W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, penulis buku best seller: Blue Ocean Strategy pasti tidak menduga bahwa pemikirannya tentang menciptakan ruang pasar baru sudah dilakukan beberapa perusahaan Indonesia. Di antaranya PT Kalbe Farma Tbk. (KF). Perusahaan farmasi nomor tiga di Indonesia dengan nilai terbesar di antara perusahaan farmasi publik – Rp 5,8 triliun – ini beberapa kali membuat langkah samudra biru dalam mengembangkan produk-produk andalannya.
Yang dimaksudkan strategi samudra biru, menurut Kim dan Mauborgne, adalah bagaimana membuat ruang pasar yang belum terjelajahi, yang bisa menciptakan permintaan dan memberikan peluang pertumbuhan yang sangat menguntungkan. Intinya, bagaimana bersaing dengan tangkas dalam kompetisi; bagaimana secara cerdik membaca persaingan, menyusun strategi dan kerangka kerja yang sistematis guna menciptakan samudra biru.
Nah, sejak berdiri tahun 1966, jauh sebelum Blue Ocean Strategy ditulis, KF sudah berpedoman pada cara berpikir tersebut. KF selalu menempatkan produknya berbeda dari merek lain, atau bahkan dijadikan pionir di kategorinya, seperti Promag, Neo Entrostop di awal tahun 1970-an; hingga merek Fatigon, Fatigon Spirit, Prenagen, Chil-Mil, Chil-Kid, dan Deabetasol yang lahir di era 2000-an. Sehingga dalam eksistensinya, merek-merek itu selalu menonjol di belantara merek-merek sejenis.
Kemudian, KF selalu melakukan inovasi dan rejuvinasi agar merek-mereknya tetap segar dan terus menemukan samudra biru. Umpamanya, upaya pembaruan pada Cerebrovit, Cerebrovot, Procold, Extra Joss, dan sebagainya. Itu sebabnya, merek-merek KF betah menjadi pemimpin pasar di kelasnya. Dan, persis seperti ditulis Kim dan Mauborgne, jika penciptaan samudra biru tidak pernah berhenti, tidak ada pesaing yang berarti yang menghampirinya. Merek-merek itu bisa melenggang ke pasar sendirian. Mungkin, kalau ada persaingan pun tidak lagi relevan.
Simak perjalanan Fatigon yang lahir di medio 1995. Produk ini meluncur dari ethical menjadi over the counter (OTC) saat pasar multivitamin sedang naik daun. Kalau hanya menggunakan perhitungan matematis, ia pasti akan lumat oleh merek-merek lain yang jumlahnya bejibun. Apalagi upaya peluncuran kembali Fatigon bersamaan dengan krisis moneter sedang menghajar bangsa Indonesia tahun 1997.
Akan tetapi, tidak demikian pada Fatigon. Ia tetap eksis karena KF berketetapan terus beriklan, walaupun anggarannya harus dikurangi. Dibantu oleh biro iklan Dwi Sapta Advertising (DSA), Fatigon mengalihkan komunikasinya ke radio-radio daerah. Sementara iklan televisi hanya digunakan sebagai penopang. “Iklan televisi hanya kami gunakan untuk awareness bahwa ada produk yang namanya Fatigon,” kata Boedi Haryono, Manajer Merek Grup KF, mengilas balik perjalanan Fatigon.
Lalu, Fatigon juga tidak hanya terpaku menawarkan manfaat daya tahan tubuh dan stamina. Sebaliknya, Fatigon memosisikan diri sebagai produk multivitamin yang dapat meredakan dan mengurangi rasa lelah (capek) yang mengganggu. Kandungan kalium aspartat dan magnesium aspartat yang ada dalam Fatigon membantu menguraikan asam aspartat. “Bukankah strategi seperti itu bisa dibilang langkah samudra biru yang ada dalam buku Blue Ocean Strategy,” ujar Boedi mengenai Fatigon yang keluar dari kerumunan persaingan multivitamin.
