah sakit rujukan penyakit paru di Indonesia. Timoma termasuk tumor mediastinum ganas selain seminoma, sel germinal, teratoma, tumor neurogenik, dan limfoma. Tumor mediastinum, termasuk timoma, sangat jarang didiagnosa saat ukuran tumor masih kecil. Kemungkinan karena anatomi rongga mediastinum sendiri yang memberikan peluang bagi tumor untuk terus membesar tanpa keluhan klinis. Hal itulah yang menyebabkan timoma baru terdiagnosa di stadium III ke atas.
Divisi Onkologi Toraks, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan telah mengeluarkan buku panduan tentang diagnosis dan tatalaksana timoma. Dalam buku panduan ini disebutkan timoma adalah neoplasma epitel timus dan merupakan neoplasma yang cukup sering pada tumor mediastinum anterior. Timus adalah organ yang berperan dalam sistem imun dengan memproduksi sel-T. Timus memiliki dua tipe sel yaitu epithelial dan limfolitik. Timoma dapat timbul pada kedua tipe sel itu, yang dapat tumbuh jinak (noninvasive) atau ganas (invasif).
Diagnosis dan tatalaksana timoma sebenarnya tidak terlalu rumit dan hampir serupa dengan prosedur diagnosis sebenarnya tidak terlalu rumit dan hampir sama dengan prosedur diagnosis untuk kanker paru. "Hanya saja timoma seringkali sulit diatasi terutama jika disertai gejala myesthenia gravis," ujar Dr. Elisna Syahruddin, PhD, SpP dari RS Persahabatan.
Korelasi timoma dengan myasthenia gravis sangat erat. Di Amerika Serikat tercatat 14 kasus myasthenia gravis per 100.000 penduduk. Laporan dari Jepang mendapatkan 24,8% myasthenia gravis pada 270 kasus timoma. Laporan lain menyebutkan 10% kasus myasthenia gravis ternyata juga ditemukan timoma dan diperkirakan lebih dari setengah dari seluruh kasus timoma akan mempunyai myesthenia gravis. Gejala dan tanda myasthenia gravis bisa hanya satu atau gabungan gejala seperti ptosis, diplopia, gangguan mengunyah dan menelan, suara serak, gangguan pernapasan dan kelemahan otot setempat.
Diagnosis dan staging
Diagnosis timoma memerlukan keterlibatan multidisiplin yaitu doter sepsialis paru, radiology, patologi anatomi, neurologi, bedah toraks, dan keganasan darah. Prosedur diagnosis dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pasti dan stage penyakit, sehingga pengobatan dapat segera ditentukan. Diagnosis meliputi pemeriksaan fisis, imaging, prosedur invasi, dan patologi anatomi.
Lebih dari 30% kasus timoma tidak memberikan gejala khas, demikian juga pemeriksaan fisis. Tetapi keluhan yang sering ditemukan adalah batuk, sesak napas, nyeri dada kalalu menarik napas dalam, gangguan menelan, suara serak, dan ada benjolan di leher atau di sekitar sternum. Foto toraks PA dan lateral akan memperlhatkan gambaran massa di daerah mediastinal atau tumor mediastinum dengan pinggir licin dan kadang tampak klasifikasi. Kesulitannya adalah jika ukuran tumor besar atau telah terjadi invasi ke organ sekitarnya, misalnya paru atau jantung dan bahkan efusi pleura. CT-scan dan toraks dengan kontras akan dapat memberikan gambaran lebih akurat daripada foto toraks.
Bronkoskopi dapat pula memperkuat dugaan kearah timoma jika penampakan bronkoskopi adalah stenosis kompresi dari arah tumor, lesi infiltratif didapat jika telah terjadi invasi timoma ke saluran napas. Transtorakal needle aspiration tanpa atau dengan tuntunan CT juga memberikan nilai akurasi yang cukup tinggi.
Dari sisi patologi anatomi, dilakukan pemeriksaan spesimen yang diambil. Timoma terdiri dari berbagai jenis. Klasifikasi WHO membagi timoma menjadi tipe A, AB, B dan seterusnya hingga tipe C. Sedangkan tim onkologi Paru RS Persahabatan membagi timoma berdasarkan subtype histologik epitel timik. Tapi pada intinya pembagian jenis tipe, sama saja. Tipe A sama saja dengan timoma meduler, dan seterusnya. Selangkapnya lihat tabel di bawah ini.
Pengobatan
Pilihan pengobatan timoma berdasarkan stage dan hispatologi timoma yang didapat. Bedah adalah pilihan terapi untuk timoma stage I, II, dan III dengan jenis bedah yang dilakukan reseksi komplit. Pada kasus dengan kegawatan respiratori, kardiologi, atau sisitem saluran cerna, dapatdilakukan De bulking untuk membuang tumor sebanyak mungkin sehingga kegawatan dapat teratasi dan segera diikuti dengan radiasi pascabedah (adjuvan radioterapi).
Kemoterapi dapat diberikan pada semua stage misalnya stage I, II, dan III yang tidak mungkin dilakukan pembedahan. Kemoterapi adjuvan untuk timoma stage III yang dibedah diberikan 2 minggu pascabedah dan syarat-syarat kemoterapi telah terpenuhi.
Kemoterapi diberikan setiap 4 minggu (28 hari) dan maksimal 6 siklus dengan evaluasi setelah pemberian 2 siklus. Kombinasi kemoterapi dan terapi diberikan secara sekuensial karena tingginya efek samping masing-masing tindakana. Paduan obat kemoterapi untuk timoma ada beberapa. Antara lain cisplatin + doxorubicin + cyclophosphamide. Atau rejimen cisplatin + etoposide (PE), rejiman etoposide + ifosfamid +cisplatin (VIP) atau doxorubicin + cisplatin + vincristin + cyclophosphamide (ADOC).
Pengobatan myasthenia gravis
Hal lain yang menjadi pertimbangan dalam pengobatan adalah ada tidaknya myasthenia gravis. Diagnosis myasthenia gravis dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan antara lain melakukan tes konfirmasi dengan melihat respon pemberian short-acting anticholinerastase, tensilon test, biopsi otot, atau pengukuran level asetilkolin reseptor di serum penderita. Di rumah sakit persahabatan, diagnosis myasthenia gravis dilakukan dengan EMG dan Harvey-Masland Test.
Bila myasthenia gravis positif, maka timomektomi sebaiknya dilakukan terutama pada penderita usia > 60 tahun. Prognosis akan lebih baik pada penderita yang menjalani timomektomi. Tindakan lain adalah dengan obat-obatan. Pemberian obat untuk myasthenia gravis merupakan terapi jangka panjang dan bahkan seumur hidup. Obat-obatan yang digunakan antara lain, golongan aminoglikosida atau antikolinestarase. Steroid dapat diberikan pada penderita yang mempunyai respon buruk terhadap antikolinesterase.