BannerFans.com

Ketika Brand Adalah Segalanya

Di era ekonomi citra sekarang ini, brand menjadi aset terpenting yang memukau konsumen dan menentukan sukses atau gagalnya perusahaan. Tak heran, brand-brand kuat menjadi rebutan pebisnis dan diperjualbelikan sebagai jalan pintas meraih sukses. Namun, mengapa banyak perusahaan kita yang masih setengah hati membangun brand-nya?

”What is in a name?” begitu penggalan ucapan William Shakespeare yang paling banyak dikutip. ”Mawar tetaplah harum meski namanya diganti dengan apa pun,” lanjut pujangga Inggris ini. William keliru besar. Mawar memang tetap harum seandainya namanya diganti. Namun, yang dicari orang adalah mawar – bukan bunga yang beraroma harum, berwarna indah, dan memiliki kelopak berlapis-lapis. Mawar sudah menjadi representasi dan asosiasi dari keharuman dan keindahan itu sendiri. Jika namanya diganti, para pecintanya akan menampik dan berpaling darinya.

Nama, brand atau merek adalah representasi dan asosiasi sebuah produk – baik mutu, harga, nilai, maupun gengsinya. Sepotong nama ini bisa berarti banyak. Brand adalah pukau, daya pikat, pesona sekaligus pembeda produk yang satu dari yang lain. Brand inilah yang memikat orang hingga mengagumi, memburu dan membeli sebuah produk atau karya. Tanpa brand yang menancap kuat di benak konsumen, sebuah produk hanyalah komoditas yang dihargai rendah meski mungkin dari sisi fungsional manfaatnya sama. Namun dengan brand yang kuat, harga produk yang sama tadi bisa menjadi berlipat ganda – bahkan priceless. Inilah yang membuat Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut di era ekonomi citra (the image economy) kini, peranan brand sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda.

Stephen King, CEO WPP Group, London, mendefinisikan produk sebagai barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. “Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” katanya.

Simak saja brand GE (General Electric) dan Coca-Cola. Kedua merek ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan ketika tulang-belulang Dr. Thomas Alva Edison (pendiri GE) dan Dr. John S. Pemberton (pendiri Coca-Cola), telah memutih bahkan menyatu dengan tanah, kedua brand ini justru makin belia dan menguasai dunia.

Toh, untuk membangun brand yang kokoh dan mampu menggerakkan pembeli dengan suka rela mengeluarkan uangnya tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu relatif panjang untuk membuktikan keperkasaan merek, dan menjadikannya sebagai itik bertelur emas, yang terus-menerus menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Alhasil, untuk memperoleh merek yang bagus, orang tak ragu membeli merek itu; mengakuisisi seluruh atau sebagian besar saham perusahaan; atau menjalin kemitraan dengan pemilik merek cemerlang tadi. Ketiga pola ini banyak diterapkan perusahaan yang ingin menguasai atau turut merasakan sawab merek ini.

Pola pertama dilakukan The Coca-Cola Company ketika membeli brand AdeS, air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat itu (tahun 2000) menduduki peringkat kedua pangsa pasar AMDK. Perusahaan ini rela menggerojokkan dana US$ 19,9 juta untuk mengambil alih brand AdeS dan beberapa merek lainnya (Desca, Desta dan Vica) di bawah PT Ades Alfindo Putra Setia. Pola ini juga dilakukan Unilever pada Sariwangi.

Pola kedua dilakukan Danone ketika mengakuisisi sebagian saham PT Aqua Golden Mississippi. Ketika itu, tahun 1999, produsen AMDK bermerek Aqua ini sedang kesulitan keuangan akibat krisis moneter yang melambungkan harga patokan eceran tertinggi kemasan AMDK, yang harus diimpor.

Pola ketiga juga bisa kita lihat pada kasus Aqua-Danone. Bermitra dengan perusahaan asal Prancis ini, merek Aqua ikut terkatrol. Danone adalah pemilik merek Evian, Ferarele, Volvic; Danone menguasai pasar lapisan atas, tengah hingga bawah; serta menjadi penguasa pasar di banyak belahan dunia. Evian, Ferarele dan Danone berjaya di pasar Eropa. Adapun di Amerika Serikat ia berkibar dengan bendera Danon (bukan Danone). Dengan menggandeng Danone dan melakukan co-branding, Aqua bisa lebih mudah menembus pasar ekspor. Sebaliknya, dengan bendera Aqua, Danone bisa menembus pasar Indonesia (yang sangat besar dan potensial), serta negara jiran seperti Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Berkat gandengan ini Aqua menjadi merek tunggal terbesar dengan volume penjualan terbesar di seluruh dunia.

Akuisisi merek – atau perusahaan pemilik merek – memang merupakan jalan pintas dalam strategi pertumbuhan anorganik. Ketimbang harus menunggu bagian riset dan pengembangan mengembangkan produk baru, meluncurkannya ke pasar, menggadang-gadangnya hingga kinclong dan menjadi jagoan, akan jauh lebih cepat dan kurang berisiko jika mengakuisisi merek yang telah mumpuni dan memiliki pasar yang loyal. Apalagi kita masih ingat sejumlah kegagalan meluncurkan merek. Bahkan raksasa sekaliber Unilever yang begitu berpengalaman dan tebal koceknya pun pernah tersandung ketika meluncurkan Tara Nasiku (1999)

Maka, logislah bila yang diakuisisi adalah merek-merek yang berkibar, seperti: Aqua oleh Danone; AdeS oleh Coca-Cola; kecap Bango, teh Sariwangi, snack Taro, jus Buavita dan Go-Go oleh Unilever; ABC oleh Heinz; kopi Tugu Luwak dan kecap Piring Lombok oleh Indofood; dan sebagainya. Konsekuensinya, tentu harganya tinggi. Pasalnya, ke dalam perhitungan harga ini termasuk pula nilai merek di mata konsumen, pangsa pasar, loyalitas konsumen, dan potensinya merebut konsumen masa depan, serta tentu saja goodwill-nya.

Pertanyaannya, jika memang merek itu kinclong dan merupakan itik bertelur emas yang terus-menerus menghasilkan untung, mengapa sang pemilik merek mau menjualnya. Ada banyak alasan. Mulai yang karena terjadi konflik di dalam keluarga pemilik merek seperti kasus kecap Bango; kekurangan modal atau terjepit posisi keuangannya (Aqua); membutuhkan mitra strategis (ABC, dan Aqua); hingga yang pemiliknya ingin beralih ke bisnis yang sama sekali berbeda (Sampoerna).

Apa pun alasannya, kita tentunya berharap agar akuisisi brand ini bersifat win-win, kedua pihak sama-sama puas dan meraih untung. Untuk itu kedua pihak harus terbuka dan memikirkannya masak-masak. Pemilik brand harus mengalkulasi apakah imbalan yang diterima cukup layak sebagai pengganti itik bertelur emasnya, dan apakah ia telah siap dengan bisnis penggantinya – baik dari sisi dana maupun kompetensi. Jika harus bermitra, harus ditelisik apakah mitra yang bakal disanding itu memang strategis untuk memperkuat bisnisnya, serta mampu menyumbang lebih banyak manfaat ketimbang mudarat. Begitu pula, pembeli merek pun perlu berhitung agar tak menyesal karena merasa membeli kucing dalam karung, bukan itik bertelur emas. (Swa.co.id)