Dalam perjalanannya, Fatigon juga menggali diferensiasi komunikasi, yakni dengan menunjuk sosok Ari Wibowo sebagai ikon ataupun endorser. Ari dipilih oleh DSA – biro iklan Fatigon – karena dianggap dapat mewakili profil Fatigon. Dia aktor yang sedang menanjak kariernya, muda, aktif dan penuh semangat. Ari dikenal memiliki pola hidup sehat, rajin olah raga (memperdalam taekwondo) dan pekerja aktif. Di mata masyarakat, pria ini memiliki citra positif karena memiliki banyak aktivitas, tidak merokok, dan juga antinarkoba.
Keberadaan endorser, dikatakan A. Adji Watono, Presdir DSA, sangat diperlukan Fatigon yang sedang ingin meraih brand awareness saat itu. “Selebriti bisa menjadi alat ampuh menarik target pasar, apalagi jika ia memiliki karakter yang bisa memperkuat positioning produk,” Adji menandaskan. Terbukti, menurut Boedi, Ari Wibowo berhasil menjadi pendorong kuat dalam rangka mendekatkan Fatigon dengan konsumennya. Sejak sukses iklan versi testimonial Ari (tahun 2000), performa penjualan terus membubung tinggi. “Kami berhasil melihat peluang pasar yang potensial lewat diferensiasi dan positioning yang kami ciptakan sejak awal,” ungkap Boedi seraya menambahkan bahwa Fatigon berhasil meraih 27% pangsa pasar multivitamin.
Johanes Setijono, CEO KF membenarkan, Fatigon memang produk unik. Ia dipasarkan sebagai penghilang lelah. Dulu, seperti Neurobion, menghilangkan pegal-pegal dengan komposisi vitamin saja. Kemudian Fatigon ditambahkan zat yang lebih berkhasiat dalam menghilangkan pegal-pegal. “Kami tambahkan zat yang dengan itu bisa diklaim menghilangkan lelah,” ujar Johanes memuji kecerdikan pemasaran Fatigon.
Cerita di Divisi Kesehatan Makanan KF yang memproduksi produk nutrisi lain lagi. Sebagai produsen dari 14 merek, di antaranya: Prenagen, Morinaga dengan lima produk (BMT, Chil-Mil, Chil-Kid, Chil-School, NL33), Entrosol Gold, Diabetasol (susu diet diabetes), Entrasol, Neprhisol, Peptisol, dan sebagainya, KF justru terlihat menggarap ceruk-ceruk kecil yang selama ini tidak banyak disentuh produsen susu.
Dikatakan A. Teguh Nugroho, Direktur Pengelola PT Sanghiang Perkasa, ia melihat peluang besar menggarap mulai ibu hamil, susu bayi, lalu anak kemudian dewasa. Dan terbukti, hasilnya istimewa. Prenagen memiliki pangsa pasar lebih dari 60%; Milna biskuit pangsa pasarnya juga terbilang tinggi, di atas 50%. “Morinaga series kami bermain di segmen premium,” ucap Teguh. Di pasar susu infan Morinaga menguasai pangsa pasar 10%, Chil- Mil 15%, selebihnya dikuasai susu murah.
Spesialisasi menjadi kekuatan Sanghiang yang kini sudah diambil alih KF. Sanghiang pertama didirikan tahun 1985 dengan produk Prenagen, juga sempat memproduksi sirup. Ketika tahun 1992 Sanghiang memfokuskan pada makanan kesehatan (health food), maka produk sirup dihapus. Kepemilikan tetap 99% oleh KF. “Karena fokus selanjutnya adalah pertumbuhan semakin bagus,” ujar Teguh.
Dalam setiap pengembangan produk, Teguh menuturkan, berangkat dari pemahaman kebutuhan konsumen lalu dikembangkan oleh bagian riset untuk menentukan ingredient sesuai dengan kebutuhan nutrisi, semisal Prenagen untuk ibu hamil, kebutuhannya apa saja. “Selain produknya memenuhi kebutuhan kami juga mempunyai visi merek mau dikembangkan ke mana,” tutur Teguh. “Sesuai dengan visi perusahaan kami juga berusaha untuk selalu tampil dengan first in the market product dan menjadi pionir di pasar, itu salah satu kunci keberhasilan,” sambungnya.
