Lemahnya pengawasan penanganan pasien tuberkulosis berpotensi menambah jumlah kasus resistensi obat. Kasus resistensi obat tuberkulosis di Indonesia pada 2008 mencapai 6.300 kasus, tersebar sporadis dan belum terpetakan. Dari sekitar 1.300 rumah sakit di Indonesia, baru 34 persen menerapkan standar penanganan pasien tuberkulosis-directly observed treatment.
Hal itu disampaikan Kepala Seksi Standardisasi dan Kemitraan Tuberkulosis Direktorat Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Departemen Kesehatan Nadia Wiweko selaku pembicara pada Simposium Internasional Tuberkulosis dan Dengue II di Makassar, Senin (19/10). Ia menyampaikan, dari 72.000 dokter praktik swasta, baru 5 persen menerapkan directly observed treatment (DOT).
”Pengobatan 6 bulan berturut-turut dengan kombinasi tiga sampai empat obat lini pertama, pengawasan konsumsi obat oleh pasien, dan pendataan penanganan pasien. Banyak rumah sakit hanya memberikan satu jenis obat dan tidak mengawasi konsumsi obat oleh pasien. Hal itu meningkatkan risiko multidrug resistance,” tutur Nadia.
Empat obat kategori obat lini pertama adalah isoniazid, rifampidin, ethambutol, dan pyrazinamid. Resistensi terhadap obat lini pertama akan memperparah kondisi pasien dan menambah biaya pengobatan karena obat lini kedua harganya mahal.
”Harus dikombinasi minimal tiga obat bersamaan selama minimal 6 bulan berturut-turut. Jika gagal, pasien harus menjalani pengobatan lini kedua, kamamycin dan ofloxacin, 2 tahun berturut-turut. Juga ditemukan RS mengombinasi obat lini pertama dengan obat lini kedua tanpa mengawasi konsumsi obat oleh pasien. Hal itu berisiko menimbulkan resistensi terhadap obat lini kedua,” ujar Nadia.
Nadia menjelaskan, 98 persen dari 7.200 puskesmas dan 11 balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru-paru di Indonesia menerapkan DOT. ”Dari studi tentang ke mana pasien tuberkulosis mencari pengobatan, 30-40 persen dari 518.000 kasus tuberkulosis di Indonesia berobat ke rumah sakit. Pasien bisa datang dari daerah jauh, berkecenderungan putus obat yang tak teratasi,” katanya.
Peneliti klinis Laboratorium Novartis Institute for Tropical Diseases-Eijkman Institute-Hasanuddin University Clinical Research Initiative (NEHCRI), Muh Nasrum Massi, menyatakan, dari 657 pasien tuberkulosis, didapati pertumbuhan kuman pada 234 pasien. Dari 197 pasien terinfeksi hanya 60,9 persen pasien bisa diobati dengan obat lini pertama. Delapan persen mengalami multidrug resistance. Lebih dari 5 persen lain resisten terhadap 3 jenis obat, bahkan 5 persen mengalami resistensi terhadap keempat obat lini pertama.
Global Tuberculosis Control World Health Organization Report 2009 menyatakan, tingkat kematian setiap tahun 39 penderita per 100.000.
Hal itu disampaikan Kepala Seksi Standardisasi dan Kemitraan Tuberkulosis Direktorat Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Departemen Kesehatan Nadia Wiweko selaku pembicara pada Simposium Internasional Tuberkulosis dan Dengue II di Makassar, Senin (19/10). Ia menyampaikan, dari 72.000 dokter praktik swasta, baru 5 persen menerapkan directly observed treatment (DOT).
”Pengobatan 6 bulan berturut-turut dengan kombinasi tiga sampai empat obat lini pertama, pengawasan konsumsi obat oleh pasien, dan pendataan penanganan pasien. Banyak rumah sakit hanya memberikan satu jenis obat dan tidak mengawasi konsumsi obat oleh pasien. Hal itu meningkatkan risiko multidrug resistance,” tutur Nadia.
Empat obat kategori obat lini pertama adalah isoniazid, rifampidin, ethambutol, dan pyrazinamid. Resistensi terhadap obat lini pertama akan memperparah kondisi pasien dan menambah biaya pengobatan karena obat lini kedua harganya mahal.
”Harus dikombinasi minimal tiga obat bersamaan selama minimal 6 bulan berturut-turut. Jika gagal, pasien harus menjalani pengobatan lini kedua, kamamycin dan ofloxacin, 2 tahun berturut-turut. Juga ditemukan RS mengombinasi obat lini pertama dengan obat lini kedua tanpa mengawasi konsumsi obat oleh pasien. Hal itu berisiko menimbulkan resistensi terhadap obat lini kedua,” ujar Nadia.
Nadia menjelaskan, 98 persen dari 7.200 puskesmas dan 11 balai pencegahan dan pengobatan penyakit paru-paru di Indonesia menerapkan DOT. ”Dari studi tentang ke mana pasien tuberkulosis mencari pengobatan, 30-40 persen dari 518.000 kasus tuberkulosis di Indonesia berobat ke rumah sakit. Pasien bisa datang dari daerah jauh, berkecenderungan putus obat yang tak teratasi,” katanya.
Peneliti klinis Laboratorium Novartis Institute for Tropical Diseases-Eijkman Institute-Hasanuddin University Clinical Research Initiative (NEHCRI), Muh Nasrum Massi, menyatakan, dari 657 pasien tuberkulosis, didapati pertumbuhan kuman pada 234 pasien. Dari 197 pasien terinfeksi hanya 60,9 persen pasien bisa diobati dengan obat lini pertama. Delapan persen mengalami multidrug resistance. Lebih dari 5 persen lain resisten terhadap 3 jenis obat, bahkan 5 persen mengalami resistensi terhadap keempat obat lini pertama.
Global Tuberculosis Control World Health Organization Report 2009 menyatakan, tingkat kematian setiap tahun 39 penderita per 100.000.