Sinonim
Miastenia gravis (MG), autoimmune myasthenia.
Definisi
1. Suatu penyakit neuromuskuler otoimun yang ditandai kelemahan otot skeletal.
2. Suatu bentuk neuromuscular junction disorder yang paling umum, dan merupakan acquired (diperoleh), predominantly antibody-mediated autoimmune disease.
3. Kelemahan umum dan disfungsi otot-otot, yang disebabkan oleh defective conduction pada the motor end plates.
Penyebab
1. Gangguan reseptor asetilkolin di ujung saraf.
2. Gangguan otoimun (misalnya: tiroiditis otoimun, lupus eritematosus sistemik, reumatoid artritis).
Prevalensi
Prevalensi MG di AS diperkirakan sekitar 0,5 sampai 14,2 kasus per 100 ribu orang. Prevalensi autoimmune MG diperkirakan 1 kasus dari 10.000 - 20.000 orang.
Jenis Kelamin dan Usia
Secara umum, MG banyak dijumpai pada usia 10-30 tahun.
Wanita lebih sering pada dekade kedua dan ketiga.
Pria lebih sering pada dekade kelima dan keenam.
Klasifikasi
Klasifikasi diperlukan untuk diagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat.
1. Kelompok I: Myasthenia okular.
Hanya menyerang otot-otot okular (mata), disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kematian.
2. Kelompok II A: Myasthenia umum ringan.
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok II B: Myasthenia umum sedang.
Awitan bertahap, sering disertai gejala-gejala okular (mata), berlanjut semakin berat dengan terkenanya seluruh otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan MG umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, namun angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Myasthenia berat akut.
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot rangka dan bulbar yang berat disertai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya berkembang dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik (Myasthenic Crisis), kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut.
Timbul sedkitnya 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. MG berkembang perlahan-lahan atau tiba-tiba. Respon terhadap obat buruk. Prognosis juga buruk.
Kriteria Diagnosis (Essentials of Diagnosis)
A. Menurut Marisa Schiller Sosinsky dan Petra Kaufmann (2007):
1. Kelemahan yang berfluktuasi dan fatigable pada otot-otot yang biasa digunakan.
2. Sering melibatkan otot-otot respiratory (pernapasan), bulbar (medulla oblongata), ocular (penglihatan).
3. Dapat berhubungan dengan thymoma atau thymic hyperplasia.
4. Pada kebanyakan penderita, terdapat circulating antibodies to the acetyl-choline receptor.
B. Menurut PERDOSSI (2006):
Klinis:
Kelemahan/kelumpuhan otot yang tidak berhubungan dengan kelemahan secara umum.
2/3 pasien: Gangguan gerak bola mata, ptosis, diplopia (penglihatan ganda).
1/6 pasien: Kelemahan otot faring, kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara.
Pada 10% penderita (ditemukan):
1. Kelemahan ekstremitas.
2. Kelemahan otot ringan pagi hari dan memberat jika siang,
seiring aktivitas.
3. Kelemahan bersifat progresif.
4. Setelah 15-20 tahun kelemahan menetap.
5. Sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan pita suara.
6. Faktor yang memeperparah gejala:
a. emosi
b. infeksi virus
c. hypothyreodenasi
d. kehamilan
e. panas
f. obat transmisi neuromuscular
Laboratorium:
1. Pemeriksaan edrophonium chloride (Tensilon)
2. Antibodi terhadap asetylcholine receptor (AchR)
Penunjang:
1. Repetitive Nerve Stimulation
2. Simple filter EMG (electromyogram)
Gold Standard: -
Radiologis: -
Penatalaksanaan:
A. Menurut Marisa Schiller Sosinsky dan Petra Kaufmann (2007):
1. Simtomatik
Menggunakan cholinesterase inhibitors, untuk meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada AChR, misalnya:
a. Pyridostigmine bromide
Dosis: sampai 600 mg/hari dengan dosis disesuikan dengan
gejala (misalnya: 60-120 mg PO setiap 4-6 jam).
b. Ambenonium
Dosis: 5-25 mg PO 3-4 kali per hari, maksimum 200 mg/hari.
c. Neostigmine
Dosis: sampai 150 mg/hari PO, dengan dosis disesuikan
dengan gejala.
