BannerFans.com

Cara SOHO Mendongkrak Kinerja

Penerapan balanced scorecard mampu meningkatkan kinerja Grup Soho di atas rata-rata industri farmasi. Bagaimana gambarannya?

Setahun lalu, Grup Soho (GS) memberanikan diri mengikuti ajang Hall of Fame Balanced Scorecard yang diselenggarakan Palladium Group Inc. Ceritanya, sejak tahun 2000 Palladium Group — konsultan yang membantu perusahaan menerapkan balanced scorecard (BSC) — memberi penghargaan kepada perusahaan-perusahaan yang berhasil mencapai kinerja mengesankan setelah mengimplementasikan BSC. Kebetulan, GS menerapkannya sejak 2005. Kendati demikian, Preskomnya, Tan Eng Liang, memandang perlu mengikuti lomba ini. ”Ajang ini menjadi proses pembelajaran bagi Grup Soho. Kami jadi tahu sudah sampai mana implementasi sistem manajemen yang bagi sebagian perusahaan dianggap kompleks ini,” tuturnya beralasan.

Meskipun saat itu tidak menjadi juara, Tan Eng tidak mempermasalahkan. ”Saya yakin sistem ini (BSC) dapat membantu Soho mencapai visi dan misinya. Kami berharap kinerja organisasi akan meningkat secara keseluruhan, bukan sekadar peningkatan angka penjualan. Keyakinan inilah yang mendasari komitmen saya mengimplementasikan sistem ini secara penuh,” ungkapnya. Tahun 2007, dia kembali mengikutkan Soho di ajang bergengsi ini. Dan, tak disangka, perusahaannya berhasil meraih juara.

Kuatnya tekad Tan Eng menerapkan BSC di GS merupakan daya tarik tersendiri. Maklum, ini adalah perusahaan keluarga. Sedikit menengok ke belakang, perusahaan ini beralih kepemimpinan ke generasi kedua setelah ayah Tan Eng, Tan Tjhoen Lim, yang juga pendiri perusahaan, wafat pada 1997. Sejak itu, kepemimpinan diserahkan ke putra tertuanya. Di tangan Tan Eng, GS tumbuh pesat. Perubahan demi perubahan terus dilakukan agar mampu bersaing di industrinya. Di antaranya, pembenahan di bidang teknologi informasi (TI) yang dilakukan pada 1998. Tak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk mengimplementasikan TI secara terintegrasi di tiga anak perusahaan — PT Soho Industri Pharmasi, PT Ethica Industri Farmasi dan PT Parit Padang (distribusi) — bernilai US$ 2 juta. Padahal, di tahun yang sama, perusahaan lain sedang megap-megap karena dihantam krisis.

Sebenarnya, GS pun tak luput dari krisis. Namun, Tan Eng bersyukur, perusahaannya tak dililit utang US$. Selain penerapan TI, lelaki berpenampilan kalem ini juga merekrut banyak profesional dari luar keluarga. Bahkan, jabatan presdir pun diserahkan ke tangan profesional. Untuk jabatan ini, dia memilih Andreas Halim Djamwari, yang sebelumnya berkarier di perusahaan farmasi juga.

Perubahan mencolok yang dilakukan Tan Eng adalah ketika dia memutuskan menerapkan BSC di perusahaan. ”Konsep BSC muncul dari Pak Tan Eng sekitar 2003. Dulu anak-anak perusahaan berjalan sendiri-sendiri. Transparansi sangat kurang. Orang-orang di level menengah-bawah tidak tahu perusahaan akan dibawa ke mana. Lalu, Pak Tan Eng mencari metode yang tepat untuk membenahi Soho. Ketemulah balanced scorecard,” kata Andreas menjelaskan latar belakang penerapan BSC.

Keinginan menerapkan BSC makin kuat karena Tan Eng ingin kelompok bisnisnya menjadi pemain di tingkat regional, bahkan global. ”Kami ingin menjadi pemain ekspor yang terbaik di bidang farmasi. Untuk itu, banyak requirement yang harus kami patuhi dan benahi, mulai dari internal organisasi sampai membuka pasar di luar negeri. Tetapi, bagaimana kami bisa menjadi pemain global jika internal organisasinya saja belum solid?” tanyanya pada diri sendiri.

Setelah mencari metode yang tepat, pada 2005 digunakanlah BSC versi aslinya dari Robert S. Kaplan dan David P. Norton asal Amerika Serikat. Dengan bantuan tool BSC, tiap unit di GS dituntun melakukan perbaikan sistematis dalam menjalankan tugas masing-masing sehingga tidak ada lagi karyawan yang melihat pekerjaan hanya dari dirinya sendiri. Sekadar gambaran, dulu paradigma karyawan di ketiga anak perusahaan berbeda-beda. Menurut Andreas, melalui BSC, paradigma karyawan yang terpecah-pecah itu disatukan. ”Dalam penerapan BSC ada yang namanya alignment. Sehingga, kami jadi lebih terbuka kepada karyawan. Mereka jadi tahu strategi perusahaan,” ujarnya. Dengan cara tersebut, diharapkan motivasi karyawan bertambah dan perusahaan pun jadi lebih transparan.

Lantas, bagaimana penerapannya?

Andreas menjelaskan, prosesnya dimulai dari visi dan misi pemilik GS, yang diturunkan ke dalam bentuk strategic map yang dilanjutkan dengan strategic map di level board of director (Grup). Dari strategi di level grup, kemudian diturunkan lagi ke tiga anak usaha sehingga masing-masing anak usaha pun memiliki corporate strategic map. Setelah itu, ke bawah lagi, hingga ke level manajer dan akhirnya sampai ke strategic map diri sendiri.

Direktur Manajemen Strategi Korporat GS Renyati Latu menjelaskan, dalam penerapan BSC strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam empat perspektif yang meliputi: aspek finansial, customer, proses internal, serta learning & growth. Untuk mengetahui arah perusahaan, masing-masing perspektif tersebut digali lagi. Caranya, dengan melakukan banyak diskusi di antara pihak-pihak terkait di perusahaan. Dalam hal ini, masing-masing perspektif harus memiliki objektif yang jelas dan terukur.
Pertama, di aspek finansial, ketiga anak perusahaan harus bisa menjelaskan bagaimana agar bisa tumbuh optimal. Juga, bagaimana melakukan efisiensi. Kedua, dari sisi customer, mereka harus bisa menentukan siapa pelanggan GS: dokter, end user, apotek, atau lainnya. ”Customer tentu ingin obat yang berkualitas. Setelah diminum, langsung kelihatan manfaatnya,” Reny menjelaskan.

Ketiga, di proses internal, karyawan harus tahu upaya yang dilakukan untuk mencapai kebutuhan pelanggan. Saat ini GS dikenal sebagai perusahaan farmasi yang banyak memproduksi obat-obatan herbal. Karena itu, di proses internalnya, karyawan harus terus berinovasi menciptakan obat-obatan herbal sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Selain itu, juga perlu disiapkan bagaimana perusahaan mampu menjalankan proses tersebut secara tepat waktu dengan kualitas terbaik. Dan keempat, dalam perspektif learning & growth, perusahaan menyiapkan SDM agar kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga. ”Kami meng-assess karyawan untuk melihat kekurangannya, lalu memberikan pelatihan sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu, kami juga menyediakan information capital. Maksudnya, bagaimana SDM kami bisa menggunakan informasi sebaik mungkin untuk tujuan bersama,” Reny memaparkan.

Dengan sistem BSC, kini sasaran anak-anak usaha dan unit-unit bisnis menjadi lebih terarah dan ada proses alignment. Tiap kali mengadakan rapat, strategi pasti dibahas. Jadi, tidak ada karyawan GS yang merasa lebih hebat daripada yang lain. Setiap masalah juga dibicarakan bersama. Misalnya, untuk mencapai suatu sasaran, akan dikerjakan sendiri ataukah butuh bantuan dari holding perusahaan. Di sisi lain, pengukuran kinerja pun menjadi sangat jelas sehingga tidak saling mencurigai.