Tentang Morinaga, Widjanarko Loka Djaja, Direktur Pemasaran & Penjualan PT Sanghiang Perkasa, memaparkan, lisensi susu bayi asal Jepang ini tahun 1980-an sudah dipegang Kalbe Farma melalui anak usaha Enseval, “Mulanya hanya trading,” ujarnya. Baru kemudian dialihkan ke Sanghiang karena konsentrasi bisnis di makanan kesehatan.
Sanghiang dalam melahirkan produk baru, disebutkan Teguh, lebih banyak menciptakan sesuatu yang baru daripada akuisisi atau lisensi, sementara Morinaga adalah sebagai mitranya. “Makanan kesehatan adalah industri baru yang sedang tumbuh, khususnya di Indonesia, jadi kami melihat di situ peluangnya masih banyak. Makanya kami bisa menyerap sesuatu hal yang baru dan menghadirkannya di sini,” Teguh memaparkan. Menurutnya, Sanghiang diuntungkan karena latar belakangnya dari farmasi, sehingga bisa paham kebutuhan nutrisi, kebutuhan orang sakit apa saja, “Dari situ kami bisa tahu langsung, ini bisa di-treat seperti apa,” sambungnya. Salah satu inovasi yang baru saja diluncurkan adalah Prenagen Enesis untuk antimual berbentuk nutrisi ibu hamil.
Diungkapkan Teguh, dr. Boen banyak menginspriasi ide-ide produk baru. “Dia selalu punya banyak ide produk baru, kami yang menyeleksi mana yang bisa dikerjakan,” ungkapnya. Cetusan ide dari dr. Boen muncul dalam acara meeting formal ataupun pada saat gathering. Untuk men-drive tiap perusahaan agar rajin berinovasi, Boen sampai menetapkan persentase penjualan produk baru terhadap total penjualan harus 25%. “Komitmen dr. Boen tinggi sekali terhadap inovasi,” ujar Teguh. Kategori produk baru sendiri adalah produk yang usianya di bawah tiga tahun.
Selain inovasi, branding juga dianggap sangat penting. “Branding merupakan salah satu alat kami untuk bersaing,” kata Teguh. Keuntungan melakukan branding, lanjutnya, harga bisa dijual lebih mahal kalau diserang juga tidak mudah goyah. “dr. Boen yakin bahwa branding yang bisa membawa kami jauh lebih bagus, maka iklannya semua banyak.”
Lain lagi dengan Promag. Diluncurkan pertama kali tahun 1971 –first mover OTC dari produk ethical, Promag sampai sekarang melenggang sebagai penguasa tunggal di kategori pasar obat mag dengan pangsa pasar lebih dari 80%. Dari awal hampir tidak ada pesaing. Mulanya ada Mylanta – produk Pfizer yang dulu cukup mahal di kantong konsumen – dan Waisan yang beberapa tahun kemudian menyusul, serta merek-merek lain yang beredar di pasaran.
Johanes yang waktu itu salah satu karyawan di bagian riset dan pengembangan (research & development/R&D) yang turut membidani kelahiran Promag mengenang, KF hanya berpikir belum ada obat mag yang dipasarkan secara bebas dan dijual dengan harga terjangkau. Kebetulan pada masa itu, dr. Boen – pendiri KF – masih terlibat aktif. “Sebagai farmakolog cepat sekali dia memberi usulan komposisinya. ‘Oh komposisinya harus ini, ini’. Langsung dari situ ke R&D. Selanjutnya kami hanya mengembangkan produk yang sebagian sudah diformulasikan oleh dr. Boen,” papar Johanes yang mengaku lupa komposisi awal Promag. Yang ia ingat, penggodokan Promag hingga siap dilempar ke pasaran, tak sampai satu tahun, cuma 7-8 bulan.
