Pendahuluan
Bagi para dokter yang usianya lebih dari usia pertengahan mungkin akan terkejut karena ternyata pengertian tentang osteoporosis tidak seperti yang selama ini dipahaminya yaitu osteoporosis selalu digambarkan diderita oleh seorang wanita tua dengan punggung yang bungkuk.
Definisi osteoporosis yang telah disetujui oleh WHO ialah “ suatu gangguan tulang sistemik yang karakteristik dengan massa tulang yang rendah dan perubahan mikroasitektur jaringan tulang dengan konsekuensi meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terjadinya patah tulang”.1
Definisi ini memperkenalkan konsep massa tulang rendah dan hubungannya dengan risiko terjadinya patah tulang. Pada keadaan massa tulang rendah maka patah tulang yang sebenarnya tidak selalu telah terjadi. Secara logik maka seorang penderita osteoporosis lebih sering ditemukan keadaan tanpa gejala sampai benar terjadi patah tulang. Akibatnya seorang yang mempunyai massa tulang rendah sering tidak terdeteksi dan bila keadaan ini terus berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi patah tulang patologik. Karena itu sangatlah penting untuk mengidentifikasi seseorang yang mempunyai risiko besar menderita osteoporosis sehingga dapat dilakukan berbagai tindakan pencegahan dan pengobatan yang efektif.2
Tulang, Densitas massa tulang dan Puncak kepadatan massa tulang
Tulang manusia terdiri atas tulang trabekuler 20% dan tulang kortikal 80%. Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus menerus yang disebut sebagai remodelling tulang. Kira-kira 10 % tulang manusia dewasa mengalami remodelling setiap tahunnya. Bone turnover ini akan mencegah kelelahan tulang dan sangat penting bagi pemeliharaan homoeostasis kalsium. Apabila terjadi ketidak-seimbangan antara kecepatan resorpsi dengan formasi terjadilah kehilangan massa tulang.
Resorpsi tulang dilakukan oleh sel yang disebut osteoklast, sedangkan pembentukan tulang oleh sel yang disebut osteoblast. Proses ini berlangsung dari awal kehidupan dan berlanjut terus seumur hidup. Pada awal kehidupan maka pembentukan tulang terjadi lebih besar dari penyerapan, sehingga tulang terbentuk sampai kepadatan maksimal. Puncak kepadatan tulang ( Peak bone mass density) tercapai pada usia sekitar 30. Setelah usia tersebut, walaupun setiap hari terjadi pembentukan tulang baru, tetapi terjadi pengurangan kepadatan akibat proses penyerapan lebih besar dari proses pembentukan. (lihat gambar 1)
Puncak kepadatan tulang yang dicapai pada usia 30 tahun pada tiap orang berbeda-beda, jadi pada usia tersebut ada yang mempunyai kepadatan tulang yang keras (sangat padat), ada pula yang kurang padat. Untuk tercapainya puncak kepadatan tulang yang sempurna (cukup padat), maka dibutuhkan berbagai syarat, antara lain :
1. Konsumsi kalsium yang cukup, baik dari susu atau sayuran maupun dari suplemen. Hal ini disebabkan karena 99% kalsium tubuh berada di tulang, sehingga bila konsumsi kalsium tulang kurang maka pembentukan tulang baru akan terhambat, sehingga puncak kepadatan tulang tidak tercapai dengan sempurna (tulang kurang padat)
2. Aktifitas fisik yang cukup dan teratur.Untuk pembentukan tulang baru diperlukan rangsangan terus menerus pada tulang, berupa benturan-benturan dalam tulang. Sejak dini seseorang harus tetap aktif bergerak, baik itu dalam bentuk olah-raga, latihan fisik maupun dalam kegiatan sehari-hari. Orang yang sejak balita kurang bergerak (sedentary), misalnya kurang berjalan, kurang gerak,hanya naik turun mobil, banyak duduk didepan TV dan sebagainya, maka puncak kepadatan tulangnya tidak sempurna, oleh karena itu sejak dini seseorang harus tetap bergerak untuk "menabung tulang" agar tulangnya cukup padat. 3. Cukup vitamin D dan sinar matahari.Sinar matahari penting untuk pembentukan vitamin D, yang diperlukan untuk pembentukan tulang baru. Di negara yang kurang sinar matahari diperlukan suplemen vitamin D yang cukup.
4. Peranan hormon sex. Hormon sex wanita yaitu estrogen dan hormon sex pria yaitu testoteron sangat berperan untuk mencegah terjadinya penyerapan tulang.Pada wanita yang tidak pernah haid atau mengalami menopause dini akibat berbagai penyakit maka puncak kepadatan tulang tidak mencapai sempurna, sehingga tulang yang terbentuk kurang padat dan dikemudian hari akan lebih cepat meng- alami keropos tulang (osteoporosis).
