Sepeda motor selalu diidentikkan dengan kaum pria. Selain alasan maskulinitas, banyak wanita yang enggan menggunakan sepeda motor dengan berbagai alasan, mulai dari alasan kenyamanan, kemudahan dan bahkan masalah virginitas. Alasan yang klasik di tengah modernitas zaman. Meskipun terkesan banyak hambatan untuk wanita dalam menggunakan sepeda motor, hal ini tidak menutup mata para produsennya.
Yamaha yang selama 30 tahun terakhir di Indonesia telah memproduksi berbagai jenis sepeda motor untuk kaum pria dan merupakan salah satu pemain penting dalam industri sepeda motor di Indonesia tampaknya cukup jeli melihat ?kesepian? wanita Indonesia karena tiadanya sepeda motor buat mereka. Tidak mengherankan, PT Yamaha Motor Kencana Indonesia (YMKI) kemudian meluncurkan Yamaha Mio, sepeda motor yang dirancang khusus untuk kaum wanita, yang dilakukan di Fashion Cafe Jakarta, Januari lalu.
Dengan populasi kaum wanita yang lebih banyak dari kaum pria dan mereka merupakan pasar yang belum dilayani dengan baik, gebrakan Mio ini tentu merupakan manuver yang cukup cerdik. Di acara peluncuran di Fashion Cafe itu, saya dan sejumlah undangan melihat bahwa Mio -- sepeda motor empat tak dengan kapasitas silinder 115 cc dan bertransmisi otomatis -- dirancang khusus agar sesuai dengan postur rata-rata wanita Indonesia, baik dari segi desain maupun bobotnya.
Bahkan kabarnya, untuk meluncurkan Mio, YMKI harus melakukan riset mendalam selama dua tahun untuk pengembangannya dengan menelan investasi sebesar 600 juta yen. Angka yang tidak kecil, yang menunjukkan bagaimana komitmen YMKI terhadap pasar wanita di Indonesia. Komitmen ini dibuktikan dengan usaha Yamaha memasarkan Mio ke beberapa negara selain Indonesia, yaitu Malaysia dan Thailand.
Keinginan YMKI menyasar segmen Mio ini bukanlah hal gampang. Kendala psikologis kaum wanita terhadap sepeda motor tentu merupakan hambatan utama, selain faktor penjualan, servis dan suku cadang. Tidak mengherankan, Mio melakukan berbagai cara untuk mendongkrak penjualan sepeda motor pertama khusus wanita ini.
Menghilangkan kendala psikologis tidak cukup hanya dengan meyakinkan si wanita sebagai calon pengguna, tetapi juga meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa sepeda motor bukan merupakan dominasi kaum pria. Lihat saja beberapa kegiatan Mio yang cukup kreatif, seperti mempersilakan siswi-siswi menjajal Mio. Selain untuk mengakrabkan Mio dengan target pasarnya, juga untuk menunjukkan wujud Mio sebagai sepeda motor yang dinamis dan energik bagaikan siswi-siswi remaja yang sedang lincah mengejar impiannya.
Produk yang menyasar segmen wanita ini tentu tidak cukup hanya mengandalkan dealer. Berbagai kegiatan yang dilakukan merupakan usaha menjemput bola, tanpa tergantung pada saluran konvensional.
Dengan peluncuran Mio ini, Yamaha patut bangga menjadi merek pertama sepeda motor di Indonesia yang peduli terhadap kaum wanita. Pasar yang dilihat sebelah mata dan dipersepsikan tidak menarik karena adanya hambatan psikologis ini, ternyata justru cukup menjanjikan. Wajar, menurut data terakhir, Yamaha dapat menduduki posisi kedua di industri sepeda motor Indonesia.
Manuver yang dilakukan Yamaha dengan Mionya tentu merupakan contoh menarik bagaimana melihat pasar secara kreatif. Tingkat persaingan yang semakin ketat membuat perusahaan harus selalu berpikir kreatif. Tidak hanya sekadar mengandalkan pasar yang sudah ada, tetapi juga menyasar pasar lain yang terabaikan dan belum dilayani.
Evalube, complementary brand Pennzoil dengan tingkat pertumbuhan yang tergolong tinggi, menunjukkan bagaimana di tengah kondisi industri yang oversupply tetap dapat terus memenetrasi pasar. Strategi Evalube dengan memiliki sales force sendiri juga merupakan terobosan yang menarik. Produk yang inovatif saja tentu tidak cukup menghadapi persaingan yang semakin ketat, yang ditandai dengan gebrakan pesaing dengan dukungan anggaran komunikasi yang cukup besar.