Kalau sampai sekarang Promag masih memimpin pasar, menurut Johanes, tidak mengherankan. Di matanya, meskipun sudah besar, Promag tidak melupakan aktivitas komunikasi. Produk ini terus-menerus dikembangkan dalam berbagai strategi. KF tidak pernah berhenti membangun citra merek, memperkuat ekuitas merek, dan melakukan perbaikan produk, baik dari sisi komposisi maupun kemasan. Salah satu inovasi Promag adalah dikeluarkannya Promag Double Action — yakni produk yang ditujukan untuk pasar menengah-atas. Selain itu, komposisi Promag dari tahun ke tahun juga terus diperbarui sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu farmasi. “Komposisi Promag sekarang berbeda sekali dibanding ketika pertama kali diluncurkan. Saya sudah tidak ingat lagi ,” kata Johanes.
Sama dengan Fatigon, Promag juga punya endorser yang awet, yakni Deddy Mizwar dengan momen keagamaannya. Sejak tahun 1990, Promag selalu menampilkan Deddy guna menyambut Ramadhan dan Idul Fitri. Hasilnya, memang benar, sosok Deddy sebagai seorang Muslim yang taat dapat meningkatkan penjualan produk. Dengan pendekatan agamis seperti itu, sampai sekarang Promag nomor satu di kategorinya.
Mixagrip juga dikembangkan dengan strategi samudra biru. Obat flu dari Dankos — kini dilebur dalam Grup KF — ini, walaupun tak bisa membuat diferensiasi yang luar biasa dibanding produk sejenis lainnya, ia tetap saja dapat memilih cara komunikasi yang berbeda dibanding produk sejenisnya. Caranya, Mixagrip mencoba memperkuat positioning dan diferensiasi produk lewat regulasi pemerintah yang tak memperbolehkan iklan televisi di penghujung 1980-an. Manajemen Dankos dengan cerdas dan jeli bermain via jalur radio di samping print advertising. Persisnya, Mixagrip menjadi sponsor sandiwara radio Misteri Nini Pelet.
Hasilnya, luar biasa. Seiring populernya sandiwara tersebut, promosi lewat jalur radio — yang tidak dilakukan pemain lain — membuat awareness produk ini meningkat, sehingga penjualan Mixagrip pun turut terdongkrak. ”Target setahun bisa tercapai hanya dalam tempo sebulan,” ujar Boedi tanpa merinci detailnya. Sejak itu, pelan tapi pasti, Mixagrip pun mulai menyalip sang pemimpin pasar, dan akhirnya menjadi penguasa pangsa pasar di awal dekade 1990-an. Mixagrip, terutama merangsek pasar lewat daerah-daerah rural dan suburban yang merupakan target pasarnya.
Ketika KF masih berambisi mendongkrak penjualan Mixagrip, DSA turun tangan membantu menawarkan strategi keluar dari kerumunan (out of the crowd) dalam membuat iklan TV komersial. ”Waktu itu saya amati, iklan-iklan obat itu mayoritas pakai pelawak. Semua orang pakai Basuki (eks Srimulat). Jadi, kalau iklannya dijelentrengin, kok kayaknya jadi generik dan tidak ada bedanya,” ungkap Nani S., Direktur Kreatif DSA. Karena itu, “Kami coba bikin yang beda. Pakai lagu. Pakai jingle. Dan itulah yang dipilih klien,” lanjut Nani yang menunjuk Desi Ratnasari, artis sinetron asal Sukabumi membintangi iklan Mixagrip.
Pilihan terhadap Desi membuahkan hasil. Seperti diungkap Boedi, penjualan Mixagrip kembali pulih. Posisi penguasa pasar pun tetap tegar dalam dekapan (23%). “Iklan yang jingle base dengan kata-kata di dalamnya, Cocok minum Mixagrip, cukup aware untuk kelas middle-low,” kata Nani menganalisis.
Johan Leo, Manajer Merek Mixagrip dan Procold, mengatakan, KF memang tidak pernah main-main dalam peluncuran ataupun pengembangan produk. Walaupun proses yang dilalui untuk melahirkan produk-produk panjang dan berliku, kompleks, karena melibatkan cukup banyak departemen dan fungsi-fungsi di perusahaan, serta tidak jarang jatuh-bangun, KF tidak pantang menyerah. Konsistensinya memperjuangkan pasar menjadi nilai lebih yang dimiliki.
