Akhir-akhir ini ada tren perusahaan-perusahaan besar melakukan mark-down terhadap beberapa merek mereka yang tergolong kuat. Ada Pantene dan Vicks Vaporub dari P & G, kemudian diikuti sampo Lifebuoy dari Unilever. Yang menarik, strategi penurunan harga itu dikomunikasikan kepada konsumen melalui iklan TV secara gencar. Muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak menurunkan citra merek (brand image) yang bersangkutan?
Marlboro pernah melakukan hal yang sama: menurunkan harga. Hal itu dilakukan karena ia digempur kemasan private label di Amerika Serikat. Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah. Bukan karena khawatir orang berpindah dari Marlboro ke private label, melainkan agar citra mereknya yang sangat kuat tidak pindah ke merek lain. Bagi Marlboro, bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokok yang paling banyak dikonsumsi orang akan luntur.
What you pay and what you get or value for money ternyata memang bisa melunturkan kekuatan merek dan brand loyalty suatu produk. Keputusan monumental eksekutif Marlboro ini pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, seperti profit, efektivitas dan citra mereknya.
Sejak tahun 1970-an, terjadi shift to value ketika produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi kualitas bagus. Keberhasilan produk-produk Jepang itu mengubah persepsi orang bahwa harga lebih murah pasti barangnya jelek. Dell yang sejak awal mengikuti strategi itu kini merupakan salah satu merek terkuat. Southwest Airline yang memperkenalkan tarif murah juga demikian. Bahkan Wal-Mart yang dulu diragukan, kini dipersepsikan sebagian besar konsumen AS sebagai memiliki comparable-quality fresh foods dan a good store brands.
Ini makin memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan. Persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, misalnya, apakah sebagai produk yang dikeluarkan oleh produsen yang tidak efisien atau produk tersebut berkualitas tinggi. Pertanyaan ini membuat makin sulit melakukan pembenaran hubungan antara kualitas dan harga itu sendiri. Para pengelola supermarket paham benar bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk tepung, roti atau wortel berkualitas lebih tinggi. Hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk yang berkualitas lebih tinggi.
Selama ini ada konsepsi bahwa loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga. Teori ini yang dipegang para pemasar sejak dulu. Apakah teori ini tetap berlaku apabila di pasar bermunculan kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau? Hal ini yang menjadi acuan pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen yang makin realistis makin sadar akan value for money.
Kasus Pantene bisa menjadi contoh dari the end of price image. Pasar sampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini menjadikan harga sebagai key succes factor. Pantene masuk pasar dengan harga jauh di atas si pemimpin pasar Sunsilk dan si emerging brand Clear yang sedang tumbuh. Dengan kualitas jauh di atas pemimpin, Pantene bisa masuk pasar baik dengan botol maupun sachet.
Namun, dalam perjalanan waktu, tampaknya para eksekutif P & G melihat kerdilnya pangsa pasar Pantene di Indonesia karena harga yang dipasang kelewat tinggi. Sehingga setelah melalui berbagai analisis mendalam, P & G akhirnya menurunkan harga cukup signifikan. Hasilnya, konon Pantene saat itu benar-benar sold-out.
Saya atau pembaca mungkin meragukan pernyataan itu. Namun, belakangan saya melihat sukses-tidaknya langkah revolusioner ini dari pengulangan penurunan harga produk P & G yang lain, yakni obat batuk Vicks Vaporub. Bayangan saya, kalau strategi itu gagal atau malah menggerogoti profit mereka, tentunya mereka tidak akan mengulanginya.
Selama beberapa lama, mereka terperangkap pemikiran bahwa konsumen loyal pasti mau membayar berapa pun untuk merek. Itu sebabnya, mereka bersikeras mempertahankan harga tinggi. Mereka asyik menikmati kampanye bertemakan "Jangan ragu membeli produk berharga mahal kalau mau sembuh". Namun dengan makin banyak dan gencarnya pesaing, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan pangsa pasar, mereka sadar harga Vicks terlalu mahal.