Puncak kepadatan tulang pada usia 30 tahun sangat penting, karena seperti disebutkan diatas, setelah usia 30 tahun akan terjadi pengurangan kepadatan tulang sebesar 1-2% /tahun, sebagai akibat penyerapan lebih besar dari pembentukan tulang.
Pada wanita usia pasca-menopause (50-60 tahun), terjadi penurunan kadar hormon estrogen dalam tubuh yang menyebabkan kerja osteoklast berlebihan, sehingga proses penyerapan tulang akan lebih banyak dan berkurangnya kepadatan tulang akan lebih cepat.
Pada pria usia 50-60 tahun kadar testoteron relatif lebih stabil, sehingga proses penyerapan tulang berlangsung lambat.
Pada usia lanjut, baik pada pria maupun wanita akan terjadi penurunan pembentukan tulang yang berakibat pula makin berkurangnya kepadatan tulang.
Apabila puncak kepadatan tulang pada seseorang individu pada usia 20-25 tahun tidak mencapai sempurna (kurang padat) dan pada usia sesudahnya individu tersebut kurang aktif bergerak atau didapatkan faktor risiko tertentu, maka pada wanita pasca-menopause dapat terjadi pengurangan kepadatan tulang sampai tingkat osteoporosis .
Mardjuadi AW mengukur ketebalan korteks metakarpal dari foto polos jari tangan bangsa Indonesia dan dibandingkannya dengan 4 contoh populasi lain yaitu Belgia, Afrika Selatan Kulit Putih, Afrika Selatan Kulit Hitam dan York’s Britain , ternyata korteks metakarpal orang Indonesia lebih tebal dari yang lain.
Roeshadi D mendapatkan bahwa puncak massa tulang wanita Indonesia dicapai pada usia 30 – 34 tahun, dengan BMD sebesar 0.49 gr/cm2 dan BMC sebesar 2.88 gr/cm2, pada pre-menopause terjadi kehilangan BMD sebesar 0.84%/tahun dan BMC 0.96%/tahun ,pada pasca-menopause kehilangan BMD sebesar 1.40%/tahun dan BMC sebesar 1.25%/tahun.
Epidemiologi dan faktor risiko
Morbiditas dan mortalitas osteoporosis sebenarnya terletak pada kejadian fraktur. Oleh karena itu penelitian epidemiologik lebih melihat pada kejadian fraktur yang diakibatkan osteoporosis. Di Amerika Serikat setiap tahun ditemukan 1.5 juta fraktur yang dikaitkan dengan osteoporosis, yang terdiri dari 700.000 fraktur vertebra, 250.000 fraktur radius distal (Fraktur Colles), 250.000 fraktur panggul dan 300.000 patah tulang lainnya. 3,4 Risiko fraktur vertebra, panggul dan radius distal pada usia 50 tahun keatas pada wanita kulit putih sebesar 40% dan pria kulit putih sebesar 13 %. Setelah fraktur panggul terjadi kematian pada 10- 20% penderita dalam 6 bulan pertama, 50% penderita tidak mampu berjalan sendiri dan 25 % harus tinggal di panti wredha3. Di Amerika Serikat , osteoporosis diperkirakan menyerang pada 24 juta orang (20 juta diantaranya adalah wanita berusia diatas 45 tahun)5 Osteoporosis akan mengakibatkan pula perawatan rumah sakit yang berkepanjangan, turunnya kemampuan untuk mandiri, meningkatnya insidens depresi dan menurunnya kualitas hidup 5 . Di negara berkembang dengan makin bertambahnya populasi usia lanjut akan pula disertai meningkatnya kejadian osteoporosis sebesar 4- 5 kali lipat3
Biaya tahunan untuk menanggulangi osteoporosis di Amerika Serikat berkisar antara 7 – 10 miljar dollar , angka ini tidak berbeda jauh dengan negara maju lainnya.6
Biaya ini akan meningkat sampai 60 miljar dolar pada tahun 2002 bila tidak segera dilakukan berbagai tindakan pencegahan.7 seperti identifikasi faktor risiko, pemeriksaan yang teliti, berbagai uji diagnostik sederhana, pencegahan pada masa remaja (meningkatkan puncak massa tulang) dan berbagai tindakan terapi pada usila. 5
Kejadian osteoporosis secara keseluruhan di Indonesia belum pernah dilaporkan, hanya ada 1 laporan penelitian epidemiologik di daerah pedesaan di Bandungan,Jawa Tengah yang menggunakan metode pengukuran ketebalan korteks tulang metacarpal yang mendapatkan bahwa insidens osteoporosis pada wanita usia 25 tahun pada kaki sebesar 1.7 – 2.4 kali dan pada tangan sebesar 3.3 – 6.0 kali lebih tinggi dari studi paralel di Negeri Belanda. 8 Peningkatan kejadian osteoporosis pada wanita lebih dari 45 tahun ialah sebesar 80 % sedangkan pada pria sebesar 20%.8 Di China dengan jumlah penduduk 1.3 miljar didapatkan 7% penduduk menderita osteoporosis (kira-kira 87 juta orang) dan di Portugal pada penduduk wanita lebih dari 30 tahun didapatkan prevalensi 21%.9
Selain dari gender wanita dan usia lanjut maka terdapat sejumlah faktor risiko yang nyata di populasi (lihat tabel 1). Akan tetapi faktor risiko tersebut tidak mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang adekuat untuk mengidentifikasi individu yang mempunyai risiko, sehingga masih dibutuhkan pengukuran densitas mineral tulang untuk prediksi kemungkinan patah tulang pada saat ini dan di kemudian hari.