Sebagai perusahaan obat, konsistensi di segala bidang, mulai dari pemasaran hingga kualitas produk merupakan tanggung jawab yang harus diprioritaskan. Usaha untuk mempertahankan kualitas produk dilakukan oleh perusahaan dalam segala aspek dan oleh seluruh fungsi, tidak hanya dari satu departmen. Sistem di KF telah dikembangkan sedemikian rupa (sesuai dengan ISO 9001 dan CPOB) untuk menjamin hal tersebut.
Johanes Setiono, CEO Kalbe Farma Tbk. menjelaskan, pengembangan produk di KF dibedakan menjadi dua, yakni produk kesehatan konsumen dan obat ethical. Untuk produk kesehatan konsumen, titik awalnya adalah riset konsumen. Dalam riset dicari produk seperi apa yang diinginkan konsumen. Hasil riset selanjutnya diterjemahkan oleh bagian pengembangan bisnis (business development/BD). “Oh kami perlu membuat produk seperti ini, harganya sekian,” ujar Johanes seraya menambahkan bahwa BD langsung bertanggung jawab kepada direksi. “Ya, seperti tangan direksi dalam mencari peluang,” ujarnya. Ide BD sendiri didapat dari berbagai sumber: Internet, riset konsumen dan sebagainya. Namun, untuk produk kesehatan konsumen, titik awal perancangan produknya adalah permintaan konsumen.
Widiyatmo, Manajer Pengembangan Bisnis KF mengatakan, sebagai kepanjangan tangan direksi, yang ia pegang teguh adalah menjabarkan visi perusahaan, yakni memberikan servis terbaik bagi konsumen. Servis ini bisa dalam bentuk produk, bisa juga dalam bentuk edukasi ke pasar (para dokter dan konsumen). Tak kalah penting adalah servis dalam hal pendistribusian obat.
Dari visi di atas, menurutnya, KF dituntut untuk menyediakan produk-produk andal yang dibutuhkan masyarakat (dokter dan konsumen). “Ini berkaitan erat dengan proses KF meluncurkan produk-produk baru. Pertimbangan pertama adalah dari survei pasar, dengan melihat kebutuhan apa yang ada di masyarakat,” kata Widiyatmo yang sebelumnya menjabat Manajer Bisnis & Pengembangan PT Dankos Laboratories Tbk.
Kegiatan survei ini dijalankan secara internal ke end user dan para dokter, ataupun mengundang ekspertis (konsultan) yang memahami bidang ini. Juga, KF mengikuti perkembangan teknologi pengobatan tidak hanya di Indonesia, melainkan menjelajah ke tingkat dunia. Salah satu visi 2010 KF adalah menjadi pemain baik regional maupun global. “Mau tidak mau, KF harus mengikuti perkembangan yang ada di pasar global. Baik perkembangan ilmu pengetahuan maupun pengobatan. Karena itu, selain survei pasar, Divisi Pengembangan Bisnis juga mencari informasi di luar negeri, kira-kira perkembangan teknologi pengobatan atau kondisi konsumen di luar negeri seperti apa,” ungkap Widiyatmo.
Pengalaman Simon Jonatan, CEO Brandmaker memperlihatkan, selama ini banyak ide di KF datang dari bagian pemasaran. Bahkan, menurutnya, sebagian besar perkembangan produk di Kalbe juga berawal dari divisi pemasaran. “CEO di anak-anak perusahaan Kalbe juga sebagian besar dari bagian pemasaran,” ucap Simon.
Maklumlah, bagian pemasaran adalah yang paling sering berhubungan dengan konsumen dan paling sering membaca riset konsumen. Maka tidak mengherankan, bagian pemasaran yang memberikan kontribusi besar pada BD. Misalnya, jika ada usulan produk baru, biasanya bagian pemasaran bersama dengan data dari BD membawa ke bagian R&D. “Tapi go-not-go-nya suatu produk tergantung pada pandangan direktur-direkturnya,” ungkap Simon. Ia menambahkan, KF selalu melihat peluang, segmen, target pasar, dan sebagainya.