2. Immunosuppresive Treatment
a. Thymectomy
Paling efektif jika dilakukan pada dua tahun pertama penyakit berlangsung.
b. Terapi medis
b.1. Kortikosteroid
Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid, sebab menimbulkan banyak komplikasi, antara lain:
a. intoleransi glukosa
b. hipertensi
c. katarak
d. ulkus gastrointestinal
e. miopati
f. nekrosis avaskuler pinggul
g. osteoporosis
h. infeksi
i. psikosis
Beberapa risiko dapat dikurangi dengan implementasi diet rendah garam, rendah sodium (Natrium) disertai dengan suplementasi kalsium dan berolahraga. Risiko osteoporosis dapat dikurangi dengan pemberian profilaktik (misalnya: alendronate sodium, 5 mg/hari secara oral).
b.2. Imunosupresi nonsteroid
Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.
Mycophenolate mofetil, sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak dianjurkan.
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan o,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).
B. Menurut PERDOSSI (2006):
1. Cholinesterase (CHE) inhibitor
Tujuan: menurunkan hidrolisis enzimb Ach, pada sinaps kolinergik ChE.
Contoh:
Pyrido stigmuno bromide (Mestinon)
Neustigramin Bromide (Prostigmin)
2. Thymectomy
Respon yang diharapkan muncul 2-5 tahun post OP.
Bila dilakukan pada usia > 60 tahun, jarang menunjukkan kesembuhan.
3. Kortikosteroid
Contoh:
Prednison 1,5 - 2 mg/kg/BB.
Diagnosis Banding (Differential Diagnosis):
1. Histeria
2. Multiple sclerosis
3. Symptomatic myasthenia
4. Moebius Syndrome
5. Cholinergic crisis
Pada generalized MG:
6. Lambert-Eaton myasthenic syndrome
7. Botulism
8. Myopathy
Pada ocular myasthenia:
9. Progressive external ophthalmoplegia
10. Thyroid disease
11. Oculopharyngeal muscular dystrophy
Pada penderita dengan bulbar predominant MG:
12. Motor neuron disease
13. Brainstem stroke
14. Diphtheria
Tahukah Anda?
1. Nama myasthenia gravis dalam bahasa Latin dan Yunani berarti kelemahan otot yang (grave) buruk.
2. Obat-obat yang dapat memperburuk (exacerbate) gejala MG:
a. Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, erythromycin, ampicillin)
b. Agen penghambat reseptor beta-adrenergik atau beta-bloker (propanolol/Inderal, oxprenolol)
c. calcium channel blockers
d. chloroquine
e. D-Penicillamine
f. Iodinated contrast
g. Lithium
h. Magnesium
i. Nondepolarizing and depolarizing neuromuscular-blocking agents
j. Phenothiazines
k. Prednison
l. Procainamide
m. Quinidine
n. Quinine
o. Timolol
p. Trihexyphenidyl (antikolinergik)
q. Verapamil
3. Myasthenic Crisis adalah keadaan memburuknya (exacerbation) kelemahan pada penderita MG, yang memicu gagal pernapasan yang memerlukan ventilasi mekanis. Untuk penderita dengan myasthenic exacerbation dengan gejala pernapasan dan bulbar (medulla oblongata), perawatan di rumah sakit (hospitalization) haruslah dipertimbangkan untuk memonitor status klinis dan fungsi paru-paru. Sekali pasien di-intubasi, maka medikasi antikolinesterase sebaiknya tidak diteruskan karena dapat mencetuskan sekresi yang hebat (excessive secretions). Terapi utama Myasthenic Crisis adalah short-term immunotherapy, baik plasmapheresis maupun IVIG (Intravenous immunoglobulin).
4. Ada tiga prosedur konfirmasi utama pada MG:
a. respon terhadap acetylcholinesterase inhibitors
b. pengujian elektrofisiologis
c. pemeriksaan antibodi
Umumnya masalah yang dihadapi oleh ketiga hal di atas adalah sensitivitas yang rendah terhadap myasthenia okuler dibandingkan dengan myasthenia tergeneralisasi.
5. Plasmaferesis adalah suatu prosedur yang didesain untuk membuang plasma dari darah dengan melakukan transfusi berulang elemen yang terbentuk ke dalam donor. Umumnya digunakan albumin atau plasma beku segar jenis tertentu, untuk menggantikan plasma yang dikeluarkan. Prosedur ini juga dimaksudkan untuk mengumpulkan komponen-komponen plasma, tujuan terapeutik, dan digunakan untuk mengeluarkan antibodi berlebihan dari darah seorang penderita, misalnya: lupus, multipel sklerosis, multipel mieloma, dsb.
Referensi:
1. Sosinsky MS dan Kaufmann P. Myasthenia Gravis & Other Disorders of the Neuromuscular Junction. in: Brust JCM (ed.). Neurology: Current Diagnosis and Treatment. Lange Medical Books/McGraw-Hill. USA. 2007;22;350-6.
2. Kirmani JF. et.al. Myasthenic crisis. Curr TreatOptions Neurol 2004;6:3-15.
3. Richman DP, Agius MA. Treatment of autoimmune myasthenia gravis. Neurology 2003;61:1652-1661.
4. Wittbrodt ET. Drugs and myasthenia gravis. An update. Arch Intern Med 1997;157;399-408.
5. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) & Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta, 2006. Hlm.208-209.
6. Ethical Digest (Semijurnal Farmasi dan Kedokteran) No.49 Tahun VI Maret 2008.
Tentang Penulis:
Dito Anurogo is
1. A Student in School of Medicine, Sultan Agung Islamic University (UNISSULA), Semarang, Central Java.
2. A member of International Federation of Medical Students' Associations (IFMSA).
3. A member of Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA).
Definisi
1. Suatu penyakit neuromuskuler otoimun yang ditandai kelemahan otot skeletal.
2. Suatu bentuk neuromuscular junction disorder yang paling umum, dan merupakan acquired (diperoleh), predominantly antibody-mediated autoimmune disease.
3. Kelemahan umum dan disfungsi otot-otot, yang disebabkan oleh defective conduction pada the motor end plates.
Penyebab
1. Gangguan reseptor asetilkolin di ujung saraf.
2. Gangguan otoimun (misalnya: tiroiditis otoimun, lupus eritematosus sistemik, reumatoid artritis).
Prevalensi
Prevalensi MG di AS diperkirakan sekitar 0,5 sampai 14,2 kasus per 100 ribu orang. Prevalensi autoimmune MG diperkirakan 1 kasus dari 10.000 - 20.000 orang.
Jenis Kelamin dan Usia
Secara umum, MG banyak dijumpai pada usia 10-30 tahun.
Wanita lebih sering pada dekade kedua dan ketiga.
Pria lebih sering pada dekade kelima dan keenam.
Klasifikasi
Klasifikasi diperlukan untuk diagnosis dan menentukan pengobatan yang tepat.
1. Kelompok I: Myasthenia okular.
Hanya menyerang otot-otot okular (mata), disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kematian.
2. Kelompok II A: Myasthenia umum ringan.
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompok II B: Myasthenia umum sedang.
Awitan bertahap, sering disertai gejala-gejala okular (mata), berlanjut semakin berat dengan terkenanya seluruh otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan MG umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, namun angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Myasthenia berat akut.
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot rangka dan bulbar yang berat disertai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya berkembang dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik (Myasthenic Crisis), kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut.
Timbul sedkitnya 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. MG berkembang perlahan-lahan atau tiba-tiba. Respon terhadap obat buruk. Prognosis juga buruk.
Kriteria Diagnosis (Essentials of Diagnosis)
A. Menurut Marisa Schiller Sosinsky dan Petra Kaufmann (2007):
1. Kelemahan yang berfluktuasi dan fatigable pada otot-otot yang biasa digunakan.
2. Sering melibatkan otot-otot respiratory (pernapasan), bulbar (medulla oblongata), ocular (penglihatan).
3. Dapat berhubungan dengan thymoma atau thymic hyperplasia.
4. Pada kebanyakan penderita, terdapat circulating antibodies to the acetyl-choline receptor.
B. Menurut PERDOSSI (2006):
Klinis:
Kelemahan/kelumpuhan otot yang tidak berhubungan dengan kelemahan secara umum.
2/3 pasien: Gangguan gerak bola mata, ptosis, diplopia (penglihatan ganda).
1/6 pasien: Kelemahan otot faring, kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara.
Pada 10% penderita (ditemukan):
1. Kelemahan ekstremitas.
2. Kelemahan otot ringan pagi hari dan memberat jika siang,
seiring aktivitas.
3. Kelemahan bersifat progresif.
4. Setelah 15-20 tahun kelemahan menetap.
5. Sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan pita suara.
6. Faktor yang memeperparah gejala:
a. emosi
b. infeksi virus
c. hypothyreodenasi
d. kehamilan
e. panas
f. obat transmisi neuromuscular
Laboratorium:
1. Pemeriksaan edrophonium chloride (Tensilon)
2. Antibodi terhadap asetylcholine receptor (AchR)
Penunjang:
1. Repetitive Nerve Stimulation
2. Simple filter EMG (electromyogram)
Gold Standard: -
Radiologis: -
Penatalaksanaan:
A. Menurut Marisa Schiller Sosinsky dan Petra Kaufmann (2007):
1. Simtomatik
Menggunakan cholinesterase inhibitors, untuk meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada AChR, misalnya:
a. Pyridostigmine bromide
Dosis: sampai 600 mg/hari dengan dosis disesuikan dengan
gejala (misalnya: 60-120 mg PO setiap 4-6 jam).
b. Ambenonium
Dosis: 5-25 mg PO 3-4 kali per hari, maksimum 200 mg/hari.
c. Neostigmine
Dosis: sampai 150 mg/hari PO, dengan dosis disesuikan
dengan gejala.
2. Immunosuppresive Treatment
a. Thymectomy
Paling efektif jika dilakukan pada dua tahun pertama penyakit berlangsung.
b. Terapi medis
b.1. Kortikosteroid
Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid, sebab menimbulkan banyak komplikasi, antara lain:
a. intoleransi glukosa
b. hipertensi
c. katarak
d. ulkus gastrointestinal
e. miopati
f. nekrosis avaskuler pinggul
g. osteoporosis
h. infeksi
i. psikosis
Beberapa risiko dapat dikurangi dengan implementasi diet rendah garam, rendah sodium (Natrium) disertai dengan suplementasi kalsium dan berolahraga. Risiko osteoporosis dapat dikurangi dengan pemberian profilaktik (misalnya: alendronate sodium, 5 mg/hari secara oral).
b.2. Imunosupresi nonsteroid
Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroid-sparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada kortikosteroid. Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.
Mycophenolate mofetil, sebagai suatu monoterapi yang bersifat adjunctive atau corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet. Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan efek maksimal obat ini biasanya dirasakan sekitar 6 bulan. Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak dianjurkan.
Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan o,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).
B. Menurut PERDOSSI (2006):
1. Cholinesterase (CHE) inhibitor
Tujuan: menurunkan hidrolisis enzimb Ach, pada sinaps kolinergik ChE.
Contoh:
Pyrido stigmuno bromide (Mestinon)
Neustigramin Bromide (Prostigmin)
2. Thymectomy
Respon yang diharapkan muncul 2-5 tahun post OP.
Bila dilakukan pada usia > 60 tahun, jarang menunjukkan kesembuhan.
3. Kortikosteroid
Contoh:
Prednison 1,5 - 2 mg/kg/BB.
Diagnosis Banding (Differential Diagnosis):
1. Histeria
2. Multiple sclerosis
3. Symptomatic myasthenia
4. Moebius Syndrome
5. Cholinergic crisis
Pada generalized MG:
6. Lambert-Eaton myasthenic syndrome
7. Botulism
8. Myopathy
Pada ocular myasthenia:
9. Progressive external ophthalmoplegia
10. Thyroid disease
11. Oculopharyngeal muscular dystrophy
Pada penderita dengan bulbar predominant MG:
12. Motor neuron disease
13. Brainstem stroke
14. Diphtheria
Tahukah Anda?
1. Nama myasthenia gravis dalam bahasa Latin dan Yunani berarti kelemahan otot yang (grave) buruk.
2. Obat-obat yang dapat memperburuk (exacerbate) gejala MG:
a. Antibiotik (aminoglycosides, ciprofloxacin, erythromycin, ampicillin)
b. Agen penghambat reseptor beta-adrenergik atau beta-bloker (propanolol/Inderal, oxprenolol)
c. calcium channel blockers
d. chloroquine
e. D-Penicillamine
f. Iodinated contrast
g. Lithium
h. Magnesium
i. Nondepolarizing and depolarizing neuromuscular-blocking agents
j. Phenothiazines
k. Prednison
l. Procainamide
m. Quinidine
n. Quinine
o. Timolol
p. Trihexyphenidyl (antikolinergik)
q. Verapamil
3. Myasthenic Crisis adalah keadaan memburuknya (exacerbation) kelemahan pada penderita MG, yang memicu gagal pernapasan yang memerlukan ventilasi mekanis. Untuk penderita dengan myasthenic exacerbation dengan gejala pernapasan dan bulbar (medulla oblongata), perawatan di rumah sakit (hospitalization) haruslah dipertimbangkan untuk memonitor status klinis dan fungsi paru-paru. Sekali pasien di-intubasi, maka medikasi antikolinesterase sebaiknya tidak diteruskan karena dapat mencetuskan sekresi yang hebat (excessive secretions). Terapi utama Myasthenic Crisis adalah short-term immunotherapy, baik plasmapheresis maupun IVIG (Intravenous immunoglobulin).
4. Ada tiga prosedur konfirmasi utama pada MG:
a. respon terhadap acetylcholinesterase inhibitors
b. pengujian elektrofisiologis
c. pemeriksaan antibodi
Umumnya masalah yang dihadapi oleh ketiga hal di atas adalah sensitivitas yang rendah terhadap myasthenia okuler dibandingkan dengan myasthenia tergeneralisasi.
5. Plasmaferesis adalah suatu prosedur yang didesain untuk membuang plasma dari darah dengan melakukan transfusi berulang elemen yang terbentuk ke dalam donor. Umumnya digunakan albumin atau plasma beku segar jenis tertentu, untuk menggantikan plasma yang dikeluarkan. Prosedur ini juga dimaksudkan untuk mengumpulkan komponen-komponen plasma, tujuan terapeutik, dan digunakan untuk mengeluarkan antibodi berlebihan dari darah seorang penderita, misalnya: lupus, multipel sklerosis, multipel mieloma, dsb.
Referensi:
1. Sosinsky MS dan Kaufmann P. Myasthenia Gravis & Other Disorders of the Neuromuscular Junction. in: Brust JCM (ed.). Neurology: Current Diagnosis and Treatment. Lange Medical Books/McGraw-Hill. USA. 2007;22;350-6.
2. Kirmani JF. et.al. Myasthenic crisis. Curr TreatOptions Neurol 2004;6:3-15.
3. Richman DP, Agius MA. Treatment of autoimmune myasthenia gravis. Neurology 2003;61:1652-1661.
4. Wittbrodt ET. Drugs and myasthenia gravis. An update. Arch Intern Med 1997;157;399-408.
5. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) & Standar Prosedur Operasional (SPO) Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Jakarta, 2006. Hlm.208-209.
6. Ethical Digest (Semijurnal Farmasi dan Kedokteran) No.49 Tahun VI Maret 2008.
Tentang Penulis:
Dito Anurogo is
1. A Student in School of Medicine, Sultan Agung Islamic University (UNISSULA), Semarang, Central Java.
2. A member of International Federation of Medical Students' Associations (IFMSA).
3. A member of Center for Indonesian Medical Students' Activities (CIMSA).