Diakui Reny, awalnya manajemen menemui kendala. Maklum, perusahaan yang mempekerjakan 3.300 karyawan ini telanjur berjalan sendiri-sendiri. ”Mulanya ada resistensi dari karyawan. Gap juga terjadi antara divisi manufaktur dan marketing. Dulu, kedua divisi ini tak ada koordinasi,” ungkapnya. Untuk menyosialisasi konsep ini ke karyawan, manajemen melakukan pendekatan dengan banyak cara. Misalnya, melalui program pelatihan yang diberikan langsung oleh konsultan BSC yang menangani GS. Pesertanya mulai dari pemilik perusahaan sampai manajer madya. Agar bisa memahami konsep, Reny menuturkan, karyawan diajak memasukkan ide dan dilibatkan dalam membuat objektifnya. Selanjutnya, untuk anak-anak perusahaan diteruskan dengan rencana komunikasi (communication plan). ”Misalnya, dengan memasang spanduk dan membagi-bagikan kaus kepada karyawan,” Reny mencontohkan.

Menambahkan Reny, Manajer Pengembangan Pelatihan Korporat Richard Lumban Tobing menjelaskan, untuk lebih memahami BSC, perusahaan memiliki tim komunikasi yang bergerilya ke 25 cabang GS yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu, perusahaan memiliki buletin internal bernama Pareto (singkatan dari Parit Padang, Ethica dan Soho) yang mengomunikasikan BSC ke seluruh karyawan.

Sekalipun demikian, segala upaya yang dilakukan tidak ada artinya tanpa peran yang menonjol dari pemilik dan pemimpin perusahaan. Andreas menegaskan, untuk menyukseskan implementasi BSC, mutlak dibutuhkan komitmen pemegang saham dan pemimpin perusahaan. Pasalnya, biaya yang dikucurkan untuk menerapkan program ini sangat besar — mencapai US$ 1 juta. Bagi Tan Eng, dana yang besar tidak menjadi masalah selama bisa memberi manfaat yang lebih besar lagi. ”Saya tidak khawatir. Meskipun nilai investasinya mahal, saya yakin benefit-nya jauh lebih besar,” katanya menandaskan. Terlebih, ”Saya ingin karyawan Grup Soho merasa nyaman dan bangga bekerja di sini.”

Setelah berjalan selama dua tahun, hasilnya mulai dirasakan. Pendapatan GS meningkat rata-rata 25% sejak 2004. Di saat bersamaan, industri farmasi malah pernah mengalami pertumbuhan minus pada 2006. Laba sebelum pajak dalam dua tahun terakhir juga meningkat dari 8% menjadi 11%. Berdasarkan data IMS, pangsa pasar GS pun meningkat tajam dari 4,6% menjadi 7,9%. Sayang, baik Andreas maupun Tan Eng tidak membeberkan lebih rinci angka-angkanya. Ini bisa dimaklumi lantaran bukan perusahaan publik. Keberhasilan itu belum termasuk berbagai penghargaan yang diterima selama dua tahun terakhir berkaitan dengan customer satisfaction. Reny mengklaim, setelah menerapkan BSC, kepuasan pelanggan GS meningkat dua kali dibanding sebelumnya.

Dilihat dari sisi SDM, Richard menilai, tidak ada lagi kegiatan pelatihan yang dilakukan hanya sekadarnya. ”Kegiatan training kini lebih terencana antardivisi dan lebih jelas tujuannya bagi perusahaan,” ujarnya. Yang menarik, di GS sistem punishment (hukuman) berbeda dari perusahaan lain pada umumnya. Bentuk hukuman lebih kepada pemberian motivasi agar karyawan mampu mencapai target yang sudah ditentukan. Sementara untuk reward, hal itu ditentukan oleh manajemen berdasarkan kinerja karyawan.

Keberhasilan menerapkan BSC juga dapat dipantau dari penjualan produk GS. Beberapa produk — seperti Curcuma Plus Emulsion dan Diapet — penjualannya ikut melonjak. Dalam artikel SWA edisi 20/2007, Direktur Penjualan & Pemasaran Divisi Kesehatan Konsumen PT Soho Industri Pharmasi (SIP) Harun Pramono, mengungkapkan, sejak diluncurkan pada 2001 Curcuma Plus menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Setelah sukses dengan Curcuma Plus, SIP mengeluarkan Curcuma Plus Emulsion. Selama dua tahun meramaikan pasar, menurutnya, penjualan Curcuma Plus Emulsion mencapai 200%.

Salah satu pemilik apotek yang diwawancarai SWA, Irvanansy, membenarkan, dalam dua tahun terakhir produk GS memperlihatkan kinerja yang cukup bagus, baik dari sisi penjualan maupun pengembangan produk. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, jumlah item produk sekarang lebih banyak. Khusus produk GS, saat ini di apotek milik Irvan terdapat sekitar 20 item. ”Selama dua tahun ini terdapat 8 produk baru yang dikeluarkan Soho. Salah satunya, Curcuma Plus, dalam beberapa varian,” ujar pemilik Apotek Khudil Farma di Jalan Raden Inten, Jakarta Timur ini. Irvan mengaku, di apoteknya Curcuma Plus terjual 40-an botol/bulan.

Menanggapi penerapan BSC di GS, pengamat manajemen Riri Satria berpendapat, BSC adalah alat untuk memetakan strategi, bukan untuk memformulasikan strategi. Jadi, proses pengembangan dan implementasi BSC dimulai dengan menyelaraskan visi, misi, sistem nilai, tujuan, sasaran dan strategi bisnis perusahaan. ”Kalau tidak, apanya yang mau dipetakan?” ungkapnya. Hanya saja, karena GS adalah grup perusahaan, perlu penyelarasan (alignment) antarunit-bisnis di dalam grup. ”Inilah yang menjadi isu utama dalam buku Kaplan dan Norton yang berjudul Alignmen. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu menyelaraskan strategi antarunit-bisnis dengan grup serta menjadikan strategi tersebut sebagai dasar strategic themes dalam penyusunan BSC. Dengan demikian, semuanya akan in-line atau dalam bahasa BSC-nya aligned,” kata Riri lebih detail.

Dari kacamata pengamat, Riri menilai, metode BSC mendapat banyak sambutan baik, dari kalangan praktisi maupun akademisi bisnis dan manajemen. Dalam perjalanannya, akademisi dan praktisi mengembangkan BSC sehingga menjadi lebih kaya. Bisa dikatakan, BSC mengalami perkembangan pesat, baik secara vertikal maupun horizontal. ”Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat sampai ke tingkat individu (personal scorecard). Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang fungsional, bahkan sangat spesifik. Perkembangan pesat ditunjukkan oleh bidang fungsional manajemen SDM sejak 2001,” Riri menjelaskan.

Lebih jauh Riri memaparkan, ada beberapa alasan mengapa BSC begitu fenomenal. Pertama, konsep ini memaksa pemimpin organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada indikator kinerja (key performance indicator). Ini mengubah pola pikir para pemimpin organisasi yang terbiasa dengan pola pikir umum dan tidak operasional, atau sangat filosofis, menjadi kuantitatif dan operasional.

Kedua, pemimpin organisasi dipaksa berpikir sistematis karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships) yang harus dibangun untuk setiap strategi dan program kerja organisasi. Ini juga mengubah pola pikir para pemimpin organisasi yang terbiasa dengan pola pikir tidak berkait dan tidak bisa melihat dampak dari sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemis dan integratif.