Hipogonadism mungkin sekunder oleh karena anorexia nervosa atau latihan fisik yang berlebihan. Pengaruk rokok mungkin secara tidak langsung karena perokok biasanya bertendensi mempunyai berat badan rendah dan mengalami menopause lebih cepat dari bukan-perokok Konsumsi alkohol tinggi mempunyai efek supresi pada formasi tulang dan kecenderungan hipogonadism, konsumsi alkohol lebih dari 14 unit untuk wanita dan 21 unit untuk pria bersifat toksik terhadap tulang. Postur tubuh yang kecil/kurus mempunyai risiko tinggi karena konversi androstenedione menjadi oestrone terjadi pada jaringan adiposa pada wanita pascamenopause. Faktor genetik berperan hingga 70% dari variabilitas puncak massa tulang.10
Densitas tulang vertebra berhubungan positif dengan berat badan dan tinggi badan yang besar, usia menopause lebih tua, riwayat artritis, aktifitas fisik cukup, penggunaan alkohol yang moderat , terapi diuretik dan riwayat terapi hormon pengganti, sedangkan hubungan negatif didapatkan pada wanita yang haid pertamanya (menarche) pada usia lebih tua dan riwayat ibu dengan fraktur. 11
Risiko patah tulang tidak hanya berhubungan dengan massa tulang/arsitektur yang abnormal, tetapi berhubungan pula denga faktor yang mempengaruhi insidens terjatuh (falls). Perbedaan insidens patah tulang pada ras, etnik dan geografi tertentu ternyata paralel dengan BMD, akan tetapi perbedaan tersebut relatif kecil.12
Hasil penelitian di Poliklinik Reumatologi FKUI/RSCM Jakarta menunjukkan usia, lama menopause dan kadar estrogen yang rendah merupakan faktor risiko osteoporosis, sedangkan kadar estrogen darah yang tinggi, obesitas/berat badan lebih dan aktifitas fisik yang cukup.merupakan faktor protektif.13
Hasil penelitian di Bandungan, Jawa Tengah menduga bahwa faktor risiko kejadian osteoporosis ialah kurangnya konsumsi kalsium (terutama dari susu), sumber air minum (sumur) yang kurang mengandung kalsium, menyusui lebih dari 2 tahun dan multiparitas. 8
Diagnosis dan Kriteria Diagnosis
Hingga saat ini diagnosis osteoporosis masih didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menggunakan alat dual x ray absorptiometry (DXA).Ditemukannya alat ini merupakan terobosan dalam bidang osteoporosis dan telah terbukti bahwa pengukuran densitas massa tulang merupakan cara terbaik dalam menilai risiko fraktur indvidual. Setiap pengurangan densitas massa tulang sebesar 1 standard deviation (1 SD) akan didapatkan peningkatan kemungkinan patah tulang sebesar 2-2.5 kali lipat. Seperti diketahui maka pengukuran densitas massa tulang selalu dinyatakan dalam nilai SD. Suatu nilai Z menunjukkan pengukuran densitas massa tulang pada seseorang yang dibandingkan dengan densitas massa tulang dari populasi orang sehat yang sesuai dalam usia, jenis kelamin dan ras. Suatu nilai T menunjukkan pengukuran densitas massa tulang pada seseorang yang dibandingkan dengan densitas massa tulang puncak yang ideal yaitu dari populasi orang sehat dewasa muda.
Pada tahun 1994 suatu kelompok studi WHO membuat rekomendasi kriteria diagnosis operasional osteopenia dan osteoporosis yang didasarkan pada densitas massa tulang,yaitu
1.Osteoporosis berat : BMD (bone mineral density/densitas massa tulang) lebih dari 2.5 SD (standart deviations) di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal (< – 2.5 SD) disertai dengan patah tulang.
2.Osteoporosis : BMD lebih dari 2.5 SD di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal. (< – 2.5 SD) tanpa patah tulang
3.Osteopenia (massa tulang rendah) : BMD diantara –1 SD dan – 2.5 SD nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal.
