Peran dokter dalam memasyarakatkan penggunaan obat murah sangat penting. Penggunaan obat murah masih tergantung dari dokter sebagai pemberi resep. Selain itu, dibutuhkan sistem kesehatan yang mengikat semua pemangku kepentingan.
Presiden Direktur PT Kimia Farma, sekaligus Ketua Majelis Pembina Kode Etik Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Sjamsul Arifin mengatakan hal tersebut di sela-sela seminar HIV/AIDS yang diadakan perusahaan itu, Rabu (16/12).
Ada dua jenis obat, yakni obat originator (setelah masa paten habis boleh diproduksi pihak lain) dan obat generik. Obat generik itu ada yang kemudian dijual dengan merek dagang atau dikenal generik bermerek. Harga bervariasi mulai dari satu kali hingga puluhan kali harga obat generik tanpa merek (hanya memakai nama zat aktif).
Pasar obat generik sebetulnya sangat besar. Ironisnya, cakupan pengguna obat generik (tanpa merek) masih terbatas.
Pengobatan rasional
Sjamsul mengatakan, penggunaan obat murah, terkait dengan pengobatan rasional, yakni dokter meresepkan sesuai kebutuhan, dosis tepat, waktu minum tepat, dan pemilihan obat yang harganya menguntungkan masyarakat. ”Prinsip terakhir itu yang belum sepenuhnya diikuti sehingga obat generik tidak laku,” ujarnya.
Akibat penggunaan obat berharga mahal, pengobatan berpotensi memiskinkan masyarakat dan juga membuat pandangan bahwa semua obat mahal.
Perlu sistem yang baik
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, dokter tidak ingin memberatkan pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga telah diatur kendali mutu dan biaya. Namun, tidak cukup mengandalkan niat baik dokter, yang dibutuhkan ialah sistem menyeluruh sehingga semua dokter tergiring ke arah yang diinginkan.
IDI juga sudah membina anggotanya. Ke depan dibutuhkan audit medik yang dapat diwujudkan jika ada kolaborasi dengan pemerintah.(Kompas.com)
Presiden Direktur PT Kimia Farma, sekaligus Ketua Majelis Pembina Kode Etik Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Sjamsul Arifin mengatakan hal tersebut di sela-sela seminar HIV/AIDS yang diadakan perusahaan itu, Rabu (16/12).
Ada dua jenis obat, yakni obat originator (setelah masa paten habis boleh diproduksi pihak lain) dan obat generik. Obat generik itu ada yang kemudian dijual dengan merek dagang atau dikenal generik bermerek. Harga bervariasi mulai dari satu kali hingga puluhan kali harga obat generik tanpa merek (hanya memakai nama zat aktif).
Pasar obat generik sebetulnya sangat besar. Ironisnya, cakupan pengguna obat generik (tanpa merek) masih terbatas.
Pengobatan rasional
Sjamsul mengatakan, penggunaan obat murah, terkait dengan pengobatan rasional, yakni dokter meresepkan sesuai kebutuhan, dosis tepat, waktu minum tepat, dan pemilihan obat yang harganya menguntungkan masyarakat. ”Prinsip terakhir itu yang belum sepenuhnya diikuti sehingga obat generik tidak laku,” ujarnya.
Akibat penggunaan obat berharga mahal, pengobatan berpotensi memiskinkan masyarakat dan juga membuat pandangan bahwa semua obat mahal.
Perlu sistem yang baik
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, dokter tidak ingin memberatkan pasien. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga telah diatur kendali mutu dan biaya. Namun, tidak cukup mengandalkan niat baik dokter, yang dibutuhkan ialah sistem menyeluruh sehingga semua dokter tergiring ke arah yang diinginkan.
IDI juga sudah membina anggotanya. Ke depan dibutuhkan audit medik yang dapat diwujudkan jika ada kolaborasi dengan pemerintah.(Kompas.com)