Ketiga, pemimpin organisasi akan berpikir komprehensif karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif, tidak hanya dari satu sudut pandang. Ini akan mengubah pola pikir pemimpin organisasi yang biasanya cenderung parsial menjadi lebih komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan utuh.

Keempat, sebagai sebuah metode dalam manajemen strategi, BSC dikenal sangat simpel dan mudah dipahami. ”Metode ini tidak rumit dan membutuhkan suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami dan menjadi pengguna metode ini,” ujar Riri seraya menambahkan, metode ini mudah dipahami oleh berbagai lapisan organisasi.

Kelima, BSC dikenal sangat fleksibel dan bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk organisasi bisnis komersial, tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi. Namun untuk organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, ini tentu tidak tepat. ”Kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan dengan kebutuhan organisasi,” katanya.

Keenam, BSC dapat diintegrasikan dengan berbagai metode manajemen lainnya, seperti SWOT, six sigma dan manajemen risiko. Riri pun yakin, BSC diciptakan bukan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada, melainkan melengkapinya. Bisa dikatakan, metode ini dilahirkan untuk menjadi perangkai (integrator) bagi metode-metode manajemen yang telah ada saat ini. (Swa.co.id)




Keahlian Terbaik dan Terburuk Anda

Oleh: James Gwee

Beberapa bulan yang lalu, sewaktu saya mengadakan penelitian tentang talk show saya di radio Smart FM, saya menemukan ide yang sederhana dari Brian Tracy. Idenya sangatlah sederhana, tetapi menurut saya sangat ampuh. Ide tersebut sangat relevan bagi semua orang, tidak hanya bagi mereka yang bekerja di bagian penjualan dan marketing, tetapi benar-benar relevan bagi semua orang. Ide sederhana ini juga relevan dan dapat diaplikasikan pada semua aspek kehidupan kita.

Jadi apakah ide yang sederhana tetapi “brilian” ini?

Untuk dapat berhasil, Anda membutuhkan BEBERAPA MACAM keahlian.

Keahlian TERBAIK Anda membawa Anda pada situasi sekarang.

Keahlian TERBURUK Anda akan membatasi kesuksesan Anda.

Marilah kita menganalisis kalimat-kalimat ini satu per satu.

Untuk dapat berhasil, Anda membutuhkan BEBERAPA MACAM keahlian. Brian Tracy mengatakan bahwa untuk dapat berhasil di profesi manapun, kita akan membutuhkan beberapa macam keahlian. Sama halnya untuk setiap profesi. Coba pikirkan. Untuk menjadi seorang aktor yang sukses, Anda membutuhkan beberapa macam keahlian. Untuk menjadi seorang pembicara publik yang sukses, anda membutuhkan beberapa macam keahlian. Untuk menjadi seorang manajer yang sukses, untuk menjadi seorang pemain bola yang sukses, untuk menjadi seorang supir taksi yang sukses, untuk menjadi seorang petani yang sukses, Anda membutuhkan beberapa macam keahlian.

Anda tidak dapat bertahan (apalagi menjadi sukses) dalam profesi apa pun di atas jika anda hanya mempunyai satu keahlian. Anda membutuhkan beberapa macam keahlian.

Saya yakin, bahwa sekarang, Anda akan menyadari bahwa untuk menjadi seorang penjual yang sukses, anda juga harus mempunyai BEBERAPA MACAM keahlian. Kabar baiknya adalah dalam profesi apa pun, variasi macam keahlian ini hanyalah berkisar antara 5-7 buah. Jadi Anda tidak perlu untuk sangat, sangat menguasai 20 macam keahlian! Anda perlu untuk sangat, sangat menguasai 5-7 macam keahlian. Dalam profesi penjualan, macam-macam keahlian ini termasuk:

•Kemampuan memprospek.

•Kemampuan membuat janji lewat telpon.

•Kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang Anda temui.

•Kemampuan menemukan fakta-fakta yang ada.

•Kemampuan mempresentasikan ide-ide Anda dengan efektif.

•Kemampuan menangani keluhan dan

•Kemampuan membaca sinyal-sinyal pelanggan yang akan membeli dan menutup penjualan.

Keahlian yang diperlukan kurang lebih sebanyak 7 macam.

Sudah jelas, sebagai manusia, kita unggul dalam beberapa keahlian tertentu, dan lemah pada keahlian-keahlian yang lain. Kita tidak pernah, benar-benar, dan sangat-sangat menguasai SEMUA keahlian ataupun menjadi benar-benar buruk pada SEMUA keahlian. Kebanyakan dari kita unggul dalam beberapa keahlian dan lemah dalam beberapa keahlian yang lain.

Itu adalah kalimat nomor 1. Sekarang mari kita menganalisis kalimat nomor 2.

Keahlian TERBAIK Anda membawa Anda pada situasi sekarang. Anda telah mencapai posisi atau tingkat kesuksesan dalam karier/pekerjaan/perusahaan karena Anda menguasai beberapa keahlian dengan baik. Mungkin Anda adalah orang yang kompeten/unggul dalam beberapa dari keahlian berikut:

•Kemampuan memprospek.

•Kemampuan membuat janji lewat telpon.

•Kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang Anda temui.

•Kemampuan menemukan fakta-fakta yang ada.

•Kemampuan mempresentasikan ide-ide Anda dengan efektif.

•Kemampuan menangani keluhan dan

•Kemampuan membaca sinyal-sinyal pelanggan yang akan membeli dan menutup penjualan.

Karena unggul dalam BEBERAPA dari keahlian tersebut, Anda telah mencapai tingkat keberhasilan Anda yang sekarang atau saat ini. Inilah keahlian-keahlian yang telah membawa Anda pada posisi saat ini. Tanpa penguasaan yang baik dari keahlian-keahlian tersebut, Anda tidak akan sampai pada posisi Anda saat ini. Anda akan berada di bawah posisi Anda saat ini.

Tetapi, bila Anda tetap bergantung dan menggunakan keahlian-keahlian yang sama dalam pekerjaan Anda sehari-hari, maka performance Anda TIDAK AKAN BERKEMBANG dan Anda akan tetap berada atau terpaku pada posisi Anda saat ini. Hal ini terjadi karena keahlian-keahlian tersebut telah membawa Anda ke posisi anda SAAT INI. Maka, bila Anda terus menggunakan keahlian yang sama ini, Anda juga akan terus-menerus hanya mencapai hasil yang SAMA. Itu saja. Anda tidak akan mendapatkan pengalaman ataupun perkembangan baru!

Oke, kita telah menganalisis kalimat nomor 2. Sekarang mari kita menganalisis kalimat nomor 3.

Kita setuju bahwa keahlian terbaik kita telah membawa kita pada posisi sekarang dan bila kita tetap bergantung pada keahlian-keahlian yang sama ini terus-menerus, performance kita akan tetap terpaku pada tingkat yang sama dan tidak akan berkembang.

Mengapa kita tidak dapat berkembang? Karena keahlian TERBURUK Anda akan MEMBATASI kesuksesan Anda.

Ya. Kita tertahan dan dibatasi oleh keahlian terburuk kita. Kita semua mempunyai kelemahan di area tertentu. Ini adalah keahlian-keahlian yang mencegah kemampuan kita untuk mencapai hasil yang lebih baik. Maka jika Anda ingin berkembang, saya mempunyai 2 pertanyaan:

•Di mana letak kelemahan Anda?

Lebih penting lagi,

•Apa rencana Anda dalam 6 bulan ke depan untuk mengembangkan atau memperbaiki kelemahan-kelemahan Anda?

Bila Anda merasa tidak yakin, Anda dapat menggunakan hal berikut ini sebagai referensi. Ingat bahwa untuk menjadi seorang penjual yang sukses, Anda memerlukan BEBERAPA MACAM keahlian. Berikut adalah keahlian-keahlian yang sangat diperlukan oleh para penjual untuk dapat berhasil:

•Kemampuan memprospek.