4.Normal : BMD tidak lebih dari 1 SD di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal (> -1 SD)
Definisi operasional ini nampaknya praktis tetapi tidak sempurna, karena sebagaimana halnya dengan diagnosis dan pengkajian berbagai kelainan maka riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan biokimia merupakan gambaran penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan diagnosis dan pengobatan.
Penggunaan alat DXA sebagai penentu diagnosis operasional osteoporosis dirasakan cukup berat dalam segi pembiayaan terutama untuk negara berkembang seperti di Indonesia. Karena mahalnya harga peralatan dan biaya operasionil maka hingga saat ini alat tersebut hanya ada di Jakarta sebanyak kurang lebih 7 buah dan di Surabaya sebanyak 1 buah. Di United Kingdom penggunaan alat ini sebagai skrining pada wanita pasca menopause belum dianjurkan, penggunaan alat ini masih dibatasi pada mereka yang diidentifikasi mempunyai tulang rapuh atau mempunyai faktor risiko yang nyata. Hanya National Osteoporosis Foundation di Amerika Serikat yang telah mengeluarkan rekomendasi untuk pengukuran densitas massa tulang pada semua wanita usia diatas 65 tahun.
Pengunaan berbagai penentu diagnosis osteoporosis secara radiologik dengan menggunakan foto polos seperti Qualitative Spinal Morphometry,Singh Index,Calcar Femorale Thickness,Radiogrammetry,Radiologic Osteoporosis Score dianggap telah terlambat apabila digunakan sebagai skrining. Perubahan nyata baru nampak terlihat apabila kehilangan massa tulang telah mencapai lebih dari 30%. Akan tetapi perlu suatu terobosan/kesepakatan untuk di Indonesia berupa suatu kriteria diagnosis sederhana yang dapat digunakan apabila di suatu lokasi bila belum ada alat DXA. Di Jepang maka JRA (Japan Rheumatism Association) telah mengeluarkan sebuah atlas gambaran radiologik vertebra pada berbagai tingkat osteoporosis yang mungkin dapat digunakan di Indonesia.
Ditemukannya alat ultrasound untuk sistem muskuloskeletal (QUS) merupakan pula suatu kemajuan dalam diagnosis osteoporosis. Alat ini relatif lebih murah, tidak menggunakan radiasi ionisisasi, bentuk kecil dan portable sehingga dapat dibawa ke mana saja. Kesulitan yang dihadapi ialah belum adanya kisaran-rujukan (reference range) sehingga kriteria WHO yang menggunakan nilai T kurang dari – 2.5 untuk alat DXA sebagai batas osteoporosis belum dapat dengan segera digunakan pada QUS ini.Mungkin dalam 5 – 10 tahun mendatang alat ini telah lebih sempurna dan dapat digunakan sebagai skrining penderita osteoporosis.
Konsensus pencegahan dan pengobatan Osteoporosis
Di
Rujukan
1.NIH Consensus Development Conference. Diagnosis, prophylaxis and treatment of osteoporosis. Am J Med 1993; 94: 646-650[Medline].
2.Black DM, Cummings SR, Karpf DB, Cauley JA, Thompson DE, Nevitt MC, et al. Randomised trial of effect of alendronate on risk of fracture in women with existing vertebral fractures. Fracture Intervention Trial Research Group. Lancet 1996; 348: 1535-1541[Medline].
3.Riggs BL, Melton LJ 3rd. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded by epidemiology. Bone 1995 Nov;17(5 Suppl):505S-511S [Medline]
4.Rubin CD. Osteoporosis: considerations in evaluating and managing the older patient. Tex Med 1993 Oct;89(10):67-74
5.Iqbal MM. Osteoporosis: epidemiology, diagnosis, and treatment. South Med J 2000 Jan;93(1):2-18 [Medline]
6 Riggs BL, Melton LJ 3rd. Osteoporosis and age-related fracture syndromes. Ciba Found Symp1988; 134:129-42 [Medline]
7.Tucci JR. Osteoporosis update. Med Health R I 1998 May;81(5):169-73 [Medline]
8.Darmawan J.Rheumatic Condition in the Northern Part of Central Java. An Epidemiological Survey.Prooefschrift. 1988
9.Anonim. How long can the silent epidemic be ignored.Scrip Magazine. December 2000
10.Peel N, Eastell R. ABC of Rheumatology: Osteoporosis. BMJ 1995;310:989-992
11.Melton LJ 3rd. Epidemiology of spinal osteoporosis. : Spine 1997 Dec 15;22(24 Suppl):2S-11S [Medline]
12.Raisz LG, Prestwood KM. Epidemiology and pathogenesis of osteoporosis. Clin Cornerstone 2000;2(6):1-10 [Medline]
13.Rahayu Rr. Faktor-faktor Risiko terjadinya Osteoporosis pada wanita pasca menopause. Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta.1997
Oleh :
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta
Bagi para dokter yang usianya lebih dari usia pertengahan mungkin akan terkejut karena ternyata pengertian tentang osteoporosis tidak seperti yang selama ini dipahaminya yaitu osteoporosis selalu digambarkan diderita oleh seorang wanita tua dengan punggung yang bungkuk.
