Pelepasan harga obat ke mekanisme pasar ternyata tidak membuat harga obat menjadi murah sehingga terjangkau masyarakat luas, termasuk obat yang telah habis masa patennya.
Demikian terungkap dalam disertasi Erni Widhyastari untuk memperoleh gelar doktor bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Disertasi bertajuk ”Faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Harga Obat di Indonesia Tahun 2003-2005” tersebut berhasil dipertahankan dengan yudisium sangat memuaskan, Sabtu (17/10).
”Harga obat masih ditentukan penjual, bukan mengikuti harga persaingan pasar,” ujar Erni, yang juga bekerja sebagai Kasubdit Pemeriksaan Paten III Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Erni mengambil data harga dan penjualan dari Intercontinental Medical Statistic selama September 2003 hingga Juni 2008. Total sampel dari populasi obat-obat yang telah berakhir masa patennya antara tahun 2000-2006.
Dalam mendukung ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, terdapat 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing (PMA), 4 perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia. Guna menjamin kualitas obat, industri farmasi harus memenuhi standar yang diukur dengan indikator cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Erni mengatakan, berdasarkan data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), belanja farmasi untuk tahun 2005-2009 meningkat dari Rp 23,6 triliun menjadi Rp 32,90 triliun. Belanja obat itu dapat ditekan jika harga obat bisa dikendalikan. Hasil survei Departemen Kesehatan menunjukkan variasi harga obat yang sangat besar. Dia mencontohkan harga amoksilin per kapsul 250 mg bervariasi dari Rp 210-Rp 2.902. Harga yang termahal hampir mencapai 14 kali dibandingkan dengan harga obat generik yang termurah.
”Jika cara pembuatan obat yang baik dapat menjamin standar mutu sehingga efek obat tidak berbeda, penggunaan obat termahal itu menyebabkan pemborosan,” ujarnya.(Kompas.com)
Demikian terungkap dalam disertasi Erni Widhyastari untuk memperoleh gelar doktor bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Disertasi bertajuk ”Faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Harga Obat di Indonesia Tahun 2003-2005” tersebut berhasil dipertahankan dengan yudisium sangat memuaskan, Sabtu (17/10).
”Harga obat masih ditentukan penjual, bukan mengikuti harga persaingan pasar,” ujar Erni, yang juga bekerja sebagai Kasubdit Pemeriksaan Paten III Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Erni mengambil data harga dan penjualan dari Intercontinental Medical Statistic selama September 2003 hingga Juni 2008. Total sampel dari populasi obat-obat yang telah berakhir masa patennya antara tahun 2000-2006.
Dalam mendukung ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, terdapat 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing (PMA), 4 perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia. Guna menjamin kualitas obat, industri farmasi harus memenuhi standar yang diukur dengan indikator cara pembuatan obat yang baik (CPOB).
Erni mengatakan, berdasarkan data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), belanja farmasi untuk tahun 2005-2009 meningkat dari Rp 23,6 triliun menjadi Rp 32,90 triliun. Belanja obat itu dapat ditekan jika harga obat bisa dikendalikan. Hasil survei Departemen Kesehatan menunjukkan variasi harga obat yang sangat besar. Dia mencontohkan harga amoksilin per kapsul 250 mg bervariasi dari Rp 210-Rp 2.902. Harga yang termahal hampir mencapai 14 kali dibandingkan dengan harga obat generik yang termurah.
”Jika cara pembuatan obat yang baik dapat menjamin standar mutu sehingga efek obat tidak berbeda, penggunaan obat termahal itu menyebabkan pemborosan,” ujarnya.(Kompas.com)