•Kemampuan membuat janji lewat telpon.

•Kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan orang yang Anda temui.

•Kemampuan menemukan fakta-fakta yang ada.

•Kemampuan mempresentasikan ide-ide Anda dengan efektif.

•Kemampuan menangani keluhan dan

•Kemampuan membaca sinyal-sinyal pelanggan yang akan membeli dan menutup penjualan.

Jadi dari daftar di atas, di manakah letak kelemahan Anda. Begitu tahu di mana letak kelemahan itu, Anda akan menyadari bahwa Anda TIDAK DAPAT mencapai hasil yang lebih baik dan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi karena Anda tidak menguasai keahlian-keahlian tersebut. Bila Anda berharap untuk dapat mengembangkan performance Anda, mendapat hasil yang lebih baik dan menikmati penghasilan yang lebih tinggi, maka Anda perlu untuk mengembangkan keahlian-keahlian tersebut di atas. Semakin cepat Anda mengembangkan keahlian-keahlian tersebut, semakin cepat pula Anda akan dapat menikmati performance yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi.

Inilah hal yang luar biasa.

Kebanyakan dari kita sudah mengetahui di mana letak kelemahan kita. Bila tidak secara eksplisit, setidaknya kita mengetahuinya di dalam hati kita. Walaupun demikian, kita tetap terus bergantung pada keahlian-keahlian terbaik atau terkuat kita untuk membantu

dalam mencapai target penjualan dan BERTANYA-TANYA mengapa kita tidak mampu untuk mencapai hasil yang lebih baik! Ironis, bukan ?

Jadi Anda serius ingin meningkatkan performance Anda untuk dapat menikmati penghasilan yang lebih baik, jujurlah pada diri sendiri:

•Jujurlah dengan diri sendiri dan kenalilah kelemahan-kelemahan Anda.

•Lakukanlah tindakan-tindakan yang spesifik dan konkrit untuk memperbaiki kelemahan tersebut.

Bila Anda melakukan hal itu, katakanlah dalam waktu enam bulan ke depan, Anda akan menemukan bahwa masalah-masalah yang Anda temui dalam pekerjaan dan dengan pelanggan prospektif Anda akan semakin berkurang. Hal ini karena semakin Anda kompeten dalam perkerjaan, semakin mudah pula Anda bisa mengatasi masalah-masalah tersebut. Begitu keahlian Anda berkembang, masalah-masalah yang tadinya sulit, tidak menjadi masalah lagi karena sekarang sudah dapat Anda atasi dengan baik. Bila itu terjadi, tingkat stres Anda menurun dan Anda akan mulai mendapatkan hasil yang lebih baik. Hal terbaik dari semua ini adalah Anda akan mulai dapat menikmati pekerjaan Anda!

Betapa indahnya—masalah yang berkurang, hasil yang lebih baik, penghasilan lebih tinggi dan dapat menikmati pekerjaan dengan lebih baik—semua karena Anda mampu mengenali kelemahan dan mengambil langkah-langkah spesifik untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Usaha enam bulan untuk memperbaiki dan keuntungan yang didapat adalah seumur hidup! Sungguh ini adalah investasi yang layak untuk dilakukan.

Sebuah konsep yang sederhana, sangat ampuh, sangat mungkin untuk diaplikasikan. Pertanyaannya sekarang… apakah ANDA akan BERTINDAK?

Until then, Happy Selling!



Resep Menjadi Pemasar Hebat dan Tangguh

Kompleksitas dunia pemasaran saat ini menuntut kualifikasi kemampuan pemasar yang lebih tinggi dibanding era sebelumnya. Apa saja yang harus dimiliki dan dilakukan untuk bisa menjadi good & tough marketer?

Rasanya tak salah bila banyak praktisi bisnis yang mengatakan bahwa para pemasar (marketer) hebat adalah pahlawan di era industri. Sebab, lewat tangan mereka, sebuah produk bisa memperoleh nilai tambah (value added), sehingga tak hanya dihargai sebatas komoditas dalam ukuran berat atau volume. “Marketer-lah yang membuat kita mendapatkan margin lewat strategi brand dan diferensiasi yang mereka jalankan,” kata Hermawan Kartajaya, Presiden MarkPlus & Co.

Kenyataannya sekarang, para pemasar terbaik di industrinya bisa menikmati benefit dan apresiasi terbaik. Tidak hanya dari segi kompensasi materiil, tapi juga benefit emosional. Namun, untuk menjadi pemasar mumpuni jelas bukan soal mudah. Maklum, tantangan dunia pemasaran yang harus dihadapi saat ini makin kompleks. Contohnya, kini tingkat persaingan jauh lebih intensif dengan kehadiran makin banyak pemain di setiap jenis industri. Maka, kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi good marketer di era sekarang semakin berat.

Untuk bisa mencapai level tersebut, tentu saja, persyaratan standar seorang pemasar harus lebih dulu dimiliki. Misalnya, kemampuan membaca segmen pasar yang atraktif, menetapkan positioning produk dan mengomunikasikan produk ke konsumen. Pemasar yang bagus mesti menguasai elemen dasar pemasaran seperti 4P (product, place, promotion dan price), segmentasi, targeting, dan lain-lain. Baru setelah itu ia meningkat pada kualifikasi yang lebih advance.

Bambang Bhakti yang selama 32 tahun menggeluti dunia pemasaran, mengatakan, ketangguhan seorang pemasar sebenarnya bisa dilihat dari kemampuannya menciptakan permintaan konsumen pada tingkat preferensi yang tinggi. “Jadi, kata kuncinya, menciptakan permintaan merek dengan tingkat preferensi yang tinggi dan berkesinambungan,” tutur mantan eksekutif senior di PT Coca-Cola Bottling Indonesia itu. “Marketer tak bisa mengatakan yang penting hanya menjual produk semata.”

Pendapat hampir senada disampaikan Simon Jonatan, CEO BrandMaker. Ia menyebutkan, pemasaran berarti menciptakan demand atau need konsumen. “Kita harus meng-create demand lewat konsep yang benar dan baik,” ujarnya.

Seorang pemasar hebat juga harus mampu meraih profitable growth — pertumbuhan yang secara bisnis mendatangkan keuntungan. Ia juga harus bisa mengembangkan strategi dan teknik menemukan sumber pertumbuhan dan pendapatan baru. “Jika elemen-elemen ini mampu dicapai seorang marketer, wah jago dia,” ujar Bambang yang pernah berkarier di PT Multi Bintang. Simon pun melihat hal serupa. “Tak ada artinya promosi atau konsep komunikasi yang bagus kalau produknya tak sukses atau rugi. Sukses bukan hanya dibaca pada proposal yang bagus,” tutur mantan pemasar Extra Joss dan Komix ini.

Crist Budi Setiawan, pengamat yang juga praktisi pemasaran di sebuah perusahaan multinasional, memberi catatan tambahan bahwa seorang pemasar tangguh selalu berpikir inovatif, tak sekadar melihat yang sudah ada di pasar tapi juga mampu menciptakan sesuatu yang baru. “Ia melihat yang tidak dilihat orang lain,” kata Crist seraya menjelaskan pemikiran inovatif bisa bersumber dari pemahaman dan wawasan yang luas, serta analisis yang kuat dan kreativitas.

Di mata J.W. Junardy, COO Rajawali Corporation yang selama ini banyak merekrut pemasar pilihan untuk memperkuat bisnis Grup Rajawali, pemasar tangguh punya cara pandang yang berbeda dari pemasar atau karyawan umumnya. “Ia melihat perusahaan sebagai bisnis miliknya sendiri, bukan dirinya sebagai karyawan. It’s my business,” kata Junardy. Maka, pemasar yang sukses biasanya bekerja seperti halnya mengelola bisnis milik sendiri.