Definisi osteoporosis yang telah disetujui oleh WHO ialah “ suatu gangguan tulang sistemik yang karakteristik dengan massa tulang yang rendah dan perubahan mikroasitektur jaringan tulang dengan konsekuensi meningkatnya fragilitas tulang dan meningkatnya kerentanan terjadinya patah tulang”.1
Definisi ini memperkenalkan konsep massa tulang rendah dan hubungannya dengan risiko terjadinya patah tulang. Pada keadaan massa tulang rendah maka patah tulang yang sebenarnya tidak selalu telah terjadi. Secara logik maka seorang penderita osteoporosis lebih sering ditemukan keadaan tanpa gejala sampai benar terjadi patah tulang. Akibatnya seorang yang mempunyai massa tulang rendah sering tidak terdeteksi dan bila keadaan ini terus berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi patah tulang patologik. Karena itu sangatlah penting untuk mengidentifikasi seseorang yang mempunyai risiko besar menderita osteoporosis sehingga dapat dilakukan berbagai tindakan pencegahan dan pengobatan yang efektif.2
Tulang, Densitas massa tulang dan Puncak kepadatan massa tulang
Tulang manusia terdiri atas tulang trabekuler 20% dan tulang kortikal 80%. Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus menerus yang disebut sebagai remodelling tulang. Kira-kira 10 % tulang manusia dewasa mengalami remodelling setiap tahunnya. Bone turnover ini akan mencegah kelelahan tulang dan sangat penting bagi pemeliharaan homoeostasis kalsium. Apabila terjadi ketidak-seimbangan antara kecepatan resorpsi dengan formasi terjadilah kehilangan massa tulang.
Resorpsi tulang dilakukan oleh sel yang disebut osteoklast, sedangkan pembentukan tulang oleh sel yang disebut osteoblast. Proses ini berlangsung dari awal kehidupan dan berlanjut terus seumur hidup. Pada awal kehidupan maka pembentukan tulang terjadi lebih besar dari penyerapan, sehingga tulang terbentuk sampai kepadatan maksimal. Puncak kepadatan tulang ( Peak bone mass density) tercapai pada usia sekitar 30. Setelah usia tersebut, walaupun setiap hari terjadi pembentukan tulang baru, tetapi terjadi pengurangan kepadatan akibat proses penyerapan lebih besar dari proses pembentukan. (lihat gambar 1)
Puncak kepadatan tulang yang dicapai pada usia 30 tahun pada tiap orang berbeda-beda, jadi pada usia tersebut ada yang mempunyai kepadatan tulang yang keras (sangat padat), ada pula yang kurang padat. Untuk tercapainya puncak kepadatan tulang yang sempurna (cukup padat), maka dibutuhkan berbagai syarat, antara lain :
1. Konsumsi kalsium yang cukup, baik dari susu atau sayuran maupun dari suplemen. Hal ini disebabkan karena 99% kalsium tubuh berada di tulang, sehingga bila konsumsi kalsium tulang kurang maka pembentukan tulang baru akan terhambat, sehingga puncak kepadatan tulang tidak tercapai dengan sempurna (tulang kurang padat)
2. Aktifitas fisik yang cukup dan teratur.Untuk pembentukan tulang baru diperlukan rangsangan terus menerus pada tulang, berupa benturan-benturan dalam tulang. Sejak dini seseorang harus tetap aktif bergerak, baik itu dalam bentuk olah-raga, latihan fisik maupun dalam kegiatan sehari-hari. Orang yang sejak balita kurang bergerak (sedentary), misalnya kurang berjalan, kurang gerak,hanya naik turun mobil, banyak duduk didepan TV dan sebagainya, maka puncak kepadatan tulangnya tidak sempurna, oleh karena itu sejak dini seseorang harus tetap bergerak untuk "menabung tulang" agar tulangnya cukup padat. 3. Cukup vitamin D dan sinar matahari.Sinar matahari penting untuk pembentukan vitamin D, yang diperlukan untuk pembentukan tulang baru. Di negara yang kurang sinar matahari diperlukan suplemen vitamin D yang cukup.
4. Peranan hormon sex. Hormon sex wanita yaitu estrogen dan hormon sex pria yaitu testoteron sangat berperan untuk mencegah terjadinya penyerapan tulang.Pada wanita yang tidak pernah haid atau mengalami menopause dini akibat berbagai penyakit maka puncak kepadatan tulang tidak mencapai sempurna, sehingga tulang yang terbentuk kurang padat dan dikemudian hari akan lebih cepat meng- alami keropos tulang (osteoporosis).
