Para pemasar modern tak hanya dituntut piawai merumuskan konsep yang jitu plus eksekusinya, melainkan juga menjunjung tinggi etika bisnis dan berwawasan lingkungan. Toh, semakin banyak generasi muda yang menggandrungi profesi ini.
Sekitar 10 tahun terakhir, bidang pemasaran kian memperlihatkan daya magnetnya. Banyak dari generasi muda masa kini, tanpa mengindahkan disiplin ilmu yang mereka timba semasa kuliah, memilih bidang pemasaran sebagai jalur untuk meniti karier profesionalnya. Ada yang lulusan fakultas pertanian, teknik sipil, arsitektur, elektro, sosial politik, hukum, psikologi, bahkan sastra.
Memang, banyak dari mereka yang awalnya sekadar coba-coba. Namun, begitu mencemplungkan diri, rata-rata mereka enggan keluar dari dunia pemasaran. Beberapa di antaranya bahkan kecanduan. “Tak ada yang lebih menantang dan mengasyikkan dibanding dunia marketing,” begitulah rata-rata alasan mereka. Akan tetapi, betulkah bidang ini menantang?
Di era konsumerisme kini, praktis tak ada produk/jasa yang tak bisa dipenuhi atau dipasok oleh produsen. Semua bisa dipenuhi, bahkan dipuaskan. Dari komoditas primer, produk dan layanan berteknologi supercanggih, hingga produk gaya hidup. Memang, dari sisi produksi, di era sekarang, begitu mudahnya suatu produk atau layanan ditiru oleh para pesaing. Nah, di tengah membanjirnya produk/jasa yang nyaris sama ini, para pemasar dituntut untuk meyakinkan konsumen bahwa produk/jasa merekalah yang paling layak dipilih.
Dengan kata lain, kehadiran para pemasar yang cerdas dan tahan banting kian dibutuhkan saat ini. Sebab, apalah artinya produk/jasa yang superhebat kalau nyatanya tidak ada yang mau membeli. Wajar pula, profesi yang dulu kurang dilirik orang ini, sekarang justru masuk kategori profesi yang patut dibanggakan. Dan, seperti biasa, karena menjanjikan karier bagus plus penghasilan besar, berbondong-bondonglah kaum muda menjajal peruntungan dengan terjun di bidang pemasaran. Sekolah-sekolah bisnis yang menawarkan gelar master di bidang pemasaran pun makin diburu anak-anak muda ini.
Akan tetapi, sesuai dengan tuntutan zaman, menjadi pemasar yang laku di pasar saat ini sungguh tidak mudah. Ia tak hanya dituntut cakap meramu konsep dan strategi pemasaran yang jitu plus eksekusinya di lapangan, melainkan juga wajib menjunjung tinggi etika bisnis serta berwawasan sosial dan lingkungan. Syarat lain masih seabrek: familier dengan gadget dan teknologi mutakhir, terlibat dalam komunitas online mobile, memiliki pergaulan global dan jejaring baru, berpikiran terbuka dan selalu update terhadap berbagai hal baru, percaya diri dan mampu mempresentasikan gagasan dan konsep, mahir melakukan riset, insight-nya bagus, cakap membaca tren, serta (tentu saja) kreatif dan inovatif.
Nah, antara lain dengan kriteria itulah, untuk ke-6 kalinya SWA bekerja sama dengan MarkPlus dan Indonesia Marketing Association, menyelenggarakan hajatan untuk memilih pemasar terbaik dan tim pemasaran terbaik. Hasilnya dapat Anda simak pada tulisan Sajuta setelah ini. Tujuannya, tentu saja, menyuguhkan best practice bidang pemasaran untuk menginspirasi para pemasar muda di Indonesia agar mampu berprestasi lebih hebat lagi, baik di level nasional maupun internasional.
Sementara itu, untuk menghormati figur-figur yang berjasa di bidang pemasaran di negeri ini, SWA juga menyuguhkan tulisan Indonesian Hall of Fame in Marketing. Mereka adalah para pebisnis sukses sekaligus pemasar yang hebat. Mereka bukan cuma pintar memproduksi barang/jasa, melainkan cerdas pula membaca dan memenuhi kebutuhan konsumen. Bahkan, memuaskannya. Contohnya, sosok seperti Sosrodjojo (Teh Botol Sosro), Tirto Utomo (Aqua) dan Soedomo (Kopi Kapal Api). Tak ada yang luar biasa dari produk yang mereka tawarkan. Akan tetapi, berkat kepiawaian mengemas dan memasarkan produk mereka, air putih, teh dan kopi bisa mereka ubah menjadi bisnis yang bernilai tambah tinggi dan beromset triliunan rupiah.