Senada dengan Junardy, Hermawan juga menyatakan bahwa pemasar tangguh tak cukup hanya mengerti industrinya. “Yang lebih penting mesti menjadi entrepreneur. Makanya Phillip Kottler mengatakan ‘Be a marketer, be an entrepreneur‘,” ujar pakar pemasaran ini. Lebih lanjut ia menjelaskan, pemasar harus dekat dengan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Kalau minatnya sebatas menjadi pegawai relatif akan sulit menjadi pemasar tangguh. “Anda tak akan menjadi pemasar yang baik kalau tidak punya entrepreneurship. Sebaliknya bagi entrepreneur, dia tak akan bisa tajam masuk ke pasar kalau tidak mengerti pemasaran. Jadi, pemasaran itu tool intelektualnya, sementara entrepreneurship lebih menyangkut emosional,” Hermawan memaparkan.

Masih menurut Hermawan, untuk menjadi pemasar tangguh mesti ada kemampuan dari sisi IQ, EQ dan SQ. “Jadi harus lengkap: intelectual marketing, emotional marketing dan spiritual marketing. Secara intelektual, konsep pemasarannya harus komplet. Tapi secara emosional, harus pintar seperti membangun hubungan dengan orang atau berani mengambil risiko. Spriritualnya adalah melakukan segala sesuatu dengan sikap honour. Seperti pula yang dicontohkan Nabi Muhammad dengan Al Amin,” tuturnya.

Soal penguasaan lapangan, Bambang yang juga Presdir Team Master Indonesia menyarankan, pemasar harus tahu secara komprehensif proses bisnis di industrinya, tak hanya urusan menjual produk. “Ia harus menguasai value chain dari proses-proses bisnis di industrinya itu,” Bambang menegaskan. Dengan kata lain, pemasar dituntut mampu mengalkulasi berbagai aspek dari sisi bahan baku, perubahan kualitas produk, riset & pengembangan, proses produksi, manajemen inventori, distribusi dan penyebaran barang hingga perubahan pada sisi pelanggan.

Maka, lanjut Bambang, pemasar yang bagus pasti disegani oleh orang-orang dari bagian lain. “Disegani bagian R&D, produksi, kontrol kualitas, logistik, distribusi, dan penjualan.” Alasannya, seorang pemasar tidak bisa bekerja sendirian. “Marketer itu seperti spider on the web.leadership ke segala arah,” Bambang beranalogi. Itu sebabnya, pemasar mesti mempunyai kemampuan memengaruhi fungsi-fungsi lain, tanpa harus memiliki kekuasaan atas diri mereka. “Pengaruh yang bermain di sini. Dia bukan bos, tapi dia harus punya pengaruh,” ujarnya seraya menegaskan pentingnya muatan leadership bagi pemasar. Laba-laba di atas jaringnya. Dia tidak mengomando sudut-sudutnya tapi dia beredar ke mana-mana, punya

Hal-hal tersebut memang perlu dimiliki pemasar, sebab kenyataannya sering menghadapi benturan kepentingan yang berbeda-beda dari tiap-tiap rantai (divisi). “Misalnya, bagian keuangan inginnya tiap produk yang terjual harus langsung dibayar, sementara bagian penjualan inginnya produk dijual secara kredit agar produk cepat terserap pasar. Nah, perbedaan seperti itu saja sudah bikin konflik sehingga butuh kemampuan persuasif,” kata Bambang yang juga pernah berkarier di PT Kiwi Prodenta dan PT Goodyear Indonesia. Crist juga berpendapat sejalan. Menurutnya, pemasar mesti mampu menjadi penggerak. “Harus bisa meng-energize atau menjadikan bagian lain antusias. Tidak hanya divisi pemasaran, tapi bagian lain seperti produksi dan penjualan.”

Menyambung Crist, Simon menambahkan, pemasar mesti pintar baik dalam menjual maupun membuat konsep. Ia juga tidak lekas puas dengan prestasinya sehingga tak membuatnya terlalu sombong atau percaya diri. Simon kemudian mencontohkan peluncuran produk Naturade Gold yang tak sukses karena percaya diri berlebihan. “Seorang marketer yang hebat dia punya wisdom. Kreativitas itu tidak lepas dari experience. Wisdom timbul dari membaca pasar, mempelajari data, menganalisis data menjadi knowledge dan knowledge itu dikumpulkan menjadi wisdom,” tutur mantan Direktur PT Bintang Toedjoe ini.

Lebih lanjut Simon menyebutkan, good marketer harus kuat mendengar isu atau gosip. Selanjutnya, isu ini harus bisa dijadikan data, dikumpulkan menjadi knowledge yang kemudian menambah wawasannya dalam memutuskan. Maka, timpal Bambang, penting sekali bagi pemasar terus turun ke pasar, berbicara dengan wholesaler (grosir), pengecer dan konsumen. Dari mereka, lanjut Bambang, biasanya informasi tentang peluang pasar baru hingga strategi pesaing bisa diperoleh. Turun ke pasar juga bermanfaat buat meningkatkan kemampuan kompetisi pemasar. “Seorang marketer konsepnya haruslah 3:2. Yaitu 3 hari di kantor dan 2 hari di lapangan. Kalau marketer tidak ke lapangan dan cuma berkutat di kantor, bagaimana bisa merasakan denyutnya pasar?” ujar ayah lima anak dan kakek dari empat cucu ini.

Bambang juga berpendapat pemasar mesti punya intelektualitas yang tinggi. “Gelar S-1, kemampuan komunikasi hingga relationship sebagai aspek-aspek yang minimal harus dipunyai oleh marketer,” katanya. Intelektualitas yang tinggi, menurutnya, diperlukan karena di bidang pemasaran banyak fungsi abstraksi yang harus dijalani. Misalnya, membayangkan sejak awal brand-nya ke depan mau diapakan. “Merencanakan brand seperti itu awalnya dilakukan dalam bentuk abstrak, tidak nyata. Karena itu dibutuhkan kemampuan membuat konsep dan strategi yang keduanya juga sama-sama abstrak, tidak nyata. Belum lagi mengenai masalah angka, kemampuan membaca data riset, tren, dan data statistik.”

Itulah sebabnya Bambang menganjurkan seseorang bergelar minimal S-1 untuk menjabat sebagai marketing trainee, posisi terbawah dalam hierarki divisi pemasaran. Asumsinya, lulusan S-1 sudah memiliki daya abstraksi. Selanjutnya daya abstraksi itu digabungkan dengan kemampuan komunikasi. “Karena abstraksi itu harus mampu divisualisasikan melalui penjelasan. Omong kosong seorang marketer tanpa kemampuan komunikasi,” kata Bambang meyakinkan. Aspek relationship dinilainya juga harus dikedepankan karena berkaitan dengan kemampuan membangun jejaring dengan agensi riset, periklanan, promosi, dan banyak lagi. Bambang tidak mempersoalkan latar pendidikan pemasar. Baginya profesi yang satu ini multidisipliner, alias segala jurusan S-1 bisa diterima. Ia teringat ketika dirinya masih di Unilever, ada seorang dokter gigi masuk sebagai marketing trainee dan sukses.

