BannerFans.com

Revitalisasi Merek

Dua penyanyi yang saya kagumi sampai sekarang adalah Rod Stewart dan Chrisye. Walaupun umur mereka tidak muda lagi, penampilan mereka masih tetap funky seperti remaja umur 20-an. Anda tahu apa rahasianya?

Beberapa tahun yang lalu kebetulan saya pernah nonton langsung konser Tonight's the Night Rod Stewart di kawasan Picadilly Circus, London. Sebuah pertunjukan yang menurut saya sangat spektakuler dan experiential.

Ketika itu saya baru tahu, ternyata yang menyukai Rod Stewart bukan saja mereka yang seangkatan dengan saya. Bayangkan, setengah audiens di pertunjukan itu adalah mereka yang masih berusia kepala dua atau tiga, yang mungkin belum lahir ketika penyanyi gaek asal Inggris itu menikmati zaman keemasannya.

Mereka asyik berjoget ria sepanjang pertunjukan dan ikut menyanyikan lagu-lagu yang dilantunkan. Bahkan bisa dibilang, mereka yang muda lebih bisa menikmati konser itu dibanding penonton yang seangkatan dengan Rod Stewart. Maka, saya pun salut pada penyanyi kawakan ini, karena ia memiliki kemampuan me-reinvent dirinya sehingga bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Sama halnya dengan Rod Stewart, Chrisye pun begitu: tidak pernah menjadi "tua". Chrisye mungkin satu-satunya penyanyi di atas 50 tahun yang pernah memperoleh penghargaan dari MTV Indonesia, stasiun teve yang sangat melekat di hati remaja. Hal itu merupakan indikasi betapa kuatnya penerimaan pasar anak muda terhadap Chrisye.

Rod Stewart dan Chrisye adalah dua contoh penyanyi yang young at heart alias tua tapi funky. Seakan-akan memiliki siklus hidup yang tak pernah berhenti, dua penyanyi gaek ini masih bisa terus merevitalisasi merek mereka agar tetap hot di pasar dunia musik yang terus berubah seiring perkembangan zaman.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan revitalisasi merek? Langkah branding ini dimaksudkan untuk menggairahkan kembali atau memberikan energi baru pada suatu merek demi menambah ekuitasnya. Misalnya, setelah sekian lama hilang dari peredaran, bisa saja sebuah merek muncul kembali dengan gebrakan baru untuk menjadikannya hot lagi di pasar. Gebrakan yang bersifat taktikal seperti lewat perubahan konsep komunikasi dan perbaikan produk.

Konsep revitalisasi merek ini saya rasa sangat relevan dengan kasus Sampoerna Hijau. Seperti yang saya ulas dalam buku saya mengenai Sampoerna, 4-G Marketing: a 90-year Journey of Creating Everlasting Brands. Merek sigaret keretek tangan (SKT) kedua dari Sampoerna ini sempat "tidur" selama 32 tahun di pasar akibat kerancuan strateginya. Sampoerna Hijau bisa dibilang terlalu "dekat" dengan kakak kandungnya, Dji Sam Soe, sehingga konsumen pada saat itu menilai merek ini tidak memiliki diferensiasi yang jelas.

Kesuksesan Sampoerna Hijau pun baru nampak setelah ia melakukan strategi rejuvenasi (peremajaan) merek. Setelah merevolusi besar-besaran strategi dan taktik pemasaran, serta memperjelas identitas mereknya pada 1990an, merek ini lantas bangkit dan berhasil menjadi salah satu merek papan atas, tidak hanya bagi Sampoerna, tapi juga di Indonesia.

Selain itu juga muncul karakter Geng Hijau, yang sengaja diciptakan untuk menghubungkan antara Sampoerna Hijau dan target pasarnya. Geng Hijau sepertinya menjadi "duta" dalam program rejuvenasi merek yang terkenal dengan slogan citra (tag line): Asyiknya rame-rame ini.

Tak bisa dipungkiri, lewat Geng Hijau dan sejumlah aktivitas below the line yang kuat, Sampoerna Hijau menjadi merek yang benar-benar rame dan menghangatkan suasana persaingan di industri rokok SKT.

Hasil program peremajaan merek ini tentunya masih terasa hingga sekarang untuk Sampoerna Hijau. Penjualannya pun dikabarkan terus meningkat.

Namun seiring semakin ketatnya persaingan di pasar SKT, tentunya Sampoerna Hijau tidak mau menjadi merek yang boring alias menjenuhkan pasar. Ia tidak bisa hanya mengandalkan konsep komunikasi pemasaran yang selama ini ada. Kalau Geng Hijau digunakan melulu sebagai endorser, mungkin saja pasar nantinya bosan.

Menurut saya, Sampoerna Hijau masih dapat tampil menggairahkan. Syaratnya, merek ini haruslah keluar dengan inovasi baru, atau kalau perlu malah sekalian me-reinvent aturan main baru di industrinya. Dengan begitu, penampilannya sebagai merek yang rame dan hot akan secara konsisten dapat terjaga.

Seperti Rod Stewart dan Chrisye yang seolah-olah tak pernah mati dan telah mencapai beberapa titik kesuksesan dalam siklus hidupnya, Sampoerna Hijau pun harus begitu. Ia harus melakukan break with the immediate past. Artinya, kesuksesan masa lalu sudah berlalu, sekaranglah waktunya berpikir kreatif ke depan untuk bisa menciptakan siklus hidup berikutnya. (Hermawan Kertajaya)