Jika R&D telah berhasil mengembangkan suatu produk, rancangan itu dilempar kembali ke bagian pemasran untuk dibuatkan rencana pemasarannya, kemasan, jumlah isi per kemasan, rasa, warna dan sebagainya.
Johanes masih ingat, dulu di tahun 1970-1980-an, pengembangan suatu produk hingga siap dilempar ke pasaran sangatlah cepat. Sebagai contoh, penggodokan Promag hingga siap dilempar ke pasaran, seingatnya, hanya memakan waktu 7-8 bulan. “Karena masih banyak kekosongan pasar sehingga orang bisa cepat melihat suatu peluang produk,” ujarnya.
Namun sekarang, zaman sudah berbeda. Pasar sangatlah crowded. Jika ingin masuk ke suatu pasar, harus menyelidiki secara sangat mendalam peluang yang tersedia. “Jadi sekarang kalau mau meluncurkan produk sakit kepala, harus lihat dulu obat untuk sakit kepala yang seperti apa,” ungkap Johanes. “Kini, untuk menyiapkan produk baru ini membutuhkan waktu yang cukup panjang dan bervariasi, 18 bulan hingga 3 tahun,” sambungnya.
Menurut Johanes, beberapa produk unggulan KF awalnya berasal dari obat ethical, seperti Promag, Fatigon, dan yang terakhir Neuralgin. Kok bisa? “Yang melatari pemikiran perubahan produk ethical ke OTC adalah apabila peluangnya besar sekali jika produk tersebut dipasarkan ke pasar bebas,” jawabnya. “Kalau peluangnya ada di bebas ya kami arahkan ke bebas,” tambah Johanes sambil tertawa.
Yang pasti, KF tidak akan pernah membiarkan produknya berjalan sendirian. Evaluasi terhadap produk dilakukan secara rutin oleh Divisi Quality Assurance dan Divisi Pemasaran. Tujuannya untuk melihat apakah perlu ada perbaikan produk. “Namun selama penjualan masih baik dan meningkat terus, biasanya masih tenang-tenang saja, ” ujar Johanes. Toh, kadang-kadang juga saat produk penjualannya masih baik, pihak pemasaran merasa lebih baik jika dilakukan suatu perubahan. “Jadi terkadang harus proaktif terus,” ia menambahkan.
Namun, jika menurun, maka pihak pemasaran harus melakukan riset pasar lagi, agar bisa diketahui letak kesalahannya. Divisi Pemasaran juga yang harus melakukan perubahan posisi, perubahan kemasan, hingga ke perubahan warna produk jika dirasa hal itu dapat meningkatkan penjualan kembali. Terkadang perubahan mengharuskan suatu produk di-R&D-kan lagi, tapi terkadang hanya kemasan atau komunikasinya yang perlu diubah, jadi perubahan hanya dilakukan di Divisi Pemasaran.
Riset pasar? Betul, Pre Agusta Siswantoro, Direktur R&D Korporat Grup Kalbe merangkap Direktur Manufakturing PT Bintang Toedjoe, dan Anita Ekajanty, Manajer R&D Grup Kalbe membenarkan penjelasan Johanes. Menurut mereka, KF memang memberikan porsi sangat besar di bidang riset. Itu sebabnya, saat ini KF mempunyai lima laboratorium di tiga lokasi, yakni di Cikarang, Pulogadung dan Pulomas. Sekarang, lab di Cikarang dan satu unit lab di Pulogadung ditujukan untuk R&D produk pharmaceutical Kalbe seperti Procold dan lain-lain. Sementara itu, satu unit lab yang berlokasi di Pulomas ditujukan untuk R&D produk consumer health seperti Extra Joss; dan satu unit lab lagi yang juga berlokasi di Pulomas untuk mengembangkan teknologi masa depan seperti teknologi Stemm Cell — sel induk manusia yang bila dikembangkan bisa tumbuh menjadi organ pengganti organ tubuh yang telah rusak seperti jantung dan sel beta pankreas. Teknologi ini menurut dr. Boen di beberapa kesempatan, termasuk dalam kedokteran regeneratif .