Puncak kepadatan tulang pada usia 30 tahun sangat penting, karena seperti disebutkan diatas, setelah usia 30 tahun akan terjadi pengurangan kepadatan tulang sebesar 1-2% /tahun, sebagai akibat penyerapan lebih besar dari pembentukan tulang.
Pada wanita usia pasca-menopause (50-60 tahun), terjadi penurunan kadar hormon estrogen dalam tubuh yang menyebabkan kerja osteoklast berlebihan, sehingga proses penyerapan tulang akan lebih banyak dan berkurangnya kepadatan tulang akan lebih cepat.
Pada pria usia 50-60 tahun kadar testoteron relatif lebih stabil, sehingga proses penyerapan tulang berlangsung lambat.
Pada usia lanjut, baik pada pria maupun wanita akan terjadi penurunan pembentukan tulang yang berakibat pula makin berkurangnya kepadatan tulang.
Apabila puncak kepadatan tulang pada seseorang individu pada usia 20-25 tahun tidak mencapai sempurna (kurang padat) dan pada usia sesudahnya individu tersebut kurang aktif bergerak atau didapatkan faktor risiko tertentu, maka pada wanita pasca-menopause dapat terjadi pengurangan kepadatan tulang sampai tingkat osteoporosis .
Mardjuadi AW mengukur ketebalan korteks metakarpal dari foto polos jari tangan bangsa Indonesia dan dibandingkannya dengan 4 contoh populasi lain yaitu Belgia, Afrika Selatan Kulit Putih, Afrika Selatan Kulit Hitam dan York’s Britain , ternyata korteks metakarpal orang Indonesia lebih tebal dari yang lain.
Roeshadi D mendapatkan bahwa puncak massa tulang wanita Indonesia dicapai pada usia 30 – 34 tahun, dengan BMD sebesar 0.49 gr/cm2 dan BMC sebesar 2.88 gr/cm2, pada pre-menopause terjadi kehilangan BMD sebesar 0.84%/tahun dan BMC 0.96%/tahun ,pada pasca-menopause kehilangan BMD sebesar 1.40%/tahun dan BMC sebesar 1.25%/tahun.
Epidemiologi dan faktor risiko
Morbiditas dan mortalitas osteoporosis sebenarnya terletak pada kejadian fraktur. Oleh karena itu penelitian epidemiologik lebih melihat pada kejadian fraktur yang diakibatkan osteoporosis. Di Amerika Serikat setiap tahun ditemukan 1.5 juta fraktur yang dikaitkan dengan osteoporosis, yang terdiri dari 700.000 fraktur vertebra, 250.000 fraktur radius distal (Fraktur Colles), 250.000 fraktur panggul dan 300.000 patah tulang lainnya. 3,4 Risiko fraktur vertebra, panggul dan radius distal pada usia 50 tahun keatas pada wanita kulit putih sebesar 40% dan pria kulit putih sebesar 13 %. Setelah fraktur panggul terjadi kematian pada 10- 20% penderita dalam 6 bulan pertama, 50% penderita tidak mampu berjalan sendiri dan 25 % harus tinggal di panti wredha3. Di Amerika Serikat , osteoporosis diperkirakan menyerang pada 24 juta orang (20 juta diantaranya adalah wanita berusia diatas 45 tahun)5 Osteoporosis akan mengakibatkan pula perawatan rumah sakit yang berkepanjangan, turunnya kemampuan untuk mandiri, meningkatnya insidens depresi dan menurunnya kualitas hidup 5 . Di negara berkembang dengan makin bertambahnya populasi usia lanjut akan pula disertai meningkatnya kejadian osteoporosis sebesar 4- 5 kali lipat3
Biaya tahunan untuk menanggulangi osteoporosis di Amerika Serikat berkisar antara 7 – 10 miljar dollar , angka ini tidak berbeda jauh dengan negara maju lainnya.6
Biaya ini akan meningkat sampai 60 miljar dolar pada tahun 2002 bila tidak segera dilakukan berbagai tindakan pencegahan.7 seperti identifikasi faktor risiko, pemeriksaan yang teliti, berbagai uji diagnostik sederhana, pencegahan pada masa remaja (meningkatkan puncak massa tulang) dan berbagai tindakan terapi pada usila. 5
Kejadian osteoporosis secara keseluruhan di Indonesia belum pernah dilaporkan, hanya ada 1 laporan penelitian epidemiologik di daerah pedesaan di Bandungan,Jawa Tengah yang menggunakan metode pengukuran ketebalan korteks tulang metacarpal yang mendapatkan bahwa insidens osteoporosis pada wanita usia 25 tahun pada kaki sebesar 1.7 – 2.4 kali dan pada tangan sebesar 3.3 – 6.0 kali lebih tinggi dari studi paralel di Negeri Belanda. 8 Peningkatan kejadian osteoporosis pada wanita lebih dari 45 tahun ialah sebesar 80 % sedangkan pada pria sebesar 20%.8 Di China dengan jumlah penduduk 1.3 miljar didapatkan 7% penduduk menderita osteoporosis (kira-kira 87 juta orang) dan di Portugal pada penduduk wanita lebih dari 30 tahun didapatkan prevalensi 21%.9
Selain dari gender wanita dan usia lanjut maka terdapat sejumlah faktor risiko yang nyata di populasi (lihat tabel 1). Akan tetapi faktor risiko tersebut tidak mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang adekuat untuk mengidentifikasi individu yang mempunyai risiko, sehingga masih dibutuhkan pengukuran densitas mineral tulang untuk prediksi kemungkinan patah tulang pada saat ini dan di kemudian hari.