Belajar dari kesuksesan Marlboro dan Pantene, tim P & G akhirnya sadar sepenuhnya bahwa konsumen loyal mengerti soal value for money dan brand loyalty tidak berdiri sendiri, tapi sangat dipengaruhi kompetitor. Teori elastisitas harga suatu produk kini harus diubah dengan faktor kompetitor terdekat. Sehingga, para pemimpin pasar hendaknya tidak terlalu berambisi menaikkan harga produk karena keyakinan brand loyalty yang tinggi. Konsumen kini lebih pintar dan lebih aware terhadap value for money.
Terbukti Unilever mulai meniru langkah penurunan harga dengan menurunkan produk Lifebuoy. Bagi konsumen, penurunan harga bukan penurunan kualitas dan citra. Sebaliknya, konsumen bisa jadi malah menganggap penurunan harga sebagai keberpihakan pemilik merek pada mereka.
Apalagi, bila langkah tersebut kemudian dikomunikasikan, konsumen malah jadi tambah loyal. Itu yang terjadi pada Carrefour di Indonesia. Coba tanya bagaimana konsumen mencitrakan Carrefour, saya yakin tidak akan jauh beda dari supermarket Hero misalnya. Bahkan, Carrefour mempunyai nilai tambah sebagai merek yang berpihak pada konsumen.
Implikasi dari fenomena ini adalah teori bahwa naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 90% menjadi kuno dan berbahaya. Ini kalau diinterpretasikan bahwa kalau konsumen loyal, pemilik merek bisa seenaknya menaikkan harga untuk menaikkan profit.
Kapan keputusan penurunan harga harus dilakukan dan siapa yang berhak memutuskan keputusan strategis ini? CEO-lah yg harus memutuskan langkah ini. Mengapa? Karena, pemasar tradisional cuma bisa berpikir menaikkan harga. Dari selisih kenaikan harga, mereka bisa melakukan kampanye ke konsumen secara besar-besaran supaya konsumen tetap terbujuk membeli dan tidak berpindah ke merek lain.
Kalau arahnya terbalik, tak salah kalau pangsa pasar Vicks hancur dan langkah tidak favourable ini dilakukan. Hati-hati, para CEO. Kalau pangsa pasar turun tahun demi tahun, segera minta laporan lengkap. Jangan cuma brand awareness, brand loyalty, atau consumer satisfaction. Minta juga price brand mapping-nya. (Swa.co.id)
Marlboro pernah melakukan hal yang sama: menurunkan harga. Hal itu dilakukan karena ia digempur kemasan private label di Amerika Serikat. Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah. Bukan karena khawatir orang berpindah dari Marlboro ke private label, melainkan agar citra mereknya yang sangat kuat tidak pindah ke merek lain. Bagi Marlboro, bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokok yang paling banyak dikonsumsi orang akan luntur.
What you pay and what you get or value for money ternyata memang bisa melunturkan kekuatan merek dan brand loyalty suatu produk. Keputusan monumental eksekutif Marlboro ini pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, seperti profit, efektivitas dan citra mereknya.
Sejak tahun 1970-an, terjadi shift to value ketika produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi kualitas bagus. Keberhasilan produk-produk Jepang itu mengubah persepsi orang bahwa harga lebih murah pasti barangnya jelek. Dell yang sejak awal mengikuti strategi itu kini merupakan salah satu merek terkuat. Southwest Airline yang memperkenalkan tarif murah juga demikian. Bahkan Wal-Mart yang dulu diragukan, kini dipersepsikan sebagian besar konsumen AS sebagai memiliki comparable-quality fresh foods dan a good store brands.
Ini makin memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan. Persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, misalnya, apakah sebagai produk yang dikeluarkan oleh produsen yang tidak efisien atau produk tersebut berkualitas tinggi. Pertanyaan ini membuat makin sulit melakukan pembenaran hubungan antara kualitas dan harga itu sendiri. Para pengelola supermarket paham benar bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk tepung, roti atau wortel berkualitas lebih tinggi. Hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk yang berkualitas lebih tinggi.
Selama ini ada konsepsi bahwa loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga. Teori ini yang dipegang para pemasar sejak dulu. Apakah teori ini tetap berlaku apabila di pasar bermunculan kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau? Hal ini yang menjadi acuan pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen yang makin realistis makin sadar akan value for money.