Pre yang kini mengomandani seluruh R&D Grup Kalbe mengatakan, ia berperan serta dalam mempertimbangkan apakah suatu ide bisa direaliasasi dengan kompetensi/teknologi yang ada di KF tau tidak. Pre juga memberi masukan mengenai ketersediaan dan kemudahan memperoleh bahan baku. Hal ini sangat penting, menurut Pre, jika dalam tahap awal diketahui bahwa teknologinya belum tersedia atau bahan bakunya sangat langka sehingga berdampak pada mahalnya harga produk, maka pengembangannya lebih lanjut bisa disarankan untuk dihentikan.
Ada dua tugas R&D. Pertama, mengembangkan produk baru dan kedua improvement produk yang sudah ada. “Improvement bisa terjadi karena beberapa hal, misalnya karena keluhan konsumen dan improvement kualitas/cost. Kalau improvement cost minimal kualitas produk harus sama meski biaya produksinya lebih efisien. Sementara peningkatan kualitas karena ada bahan baru yang lebih efektif. Seperti misalnya untuk peningkatan komposisi Promag. “Kalau imporvement menyangkut perubahan kompoisisi, harus masuk ke BD lagi. Tapi ide improvement sendiri bisa datang dari BD atau R&D,” Pre menguraikan.
Sementara itu, untuk evaluasi produk dilakukan sebulan sekali bersamaan dengan bagian pengemasan (packaging), produksi dan lainnya. Menurut Pre, yang menjadikan seorang analis R&D hebat adalah jika dalam percobaan yang singkat, hanya 2-3 kali percobaan sudah berhasil menemukan formula yang pas dan layak diproduksi. Kalau yang tidak bisa mereka melakukan trial and error berkali-kali. Hal ini tidak ada guidance. “Tapi kami menyarankan agar jangan takut salah. Kalau tidak bisa stuck. Harus di-challlenge untuk terus mencoba,” ujarnya.
Dari semua itu, sebagai ujung tombak kekuatan produk-produk andalan adalah Divisi Pemasaran. Kini, posisi pemasaran diserahkan kepada Herman Widjaja, yang dikenal bertangan dingin mengembangkan produk-produk unggulan. Kepada SWA, Herman menuturkan bahwa saat ini yang terpenting bagi KF adalah konsolidasi kekuatan setelah melakukan merger. “Dulu, masing-masing anak perusahaan memiliki strategi sendiri. Dengan merger menjadi satu kesatuan untuk mencapai tujuan bersama,” ujarnya .
Untuk mencapainya dilakukan pembagian tugas masing-masing agar kinerja produk, positioning produk, segmentasi pasar jadi lebih teratur dengan sinergi bersama. Itu sebabnya, Herman percaya, pasukan pemasaran KF akan menjadi lebih fokus mendedikasikan tenaganya pada lini bisnis di mana ia ditempatkan. Dengan langkah ini menjadi lebih efisien dan fokus pada segmen dan produk yang hendak digarap.
Diakui Herman, selama ini KF terkenal berhasil menelurkan produk-produk yang melegenda. Ke depan, menurutnya, prestasi KF harus lebih baik lagi. KF harus tahu apa yang menjadi tren di pasar. “Need dan want user harus kami ketahui dan kami harus menjadi pionirnya, jadi kami harus mempunyai kecepatan yang baru dengan memiliki kategori-kategori yang baru pula,” ia menjelaskan.
Saat ini ada 30-an merek produk OTC di tangan KF dan puluhan lain di ethical. Menurut Herman, tugasnya kini menjaga jangan sampai terjadi benturan antarproduk dalam aktivitas pemasaran. “Semuanya mix, tidak ada yang kuat di mana, semua punya kekuatan,” katanya meyakinkan. Menurut pria yang sebelumnya pemimpin Dankos ini, selama KF konsisten dengan konsep produk yang kuat, segmentasi pasar dan positioning yang tepat, maka apa pun yang diproduksi dan dipasarkan, pasti akan diterima masyarakat. Soal taktik dan strategi melahirkan dan membesarkan produk-produk unggulan, menurutnya hanya bagian kecil dari visi KF jangka panjang. (Swa.co.id)