Hipogonadism mungkin sekunder oleh karena anorexia nervosa atau latihan fisik yang berlebihan. Pengaruk rokok mungkin secara tidak langsung karena perokok biasanya bertendensi mempunyai berat badan rendah dan mengalami menopause lebih cepat dari bukan-perokok Konsumsi alkohol tinggi mempunyai efek supresi pada formasi tulang dan kecenderungan hipogonadism, konsumsi alkohol lebih dari 14 unit untuk wanita dan 21 unit untuk pria bersifat toksik terhadap tulang. Postur tubuh yang kecil/kurus mempunyai risiko tinggi karena konversi androstenedione menjadi oestrone terjadi pada jaringan adiposa pada wanita pascamenopause. Faktor genetik berperan hingga 70% dari variabilitas puncak massa tulang.10
Densitas tulang vertebra berhubungan positif dengan berat badan dan tinggi badan yang besar, usia menopause lebih tua, riwayat artritis, aktifitas fisik cukup, penggunaan alkohol yang moderat , terapi diuretik dan riwayat terapi hormon pengganti, sedangkan hubungan negatif didapatkan pada wanita yang haid pertamanya (menarche) pada usia lebih tua dan riwayat ibu dengan fraktur. 11
Risiko patah tulang tidak hanya berhubungan dengan massa tulang/arsitektur yang abnormal, tetapi berhubungan pula denga faktor yang mempengaruhi insidens terjatuh (falls). Perbedaan insidens patah tulang pada ras, etnik dan geografi tertentu ternyata paralel dengan BMD, akan tetapi perbedaan tersebut relatif kecil.12
Hasil penelitian di Poliklinik Reumatologi FKUI/RSCM Jakarta menunjukkan usia, lama menopause dan kadar estrogen yang rendah merupakan faktor risiko osteoporosis, sedangkan kadar estrogen darah yang tinggi, obesitas/berat badan lebih dan aktifitas fisik yang cukup.merupakan faktor protektif.13
Hasil penelitian di Bandungan, Jawa Tengah menduga bahwa faktor risiko kejadian osteoporosis ialah kurangnya konsumsi kalsium (terutama dari susu), sumber air minum (sumur) yang kurang mengandung kalsium, menyusui lebih dari 2 tahun dan multiparitas. 8
Diagnosis dan Kriteria Diagnosis
Hingga saat ini diagnosis osteoporosis masih didasarkan pada hasil pemeriksaan yang menggunakan alat dual x ray absorptiometry (DXA).Ditemukannya alat ini merupakan terobosan dalam bidang osteoporosis dan telah terbukti bahwa pengukuran densitas massa tulang merupakan cara terbaik dalam menilai risiko fraktur indvidual. Setiap pengurangan densitas massa tulang sebesar 1 standard deviation (1 SD) akan didapatkan peningkatan kemungkinan patah tulang sebesar 2-2.5 kali lipat. Seperti diketahui maka pengukuran densitas massa tulang selalu dinyatakan dalam nilai SD. Suatu nilai Z menunjukkan pengukuran densitas massa tulang pada seseorang yang dibandingkan dengan densitas massa tulang dari populasi orang sehat yang sesuai dalam usia, jenis kelamin dan ras. Suatu nilai T menunjukkan pengukuran densitas massa tulang pada seseorang yang dibandingkan dengan densitas massa tulang puncak yang ideal yaitu dari populasi orang sehat dewasa muda.
Pada tahun 1994 suatu kelompok studi WHO membuat rekomendasi kriteria diagnosis operasional osteopenia dan osteoporosis yang didasarkan pada densitas massa tulang,yaitu
1.Osteoporosis berat : BMD (bone mineral density/densitas massa tulang) lebih dari 2.5 SD (standart deviations) di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal (< – 2.5 SD) disertai dengan patah tulang.
2.Osteoporosis : BMD lebih dari 2.5 SD di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal. (< – 2.5 SD) tanpa patah tulang
3.Osteopenia (massa tulang rendah) : BMD diantara –1 SD dan – 2.5 SD nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal.