Apa yang dilakukan Mio dan Evalube menunjukkan contoh sangat pentingnya kejelian melihat pasar. Tentu, ini harus diikuti dengan berbagai program unik yang sesuai dengan target pasar, tanpa tergantung standar industri yang telanjur didikte pemain-pemain lama.
Dengan populasi kaum wanita yang lebih banyak dari kaum pria dan mereka merupakan pasar yang belum dilayani dengan baik, gebrakan Mio ini tentu merupakan manuver yang cukup cerdik. Di acara peluncuran di Fashion Cafe itu, saya dan sejumlah undangan melihat bahwa Mio -- sepeda motor empat tak dengan kapasitas silinder 115 cc dan bertransmisi otomatis -- dirancang khusus agar sesuai dengan postur rata-rata wanita Indonesia, baik dari segi desain maupun bobotnya.
Bahkan kabarnya, untuk meluncurkan Mio, YMKI harus melakukan riset mendalam selama dua tahun untuk pengembangannya dengan menelan investasi sebesar 600 juta yen. Angka yang tidak kecil, yang menunjukkan bagaimana komitmen YMKI terhadap pasar wanita di Indonesia. Komitmen ini dibuktikan dengan usaha Yamaha memasarkan Mio ke beberapa negara selain Indonesia, yaitu Malaysia dan Thailand.
Keinginan YMKI menyasar segmen Mio ini bukanlah hal gampang. Kendala psikologis kaum wanita terhadap sepeda motor tentu merupakan hambatan utama, selain faktor penjualan, servis dan suku cadang. Tidak mengherankan, Mio melakukan berbagai cara untuk mendongkrak penjualan sepeda motor pertama khusus wanita ini.
Menghilangkan kendala psikologis tidak cukup hanya dengan meyakinkan si wanita sebagai calon pengguna, tetapi juga meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa sepeda motor bukan merupakan dominasi kaum pria. Lihat saja beberapa kegiatan Mio yang cukup kreatif, seperti mempersilakan siswi-siswi menjajal Mio. Selain untuk mengakrabkan Mio dengan target pasarnya, juga untuk menunjukkan wujud Mio sebagai sepeda motor yang dinamis dan energik bagaikan siswi-siswi remaja yang sedang lincah mengejar impiannya.
Produk yang menyasar segmen wanita ini tentu tidak cukup hanya mengandalkan dealer. Berbagai kegiatan yang dilakukan merupakan usaha menjemput bola, tanpa tergantung pada saluran konvensional.
Dengan peluncuran Mio ini, Yamaha patut bangga menjadi merek pertama sepeda motor di Indonesia yang peduli terhadap kaum wanita. Pasar yang dilihat sebelah mata dan dipersepsikan tidak menarik karena adanya hambatan psikologis ini, ternyata justru cukup menjanjikan. Wajar, menurut data terakhir, Yamaha dapat menduduki posisi kedua di industri sepeda motor Indonesia.
Manuver yang dilakukan Yamaha dengan Mionya tentu merupakan contoh menarik bagaimana melihat pasar secara kreatif. Tingkat persaingan yang semakin ketat membuat perusahaan harus selalu berpikir kreatif. Tidak hanya sekadar mengandalkan pasar yang sudah ada, tetapi juga menyasar pasar lain yang terabaikan dan belum dilayani.
Evalube, complementary brand Pennzoil dengan tingkat pertumbuhan yang tergolong tinggi, menunjukkan bagaimana di tengah kondisi industri yang oversupply tetap dapat terus memenetrasi pasar. Strategi Evalube dengan memiliki sales force sendiri juga merupakan terobosan yang menarik. Produk yang inovatif saja tentu tidak cukup menghadapi persaingan yang semakin ketat, yang ditandai dengan gebrakan pesaing dengan dukungan anggaran komunikasi yang cukup besar.
Apa yang dilakukan Mio dan Evalube menunjukkan contoh sangat pentingnya kejelian melihat pasar. Tentu, ini harus diikuti dengan berbagai program unik yang sesuai dengan target pasar, tanpa tergantung standar industri yang telanjur didikte pemain-pemain lama.