Faktor karakter juga berperan penting. Bagaimanapun, menurut Crist, pemasar mesti berpikiran terbuka, berpikiran luas dan suka menimba pengalaman orang lain. Tak hanya itu, untuk menjadi pemasar tangguh, Crist berpendapat, perlu mengembangkan kepribadian dan karakter yang tak mudah menyerah, pemberani dan selalu ingin lebih dahulu. “Karakter-karakter ini yang cukup penting. Pendidikan hanya menyumbang 40%, sisanya adalah karakter-karakter tersebut,” Crist menegaskan keyakinannya. Pernyataan Crist dibenarkan Junardy, mantan bos Excelcom yang juga Presiden Indonesia Marketing Association. Menurut Junardy, pihaknya juga sangat seletif dalam memilih pemasar yang hendak ditarik bergabung. Kualifikasi karakternya, mesti proaktif atau agresif, baik dalam penampilan maupun cara berpikir. Lalu, memiliki motivasi yang tinggi, melihat pemasaran sebagai pekerjaan penting, dan menyukai pekerjaan pemasaran. “Semua kualifikasi itu diterapkan di perusahaan kami,” ujar Junardy.

Karena kehadiran good marketer dibutuhkan perusahaan, Bambang mengakui, perusahaan juga bisa berperan besar. “Pohon kelapa yang baik hanya akan tumbuh di tanah yang baik pula,” kata Bambang beranalogi. Singkatnya, perusahaan yang akan menelurkan pemasar tangguh adalah perusahaan yang sungguh-sungguh mau berinvestasi besar di bidang pemasaran. Crist menimpali, perusahaan yang cocok untuk itu adalah yang memberikan penekanan pada pemasaran, pengembangan produk (R&D) dan riset pasar. “Perusahaan trading tidak cocok membentuk marketer tangguh,” ucapnya. Dalam hal ini iklim yang dibutuhkan untuk terciptanya pemasar tangguh harus datang baik dari atasan maupun lingkungan kerja. Misalnya, kalau pemasar berbuat salah diberikan kesempatan untuk bangkit dan sukses. Lalu, memberikan tantangan kepada setiap bagian untuk bersaing dan menemukan solusi, bukan saling menjatuhkan.

Pendapat itu senada dengan saran Hermawan, yakni bila ingin menjadi pemasar tangguh, sebaiknya memilih berkarier di perusahaan yang berorientasi pemasaran. “Perusahaannya harus percaya pada marketing, percaya brand, diferensiasi, positioning dan lain-lain. Kalau masuk ke perusahaan yang dagangannya komoditas akan percuma, bakatnya tak akan berkembang,” kata Hermawan. Jika pemasar masuk dalam perusahaan yang kurang memperhatikan strategi pemasaran, pilihannya dua: meyakinkan sang bos atau keluar. “Artinya, mereka harus melakukan marketing ke dalam dulu,” tandas Hermawan, dan ia menyarankan agar perusahaan memberikan reward yang baik untuk merangsang munculnya pemasar yang andal.

Crist memberi saran praktis, yakni untuk mendorong munculnya pemasar hebat bisa dilakukan dengan memberikan tantangan dan target pemasaran yang tinggi, sehingga “memaksa” mereka memutar otak. Misalnya, bila pertumbuhan normal di industrinya 20%, ditargetkan tumbuh 50%. Hal ini akan memicu mereka berpikir keras. “Namun jangan sampai memberikan target lebih sebagai sebuah punishment. Yang lebih penting, mereka dihargai dengan financial dan nonfinancial reward,” ia mewanti-wanti. Tentu sebelum diberikan latihan yang menantang, bisa juga diberikan latihan melalui proyek pemasaran yang tingkat kesulitannya sedang. “Misalnya menugaskan mereka merenovasi produk dengan cara mengubah kemasan, menambah varian, atau mengejar profit margin,” sahut Bambang.

Hal-hal semacam itu rupanya telah diterapkan di PT Kalbe Farma Tbk. Seperti dituturkan Vidjongtius, salah seorang direkturnya, pihaknya juga terus merangsang munculnya para pemasar hebat. “Sebab mereka merupakan ujung tombak bagi perusahaan,” katanya memberi alasan. Tak heran untuk itu Kalbe juga melakukan program pelatihan internal dan eksternal secara teratur sesuai dengan kebutuhan kompetensi masing-masing jabatan. Biaya pelatihan tiap tahun setiap karyawan berkisar Rp 1-10 juta.

Bagi para pemasar muda yang ingin terus mengasah kemampuannya, tentu tidaklah tepat jika hanya menggantungkan uluran tangan perusahaan untuk pengembangan kompetensi dirinya. Menurut Bambang, mereka mesti baca buku, ikut kursus dan seminar. Menggantungkan pada perusahaan akan membuat seseorang tidak mandiri. “10% dari gaji sudah memadai untuk biaya pengembangan diri ketimbang dipakai untuk dugem,” saran Bambang. Hanya saja, Bambang mewanti-wanti, knowledge tidak lantas menjadi skill. “Apalagi seminar. Seminar itu kan knowledge banget. Kita cuma bisa melakukan benchmark dengan pengalaman perusahaan lain,” tandasnya. Ditambahkannya, memperoleh skill yang paling utama adalah dari praktik on-the-job training dan pengalaman sehari-hari.

Hermawan mengingatkan, ilmu dan pengetahuan pemasaran berkembang terus. “Maka, ikuti apa yang terjadi di tempat lain dan di industri lain. Mempelajari kasus di industri lain penting,” katanya. Ilmu yang terbaik bagi pemasar tangguh, menurut Hermawan, tidak ada jalan lain kecuali praktik dan terjun langsung di bidangnya. “Tidak hanya membahas kasus di kelas. Ia harus mampu membuktikan melalui praktik. Jadi harus dihubungkan antara konsep dan praktik,” paparnya.

Ada lagi yang diingatkan para praktisi pemasaran berpengalaman itu, yakni pemasar tangguh bukan berarti tak pernah gagal. “Seorang marketer juga harus pernah merasakan kegagalan,” ujar Simon yang mengaku pernah gagal ketika di Kalbe Farma. Ya, sepandai-pandai tupai melompat, sesekali gawal juga. “Tapi, yang menunjukkan seberapa tangguh adalah kemampuan untuk bangkit dan belajar dari kegagalan untuk meraih sukses,” tambah Simon. (Swa.co.id)


Teknik Negosiasi Win-Win

Oleh: James Gwee

Teknik negosiasi win-win memungkinkan Anda mendapatkan suatu hasil negosiasi yang baik maka selain mengetahui tipe orang yang akan kita temui. Kita juga harus paham akan tahap – tahap dalam melakukan negosiasi. Tahap yang paling penting untuk melancarkan negosiasi adalah persiapan.

Persiapan ini bisa dimulai dengan tempat negosiasi dilaksanakan. Negosiasi bisa dilakukan di tempat yang santai atau formal. Tentunya jika kita bernegosiasi pada tempat – tempat tertentu ada kelebihan dan kekurangannya. Ketika kita bernegosiasi di tempat santai maka kita bisa lebih leluasa menjelaskan segala hal kepada pelanggan. Namun kita tidak bisa berharap keputusan dapat dibuat cepat. Sebaliknya jika kita bertemu dengan klien di tempat yang formal maka penjelasan kita pun akan terkesan formal dan penjelasan kita tidak bisa sedetil mungkin. Namun demikian keputusan yang diambil bisa lebih cepat dilakukan.

Teknik negosiasi win-win mengutamakan pemilihan tempat, dan waktu. Seperti jam, hari, fluktuasi bisnis dan cash flow (mengetahui kebiasaan bisnis pihak lain untuk mengetahui cash flow mereka). Jika kita mengabaikan faktor waktu ini, maka keputusan yang diambil akan lebih lama. Dampak lebih besar adalah penyia – nyian waktu dan energi.

Pertimbangkan juga isu yang akan kita negosiasi. Kita selalu berpersepsi bahwa ketika kita bernegosiasi maka harga menjadi topik utama. Padahal tidak. Ada banyak hal seperti Terms of Payment, mutu produk, after sales dan dukungannya, pertanggungjawaban prestasi bahkan isu mengenai kepastian manajemen yang akan tetap mempertahankan kebijakan yang sama ada, bisa dijadikan bahan untuk negosiasi. Untuk memperkuat isu yang akan kita angkat dalam suatu negosiasi maka kita harus mendapatkan informasi yang akurat.