Kasus Pantene bisa menjadi contoh dari the end of price image. Pasar sampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini menjadikan harga sebagai key succes factor. Pantene masuk pasar dengan harga jauh di atas si pemimpin pasar Sunsilk dan si emerging brand Clear yang sedang tumbuh. Dengan kualitas jauh di atas pemimpin, Pantene bisa masuk pasar baik dengan botol maupun sachet.
Namun, dalam perjalanan waktu, tampaknya para eksekutif P & G melihat kerdilnya pangsa pasar Pantene di Indonesia karena harga yang dipasang kelewat tinggi. Sehingga setelah melalui berbagai analisis mendalam, P & G akhirnya menurunkan harga cukup signifikan. Hasilnya, konon Pantene saat itu benar-benar sold-out.
Saya atau pembaca mungkin meragukan pernyataan itu. Namun, belakangan saya melihat sukses-tidaknya langkah revolusioner ini dari pengulangan penurunan harga produk P & G yang lain, yakni obat batuk Vicks Vaporub. Bayangan saya, kalau strategi itu gagal atau malah menggerogoti profit mereka, tentunya mereka tidak akan mengulanginya.
Selama beberapa lama, mereka terperangkap pemikiran bahwa konsumen loyal pasti mau membayar berapa pun untuk merek. Itu sebabnya, mereka bersikeras mempertahankan harga tinggi. Mereka asyik menikmati kampanye bertemakan "Jangan ragu membeli produk berharga mahal kalau mau sembuh". Namun dengan makin banyak dan gencarnya pesaing, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan pangsa pasar, mereka sadar harga Vicks terlalu mahal.
Belajar dari kesuksesan Marlboro dan Pantene, tim P & G akhirnya sadar sepenuhnya bahwa konsumen loyal mengerti soal value for money dan brand loyalty tidak berdiri sendiri, tapi sangat dipengaruhi kompetitor. Teori elastisitas harga suatu produk kini harus diubah dengan faktor kompetitor terdekat. Sehingga, para pemimpin pasar hendaknya tidak terlalu berambisi menaikkan harga produk karena keyakinan brand loyalty yang tinggi. Konsumen kini lebih pintar dan lebih aware terhadap value for money.
Terbukti Unilever mulai meniru langkah penurunan harga dengan menurunkan produk Lifebuoy. Bagi konsumen, penurunan harga bukan penurunan kualitas dan citra. Sebaliknya, konsumen bisa jadi malah menganggap penurunan harga sebagai keberpihakan pemilik merek pada mereka.
Apalagi, bila langkah tersebut kemudian dikomunikasikan, konsumen malah jadi tambah loyal. Itu yang terjadi pada Carrefour di Indonesia. Coba tanya bagaimana konsumen mencitrakan Carrefour, saya yakin tidak akan jauh beda dari supermarket Hero misalnya. Bahkan, Carrefour mempunyai nilai tambah sebagai merek yang berpihak pada konsumen.
Implikasi dari fenomena ini adalah teori bahwa naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 90% menjadi kuno dan berbahaya. Ini kalau diinterpretasikan bahwa kalau konsumen loyal, pemilik merek bisa seenaknya menaikkan harga untuk menaikkan profit.
Kapan keputusan penurunan harga harus dilakukan dan siapa yang berhak memutuskan keputusan strategis ini? CEO-lah yg harus memutuskan langkah ini. Mengapa? Karena, pemasar tradisional cuma bisa berpikir menaikkan harga. Dari selisih kenaikan harga, mereka bisa melakukan kampanye ke konsumen secara besar-besaran supaya konsumen tetap terbujuk membeli dan tidak berpindah ke merek lain.
Kalau arahnya terbalik, tak salah kalau pangsa pasar Vicks hancur dan langkah tidak favourable ini dilakukan. Hati-hati, para CEO. Kalau pangsa pasar turun tahun demi tahun, segera minta laporan lengkap. Jangan cuma brand awareness, brand loyalty, atau consumer satisfaction. Minta juga price brand mapping-nya. (Swa.co.id)