Local genius seperti itu memang teramat sedikit jumlahnya di negeri ini. Di mana-mana, yang namanya genius pasti langka. Toh, kita patut bersyukur karena masih memilikinya. Dari merekalah, generasi penerus bisa belajar banyak perihal seni yang tinggi di bidang pemasaran. Juga, tentang daya juang dan kearifan bisnis.
Memang, banyak dari mereka yang awalnya sekadar coba-coba. Namun, begitu mencemplungkan diri, rata-rata mereka enggan keluar dari dunia pemasaran. Beberapa di antaranya bahkan kecanduan. “Tak ada yang lebih menantang dan mengasyikkan dibanding dunia marketing,” begitulah rata-rata alasan mereka. Akan tetapi, betulkah bidang ini menantang?
Di era konsumerisme kini, praktis tak ada produk/jasa yang tak bisa dipenuhi atau dipasok oleh produsen. Semua bisa dipenuhi, bahkan dipuaskan. Dari komoditas primer, produk dan layanan berteknologi supercanggih, hingga produk gaya hidup. Memang, dari sisi produksi, di era sekarang, begitu mudahnya suatu produk atau layanan ditiru oleh para pesaing. Nah, di tengah membanjirnya produk/jasa yang nyaris sama ini, para pemasar dituntut untuk meyakinkan konsumen bahwa produk/jasa merekalah yang paling layak dipilih.
Dengan kata lain, kehadiran para pemasar yang cerdas dan tahan banting kian dibutuhkan saat ini. Sebab, apalah artinya produk/jasa yang superhebat kalau nyatanya tidak ada yang mau membeli. Wajar pula, profesi yang dulu kurang dilirik orang ini, sekarang justru masuk kategori profesi yang patut dibanggakan. Dan, seperti biasa, karena menjanjikan karier bagus plus penghasilan besar, berbondong-bondonglah kaum muda menjajal peruntungan dengan terjun di bidang pemasaran. Sekolah-sekolah bisnis yang menawarkan gelar master di bidang pemasaran pun makin diburu anak-anak muda ini.
Akan tetapi, sesuai dengan tuntutan zaman, menjadi pemasar yang laku di pasar saat ini sungguh tidak mudah. Ia tak hanya dituntut cakap meramu konsep dan strategi pemasaran yang jitu plus eksekusinya di lapangan, melainkan juga wajib menjunjung tinggi etika bisnis serta berwawasan sosial dan lingkungan. Syarat lain masih seabrek: familier dengan gadget dan teknologi mutakhir, terlibat dalam komunitas online mobile, memiliki pergaulan global dan jejaring baru, berpikiran terbuka dan selalu update terhadap berbagai hal baru, percaya diri dan mampu mempresentasikan gagasan dan konsep, mahir melakukan riset, insight-nya bagus, cakap membaca tren, serta (tentu saja) kreatif dan inovatif.
Nah, antara lain dengan kriteria itulah, untuk ke-6 kalinya SWA bekerja sama dengan MarkPlus dan Indonesia Marketing Association, menyelenggarakan hajatan untuk memilih pemasar terbaik dan tim pemasaran terbaik. Hasilnya dapat Anda simak pada tulisan Sajuta setelah ini. Tujuannya, tentu saja, menyuguhkan best practice bidang pemasaran untuk menginspirasi para pemasar muda di Indonesia agar mampu berprestasi lebih hebat lagi, baik di level nasional maupun internasional.
Sementara itu, untuk menghormati figur-figur yang berjasa di bidang pemasaran di negeri ini, SWA juga menyuguhkan tulisan Indonesian Hall of Fame in Marketing. Mereka adalah para pebisnis sukses sekaligus pemasar yang hebat. Mereka bukan cuma pintar memproduksi barang/jasa, melainkan cerdas pula membaca dan memenuhi kebutuhan konsumen. Bahkan, memuaskannya. Contohnya, sosok seperti Sosrodjojo (Teh Botol Sosro), Tirto Utomo (Aqua) dan Soedomo (Kopi Kapal Api). Tak ada yang luar biasa dari produk yang mereka tawarkan. Akan tetapi, berkat kepiawaian mengemas dan memasarkan produk mereka, air putih, teh dan kopi bisa mereka ubah menjadi bisnis yang bernilai tambah tinggi dan beromset triliunan rupiah.
Local genius seperti itu memang teramat sedikit jumlahnya di negeri ini. Di mana-mana, yang namanya genius pasti langka. Toh, kita patut bersyukur karena masih memilikinya. Dari merekalah, generasi penerus bisa belajar banyak perihal seni yang tinggi di bidang pemasaran. Juga, tentang daya juang dan kearifan bisnis.