Batasan wewenang juga harus kita siapkan. Maka itu sebelumnya kita harus berdiskusi dulu dengan atasan kita terkait dengan batasan – batasan apa saja yang harus kita patuhi. Seperti misalnya batasan mengenai waktu, pemberian prosentase diskon atau Terms of Payment.

Informasi akurat mengenai pihak yang akan kita ajak negosiasi juga menjadi bahan yang penting untuk kita ketahui sebelum kita bernegosiasi dengan mereka. Ini nantinya dapat menentukan proses dan hasil dari negosiasi. Dan jika kita sudah tahu mengenai pihak yang akan kita ajak untuk bernegosiasi, waktunya kita mencari tahu apa yang mereka tahu tentang kita sebagai perusahaan, produk dan saya sebagai orang yang akan bernegosiasi dengannya. Apakah opininya positif atau negatif ? Ini bisa kita pakai saat menghadapi mereka dalam bernegosiasi.

Jangan lupa untuk memperhatikan faktor eksternal , karena ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi pihak yang kita ajak untuk bernegosiasi untuk mengambil keputusan. Faktor eksternal bisa berupa turunnya harga, bencana alam dan suasana politik.

Dalam negosiasi juga sebaiknya kita memberitahukan diawal mengenai apa yang akan kita lakukan dan bicarakan dalam negosiasi. Serta apa yang dapat mereka terima dari negosiasi ini, begitu juga sebaliknya. Apa yang bisa kita dapatkan dari negosiasi ini.

Terakhir adalah tujuan kerja. Setelah semua negosiasi selesai dilakukan dan ada kesepakatan, maka waktunya untuk membuat rencana kerja. Jika rencana kerja juga sudah dibuat, maka tinggal melaksanakan rencana tersebut.



Membuat Presentasi Power Point Yang Baik

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa presentasi dengan mempergunakan Powerpoint telah menjadi standar dan banyak di pakai dimana-mana. Entah itu di instansi pemerintahan, universitas ataupun di sekolah-sekolah.

Nah, berikut ini adalah beberapa tips membuat presentasi Powerpoint yang baik dan benar sehingga presentasi anda nantinya bakal disukai dan diberi applaus oleh audience. Seperti kita ketahui bahwa dengan sebuah presentasi yang baik, maka proyek proposal, usulan atau pendapat Anda, mempunyai kesempatan besar untuk disetujui.

1. Mudah dibaca

Presentasi yang baik adalah yang mudah dibaca, jadi pergunakan huruf standar misal Arial atau Times New Roman. Selain itu pergunakan huruf yang cukup besar, jangan sampai Audience kesulitan membaca karena huruf yang anda pergunakan terlalu kecil.

2. Judul yang jelas pada setiap Slide

Pergunakanlah huruf tebal, jelas dan mudah dibaca pada setiap judul slide anda.

3. Background yang sederhana

Perhatikan background yang anda pergunakan pada setiap slide yang anda buat. Jangan sampai kalimat yang ada tulis jadi tidak bisa terbaca dengan jelas, karena anda memakai background yang terlalu kontras.

4. Grapik dan Diagram

Mempergunakan gambar seperti grafik dan diagram akan membantu anda untuk lebih menjelaskan tentang topik yang sedang anda presentasikan. Selain itu dengan mempergunakan grafik atau diagram, akan sedikit menyegarkan suasana dan mengundang perhatian para audience

5. Tetap fokus

Tulislah hal-hal pokok atau penting saja yang ada hubungan dengan topik yang sedang anda presentasikan. Jangan menggunakan terlalu banyak kata atau kalimat dalam satu slide presentasi. Cukup anda tulis judul atau garis besarnya saja.

6. Nyambung

Penting diperhatikan, setiap slide yang anda buat satu sama lain saling berhubungan.

7. Jangan terlalu banyak slide

Jangan membuat slide presentasi yang terlalu banyak untuk satu topik yang anda bahas. Buatlah Slide seefisien mungkin. Kalau topik yang anda bahas memang panjang, penjelasan secara lisan tentu lebih baik.

8. Berbicara yang jelas

Saat presentasi sedang berlangsung berbicara dengan jelas. Sehingga audience bisa memahami presentasi yang anda sampaikan. Kebanyakan audience beranggapan bahwa sebuah presentasi Powerpoint selalu kering dan membosankankan, dengan kreativitas anda dan pembicaraan yang baik, anda bisa mengubah pandangan tersebut.

9. Beri kesempatan untuk bertanya

Kalau bisa, luangkan waktu untuk memberikan kesempatan kepada audience untuk bertanya tentang hal-hal yang tidak dimengerti dari presentasi yang anda sampaikan.

10. Future Follow Up

Hal penting lainnya, adalah beri kesempatan kepada audience untuk bertanya di lain waktu mengenai topik presentasi yang anda sampaikan. Jadi jangan segan-segan untuk mencantumkan e-mail, no. telepon atau website anda di akhir presentasi anda. Sehingga mereka bisa bertanya kapanpun juga. Ini semua bisa menjadi nilai plus bagi anda.



Lompatan Kuantum SOHO

Hanya dalam tempo 11 tahun sejak krisis moneter 1997, Soho Industri Pharmasi yang medioker berhasil mengibarkan diri dalam Jajaran Top 3 Perusahaan Farmasi Indonesia. Apa strateginya, dan mampukan mereka jadi yang terbesar?

Pagi itu, Jakarta International Expo “kawasan bekas Bandara Kemayoran yang biasa digunakan untuk penyelenggaraan Jakarta Fair, hajatan akbar buat memperingati HUT DKI Jakarta” dipadati banyak orang yang berduyun datang sejak pukul 9 pagi. Mereka, ribuan keluarga yang kebanyakan mengenakan kaus berwarna kuning itu, bersorak riuh ketika salah satu dari beberapa orang berkaus putih yang berdiri di depan mengumumkan berita menggembirakan: setiap karyawan, tanpa kecuali, mendapat “hadiah” masing-masing Rp 1 juta.

Seluruh karyawan, dari level terendah sampai tertinggi, bahkan para eksekutif puncak? Ya, seluruhnya sekitar 3.600 orang.

Namun, dalam rangka apa sampai sebuah perusahaan rela menghamburkan setidaknya Rp 3,6 miliar di masa sulit seperti sekarang? Apa “judul” familiy gathering yang diadakan pada 13 Desember 2008 itu?

“Nggak ada judulnya. Pokoknya, kasih saja,” ujar Andreas Halim Djamwari, Presiden Direktur Grup Soho, perusahaan yang bagi-bagi duit tersebut. “Bagi kami, orang (sumber daya manusia) sangat penting. Karena, itu kami selalu memotivasi mereka.”

Kenyataannya, family gathering itu adalah kali yang keempat sejak 2005. Artinya, dugaan SWA bahwa mereka bagi-bagi hadiah sebagai rasa syukur atas keberhasilan PTSoho Industri Pharmasi (Soho) menancapkan tonggak pencapaian besar pada akhir September 2008, tulang punggung Grup Soho ini berhasil menembus angka penjualan Rp 1 triliun, bahkan mengibarkan diri di peringkat ke-3 jajaran Perusahaan Farmasi Terbesar Indonesia tidaklah tepat. Andreas dan seluruh jajaran manajemen Grup Soho juga meyakinkan bahwa mereka belum apa-apa.

