Abstrak
Rasa nyeri sendi mengundang penderita untuk segera mengobatinyaapakah dengan farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibatartritis. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetika ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerjasediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistemkardiovaskuler. Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Pendahuluan
Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat artritis. Anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetik ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal (Lelo, 2001). Mengingat bahwa penggunaan AINS akan meningkatkan risiko iatrogenic, Tamblyn dkk (1997) mengkaji peresepan AINS yang tidak diperlukan. Grup peneliti ini menemukan bahwa gastropati akibat penggunaan AINS didiagnosa dengan tepat pada 93,4% kunjungan dan ditanggulangi dengan benar pada 77,4% kunjungan. Risiko peresepan AINS yang tidak diperlukan lebih besar bila kontraindikasi AINS tidak dikaji dengan seksama) dan risiko penanggulangan efek samping yang tak benar makin meningkat akibat masa kunjungan yang lebih singkat.
Untuk melakukan terapi medikamentosa yang rasional pada penderita nyeri rematik, diperlukan pengertian ringkas tentang:
- mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
- AINS sebagai antinyeri rematik
- pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri. Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri. Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX- 2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo, 2001).
Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto- PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi leukotriene.
AINS sebagai antinyeri rematik
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr. Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002). Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2. Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik.
AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:
1 . Terdistribusi ke sinovium
Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di sinovium. Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac (Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997), ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies & Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies & Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium. Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan khasiat antinyeri rematik yang nyata.
2. Mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya. Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).
3. Masa kerja AINS yang lama (panjang)
Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam) memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah
terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko. Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih
aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang. Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium (90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).
4. Bahan aktif AINS bukan rasemik
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999) dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)- dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).
5 . Bahan aktif AINS bukan prodrug.
Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.
6. Efek samping AINS yang minimal
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan. AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:
> Gangguan saluran cerna
Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon (metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide, celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung. Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri- sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan
mukosa saluran cerna.
> Gangguan ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
> Gangguan sistem kardiovaskuler
Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta- analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000) menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.
> Gangguan pembekuan darah
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat
makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif.
7 . Memberikan interaksi yang minimal
Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma. Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah jantung (Lelo, 2001).
8. Mekanisme kerja multifactor
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan PGE2 dengan cepat. Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX- 2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL- 6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS
yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002)
berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.
Kesimpulan
Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum peresepannya. Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler. Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Asnan Lelo D.S Hidayat
Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Traumatik
Universitas Sumatra Utara
Rasa nyeri sendi mengundang penderita untuk segera mengobatinyaapakah dengan farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibatartritis. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetika ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal. Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerjasediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistemkardiovaskuler. Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5)bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Pendahuluan
Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat artritis. Anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetik ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal (Lelo, 2001). Mengingat bahwa penggunaan AINS akan meningkatkan risiko iatrogenic, Tamblyn dkk (1997) mengkaji peresepan AINS yang tidak diperlukan. Grup peneliti ini menemukan bahwa gastropati akibat penggunaan AINS didiagnosa dengan tepat pada 93,4% kunjungan dan ditanggulangi dengan benar pada 77,4% kunjungan. Risiko peresepan AINS yang tidak diperlukan lebih besar bila kontraindikasi AINS tidak dikaji dengan seksama) dan risiko penanggulangan efek samping yang tak benar makin meningkat akibat masa kunjungan yang lebih singkat.
Untuk melakukan terapi medikamentosa yang rasional pada penderita nyeri rematik, diperlukan pengertian ringkas tentang:
- mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
- AINS sebagai antinyeri rematik
- pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri. Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri. Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX- 2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo, 2001).
Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto- PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi leukotriene.
AINS sebagai antinyeri rematik
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr. Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002). Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2. Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik.
AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:
1 . Terdistribusi ke sinovium
Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di sinovium. Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac (Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997), ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies & Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies & Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium. Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan khasiat antinyeri rematik yang nyata.
2. Mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya. Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).
3. Masa kerja AINS yang lama (panjang)
Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam) memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah
terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko. Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih
aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang. Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium (90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).
4. Bahan aktif AINS bukan rasemik
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999) dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)- dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).
5 . Bahan aktif AINS bukan prodrug.
Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.
6. Efek samping AINS yang minimal
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan. AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:
> Gangguan saluran cerna
Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon (metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide, celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung. Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri- sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan
mukosa saluran cerna.
> Gangguan ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
> Gangguan sistem kardiovaskuler
Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta- analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000) menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.
> Gangguan pembekuan darah
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat
makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif.
7 . Memberikan interaksi yang minimal
Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma. Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah jantung (Lelo, 2001).
8. Mekanisme kerja multifactor
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan PGE2 dengan cepat. Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX- 2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL- 6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS
yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002)
berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.
Kesimpulan
Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum peresepannya. Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler. Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Asnan Lelo D.S Hidayat
Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi dan Traumatik
Universitas Sumatra Utara