4.Normal : BMD tidak lebih dari 1 SD di bawah nilai rerata puncak massa tulang dari wanita dewasa muda normal (> -1 SD)
Definisi operasional ini nampaknya praktis tetapi tidak sempurna, karena sebagaimana halnya dengan diagnosis dan pengkajian berbagai kelainan maka riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan biokimia merupakan gambaran penting yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan diagnosis dan pengobatan.
Penggunaan alat DXA sebagai penentu diagnosis operasional osteoporosis dirasakan cukup berat dalam segi pembiayaan terutama untuk negara berkembang seperti di Indonesia. Karena mahalnya harga peralatan dan biaya operasionil maka hingga saat ini alat tersebut hanya ada di Jakarta sebanyak kurang lebih 7 buah dan di Surabaya sebanyak 1 buah. Di United Kingdom penggunaan alat ini sebagai skrining pada wanita pasca menopause belum dianjurkan, penggunaan alat ini masih dibatasi pada mereka yang diidentifikasi mempunyai tulang rapuh atau mempunyai faktor risiko yang nyata. Hanya National Osteoporosis Foundation di Amerika Serikat yang telah mengeluarkan rekomendasi untuk pengukuran densitas massa tulang pada semua wanita usia diatas 65 tahun.
Pengunaan berbagai penentu diagnosis osteoporosis secara radiologik dengan menggunakan foto polos seperti Qualitative Spinal Morphometry,Singh Index,Calcar Femorale Thickness,Radiogrammetry,Radiologic Osteoporosis Score dianggap telah terlambat apabila digunakan sebagai skrining. Perubahan nyata baru nampak terlihat apabila kehilangan massa tulang telah mencapai lebih dari 30%. Akan tetapi perlu suatu terobosan/kesepakatan untuk di Indonesia berupa suatu kriteria diagnosis sederhana yang dapat digunakan apabila di suatu lokasi bila belum ada alat DXA. Di Jepang maka JRA (Japan Rheumatism Association) telah mengeluarkan sebuah atlas gambaran radiologik vertebra pada berbagai tingkat osteoporosis yang mungkin dapat digunakan di Indonesia.
Ditemukannya alat ultrasound untuk sistem muskuloskeletal (QUS) merupakan pula suatu kemajuan dalam diagnosis osteoporosis. Alat ini relatif lebih murah, tidak menggunakan radiasi ionisisasi, bentuk kecil dan portable sehingga dapat dibawa ke mana saja. Kesulitan yang dihadapi ialah belum adanya kisaran-rujukan (reference range) sehingga kriteria WHO yang menggunakan nilai T kurang dari – 2.5 untuk alat DXA sebagai batas osteoporosis belum dapat dengan segera digunakan pada QUS ini.Mungkin dalam 5 – 10 tahun mendatang alat ini telah lebih sempurna dan dapat digunakan sebagai skrining penderita osteoporosis.
Konsensus pencegahan dan pengobatan Osteoporosis
Di
Rujukan
1.NIH Consensus Development Conference. Diagnosis, prophylaxis and treatment of osteoporosis. Am J Med 1993; 94: 646-650[Medline].
2.Black DM, Cummings SR, Karpf DB, Cauley JA, Thompson DE, Nevitt MC, et al. Randomised trial of effect of alendronate on risk of fracture in women with existing vertebral fractures. Fracture Intervention Trial Research Group. Lancet 1996; 348: 1535-1541[Medline].
3.Riggs BL, Melton LJ 3rd. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded by epidemiology. Bone 1995 Nov;17(5 Suppl):505S-511S [Medline]
4.Rubin CD. Osteoporosis: considerations in evaluating and managing the older patient. Tex Med 1993 Oct;89(10):67-74
5.Iqbal MM. Osteoporosis: epidemiology, diagnosis, and treatment. South Med J 2000 Jan;93(1):2-18 [Medline]
6 Riggs BL, Melton LJ 3rd. Osteoporosis and age-related fracture syndromes. Ciba Found Symp1988; 134:129-42 [Medline]
7.Tucci JR. Osteoporosis update. Med Health R I 1998 May;81(5):169-73 [Medline]
8.Darmawan J.Rheumatic Condition in the Northern Part of Central Java. An Epidemiological Survey.Prooefschrift. 1988
9.Anonim. How long can the silent epidemic be ignored.Scrip Magazine. December 2000
10.Peel N, Eastell R. ABC of Rheumatology: Osteoporosis. BMJ 1995;310:989-992
11.Melton LJ 3rd. Epidemiology of spinal osteoporosis. : Spine 1997 Dec 15;22(24 Suppl):2S-11S [Medline]
12.Raisz LG, Prestwood KM. Epidemiology and pathogenesis of osteoporosis. Clin Cornerstone 2000;2(6):1-10 [Medline]
13.Rahayu Rr. Faktor-faktor Risiko terjadinya Osteoporosis pada wanita pasca menopause. Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta.1997
Oleh :
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta