Dewasa ini, praktis di hampir semua bidang kehidupan ada komunitasnya. Silakan Anda menyebut sesuka hati. Mulai dari yang amat serius seperti komunitas diskusi lintas agama, atau komunitas orang tua yang mendidik secara mandiri anak-anak mereka di rumah (home schooling), hingga yang "remeh-temeh" seperti komunitas pemburu masakan daerah atau penggemar anjing pudel.
Pesatnya pertumbuhan komunitas baru ini dipacu oleh semakin spesifiknya kebutuhan, minat, selera dan pengalaman orang-orang modern. Kalau dulu ada komunitas para pemusik, misalnya, sekarang lebih spesifik lagi dengan munculnya komunitas baru sebagai turunannya, seperti komunitas para gitaris, bassist, drummer, dan seterusnya. Demikian pula, kalau dulu ada komunitas pecinta tanaman, kini lebih menukik lagi dengan merebaknya komunitas baru, mulai dari para pecinta bonsai hingga para penggila bunga kantong semar.
Fenomena tersebut semakin diniscayakan oleh cepatnya kemajuan teknologi informasi, terutama dengan kian masifnya pemanfaatan Internet dan ponsel yang kian cerdas, juga suburnya perkembangan teknologi jaringan sosial (social networking) seperti Friendster dan blog. Semua ini telah mengubah sosiologi manusia modern. Bagi orang-orang tertentu – dan ini jumlahnya terus bertambah – batas-batas negara bahkan sudah tak relevan lagi. Studi cukup komprehensif tentang tren besar ini, misalnya, dilakukan oleh Jerome C. Glenn, yang memimpin tim riset The American Council for the United Nations University, dan menuangkan hasilnya lewat artikel berjudul The Word in 2025, dimuat di The Globalist, majalah online.
Glenn antara lain menyimpulkan bahwa pembagian masyarakat dunia kelak tidak lagi secara tegas berdasarkan poros Utara-Selatan, melainkan berdasarkan masyarakat mana saja yang bertindak secara global dengan menggunakan teknologi, dan mana yang tidak. Ini dipicu oleh turunnya harga komputer mikromini – disertai meningkatnya kapasitas dan kenyamanan penggunaannya – yang memungkinkan setiap orang saling terhubung satu sama lain, di mana saja dan kapan saja, karena hampir segala hal bisa didigitalisasi.
Glenn juga menyimpulkan, dengan akses yang kian mudah ke dunia pendidikan dan pasar, individu-individu akan bertindak layaknya holding company yang menginvestasikan waktu mereka di berbagai kegiatan, menemukan karier yang cocok, serta memberikan akses kepada orang lain seperti kebiasaan negara memberikan visa. Orang pun dengan mudah berganti loyalitas dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Mereka bebas menentukan apa yang mereka inginkan dan bagaimana mencapai keinginannya itu. Tiap orang menentukan sendiri nilai-nilai yang cocok dengan dirinya dan menggunakan jaringan global untuk mendukungnya.
Menyimak arus besar di atas, apa yang seabad lalu dicemaskan Emile Durkheim sedikit-banyak telah menemukan solusinya. Sosiolog masyhur asal Prancis ini pernah mengenalkan istilah anomie, yakni suatu keadaan tanpa norma karena manusia kehilangan pegangan hidup akibat deraan perubahan lingkungan sosial yang berlangsung terus-menerus. Manusia kian terkotak-kotak dalam posisi dan fungsi masing-masing, yang makin lama makin beragam dan kian sempit ruang geraknya, sehingga berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial. Itu sebabnya, ia selalu menekankan bahwa betapapun majunya suatu peradaban, manusia tetaplah manusia. Ia tetap butuh keterikatan pada suatu masyarakat atau kolektivitas tertentu. Inilah, sesungguhnya, salah satu pemikiran paling beharga dari Durkheim.
Waktu itu sosiolog besar yang wafat tahun 1917 itu memang belum sempat membayangkan bahwa manusia modern ternyata bisa menemukan keasyikan dan kebahagiaan baru melalui komunitas-komunitas spesifik yang dibentuknya seperti yang kita saksikan sekarang. Para pemilik ponsel Nokia Communicator, yang umumnya orang kota yang rendah ikatan sosialnya, misalnya, bisa saling berkomunikasi dengan hangat, beberapa kali bahkan melakukan kopi darat. Sementara itu, Marty Friedman, gitaris kelas dunia nun di Amerika sana, selalu menjalin komunikasi dengan Mayzan, gitaris amatir Indonesia. Malah, Friedman menyempatkan diri datang ke rumah Mayzan di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, minta dibikinkan fans site-nya. Kebetulan Mayzan memang jago di bidang ini, dan dialah pengelola sekaligus pemilik situs web Gitaris.com – komunitasnya para pecinta gitar di negeri ini.
Lalu, apa relevansi perubahan dahsyat sosiologi manusia itu bagi para pelaku bisnis? Besar sekali. Dengan berpihaknya sejarah pada merebaknya kapitalisme (global ataupun lokal), semakin besar pula ketergantungan manusia pada produk – baik yang berupa barang maupun jasa. Selanjutnya, dengan makin beragamnya produk dan merek yang ditawarkan kepada konsumen, semakin besar pula derajat kebingungan konsumen menentukan pilihan. Sekali pilihan telah ditentukan, mereka harus "bertanggung jawab" atas pilihannya itu.
Untuk mengatasi keterpencilan sekaligus rasa ingin tahu lebih detail atas pilihannya itu, mereka membentuk komunitas konsumen. Jadi, komunitas konsumen ini umumnya terbentuk karena kebutuhan untuk bertukar pengetahuan dan berbagi pengalaman mengenai produk atau merek yang sama, sehingga mereka merasa senang, nyaman, diakui, serta merasa berada dalam lingkungan atau kelompok yang sama.
Sejumlah produsen yang jeli memang telah berhasil menangkap fenomena komunitas ini dan memanfaatkannya sebagai tool untuk semakin memahami konsumennya, sekaligus mendapatkan banyak masukan berharga untuk perbaikan kualitas produk ataupun layanannya. Bagaimanapun, inilah jenis pasar yang paling fokus, karena itu juga bisa digarap secara efektif. Dengan menyambangi komunitas konsumen, akan lebih mudah mengembangkan program-program loyalitas, yang akhirnya diharapkan mampu meningkatkan penjualan. Bahkan, seperti yang terjadi di negara maju, ide-ide inovasi produk/jasa sering bersumber dari anggota-anggota komunitas yang militan.
Namun, satu hal yang perlu diperhatikan produsen adalah soal pendekatannya. Banyak jebakan justru berada di sini. Sebab, sesuai dengan namanya, komunitas sesungguhnya dibentuk sebagai tempat berkumpulnya manusia, bukan barang. Wajarlah, banyak dari komunitas yang meskipun dibentuk oleh kesamaan produk atau merek tertentu, mereka tetap bersiteguh bahwa kelompok mereka independen. Artinya, perlu pendekatan yang lebih menyentuh sisi emosional atau human-nya, ketimbang jurus hard sell seperti iklan dan promosi. Bagaimana uraian rincinya, silakan baca tulisan-tulisan Sajuta setelah ini.
Melihat betapa besar potensi community marketing di Indonesia, Majalah SWA, bekerja sama dengan Prasetiya Mulya Business School, untuk pertama kalinya melakukan survei tentang fenomena ini. Hasilnya tersaji dalam Sajuta ini. Survei juga diharapkan berlangsung rutin, karena inilah bagian penting dari gelombang besar perubahan perilaku kosumen.(Swa.co.id)