”Endaklah, kami masih jauh dibanding Dexa dan yang lain-lain,” ujar mereka serempak ketika SWA menanyakan apakah family gathering tadi terkait dengan tonggak pencapaian yang luar biasa tersebut. Baru, setelah SWA menunjukkan data, Hindrianto Lukas mengiyakan. “Kalau penjualan total, mungkin saja kami sudah seperti itu,” ujar Direktur Pengelola Soho ini masih dengan nada bimbang. “Ya, mungkin saja. Tapi kami nggak punya datanya…”

Kerendahan hati para petinggi Soho itu, termasuk Andrew Makmuri (Direktur Pengelola PT Parit Padang, anak perusahaan Grup Soho di bidang distribusi) dan Harun Pramono (Direktur Penjualan dan Pemasaran Soho) yang ikut bergabung untuk mengimbangi SWA yang datang dengan tim lengkap, sungguh mengherankan. Kendati demikian, kebersahajaan yang ditunjukkan di kantor yang sangat sederhana itu justru menjawab keheranan yang lebih besar: bagaimana mungkin dalam tempo relatif singkat, dan melewati krisis moneter 1997 yang merontokkan dunia bisnis pula, perusahaan yang namanya “tidak bunyi” mampu menggeser nama-nama besar, termasuk para kampiun mancanegara sekaliber Pfizer.

Sampai awal 1990-an, nama Soho boleh dibilang cuma bunyi di kalangan sangat terbatas. Maklum, 1,5 dasawarsa lalu itu mereka cuma semacam produsen obat generik. Produk mereka kebanyakan dilempar ke apotek dalam kemasan besar kaleng berisi 1.000 atau 5.000 tablet obat generik atau ekstrak terstandar buat bahan baku puyer atau obat resep racikan lainnya.

Karena yang dijajakan umumnya obat setengah jadi macam begini, selama empat dasawarsa lebih sejak mulai berkiprah pada 1951 Soho hanya mengupayakan berjualan, selling. Satu hal yang menyelamatkan mereka dari sekadar jadi pedagang: basis bisnis Soho sebagai perusahaan farmasi adalah manufaktur, pabrik obat.

Maka, agar bisa menangguk laba yang berkelanjutan, Soho bukan cuma mesti berupaya menemukan cara untuk jual produk dengan banderol di atas harga kulakan plus biaya lain. Mereka juga harus terus-menerus meningkatkan efisiensi proses bisnis dari kegiatan yang cukup hulu dari pengadaan dan inventori bahan baku, produksi dengan segala kerumitannya, sampai ke penggudangan dan distribusi produk jadi. Sebagai produsen, mereka juga harus jeli betul memilih jenis produk yang diinginkan pasar, karena tak segampang pedagang untuk pindah produk.

Kantor Soho yang jauh dari kesan mewah dan gaya para eksekutif yang bersahaja baru dua hal yang mencerminkan langsung praktik bisnis prudence yang mereka pegang teguh. Akan tetapi, kedua hal yang kasat mata ini memberikan sinyal kuat kepada seluruh insan Grup Soho untuk selalu mengedepankan kehati-hatian dalam menjalankan bisnis, tidak jorjoran.

“Dulu, waktu di Gunung Sahari, kantor kami jauh lebih sederhana,” tutur Andreas yang juga mengaku selalu terbang di kelas ekonomi atau menggunakan maskapai penerbangan biaya rendah setiap kali melakukan perjalanan bisnis.

“Pak Andreas ini memang selalu hati-hati mengambil langkah,” Lukas mengomentari kesederhanaan yang diteladankan nakhoda bisnis Grup Soho itu. “Dia mengelola Grup Soho seolah mengelola bisnis milik sendiri. Bahkan mungkin lebih dari itu.”

“Apakah karena ada deal tertentu, opsi saham misalnya?”

“Tidak juga,” jawab Andreas yang juga diiyakan oleh Lukas. “Kami senang aja melakukan yang terbaik buat orang banyak.”

Mengaku tak punya hobi selain makan enak — “Itu pun sekarang tongseng sudah tidak berani lagi,” ujar Andreas menyebutkan makanan kampung kesukaannya — sarjana biologi ini telah terjun ke industri farmasi sejak lulus dari Universitas Gadjah Mada pada 1972. Dia mulai dari level paling bawah, medical representative, sampai menjadi manajer pemasaran di sebuah perusahaan farmasi multinasional yang memercayakan distribusi produknya ke PT Parit Padang. Sebab itu, pria berusia 60-an tahun ini telah cukup lama kenal dengan pemilik Grup Soho.

Andreas dipercaya penuh oleh Tan Eng Liang, pemilik dari generasi kedua, menakhodai perusahaan keluarga itu mungkin karena dinilai dapat mewakili nilai-nilai perusahaan yang dibangun oleh Tan Tjhoen Lim, sang pendiri yang berasal dari sebuah kota kecil di Bangka. Tan Eng Liang adalah master fisika murni lulusan Jerman, memilih jadi peneliti di Sydney, Australia, dan hanya menangani hal-hal yang bersifat strategis dengan mengantor di markas Grup Soho, di Kawasan Industri Pulo Gadung, seminggu sampai 10 hari dalam sebulan.

“Jadi, yang membuat Soho bisa seperti sekarang bukan saya, melainkan tim,” ujar Andreas yang lebih suka disebut “wong Lasem”, merujuk tanah kelahirannya di kota kecil pesisir utara Jawa Tengah yang terkenal dengan batiknya itu, ketimbang sebagai eksekutif andal. “Saya generasi ke-9 dari Cina perantauan yang sudah kawin-mawin dengan orang Jawa.”

Kenyataannya, persiapan Soho untuk tinggal landas memang telah dilakukan sejak 1997, ketika Tan Eng Liang mewarisi tongkat komando dari Tan Senior yang meninggal dunia. Lama tinggal dan menempuh pendidikan di negara maju, Tan Junior memiliki visi jauh ke depan. Maka, kelahiran Jakarta, 16 Juli 1948, ini segera melakukan berbagai gebrakan.

Buat mentransformasikan Grup Soho yang cara berbisnisnya sangat tradisional menjadi sebuah perusahaan modern di era informasi tanpa batas abad-21, pertama, Tan Junior menerapkan teknologi informasi. Dan tak tanggung-tanggung, dia menggandeng salah satu kampiun industri TI dunia: IFS dari Swedia.

Hasilnya? “Kami jadi perusahaan farmasi pertama di Indonesia dengan distribusi yang menerapkan sistem online real-time,” tutur Andreas yang menyatakan Parit Padang masih setia dengan sistem IFS. “Saat ini telah banyak perusahaan (distribusi) farmasi lain yang menggunakan TI dengan mitra yang mungkin mengklaim lebih canggih, tapi Soho adalah yang pertama.”

Menjadi pionir untuk penerapan teknologi canggih yang mahal — sehingga tak bisa melakukan benchmarking dengan perusahaan lokal mana pun — tentu sebuah taruhan yang tak kecil. Untungnya, Tan punya keyakinan teguh dan Grup Soho yang selama hampir setengah abad bisnisnya selalu bersikap konservatif memiliki dana yang cukup.

Ketika Tan Junior mewarisi Grup Soho pada 1997 itu, perusahaan keluarga tersebut boleh dibilang tak punya utang. Kalaupun ada kredit, jumlahnya tak seberapa dan dalam rupiah. Itulah salah satu faktor yang membuat Grup Soho justru mampu berekspansi ketika banyak perusahaan lain terjerembap karenan meroketnya nilai tukar dolar AS dan mata uang keras lainnya akibat krismon yang melanda Asia Timur dan Tenggara. Pengembangan sistem distribusi yang canggih di Parit Padang ini terbukti memberikan pijakan krusial untuk lompatan kuantum yang segera mereka lakukan.

Waktu itu, telah merekrut beberapa manajer senior buat menangani pemasaran, Soho melakukan lebih dari sekadar jualan. Pada 1990-an itu, perusahaan satu ini belum betul-betul jadi tulang punggung Grup Soho. Namun telah disadari, Soho bisa bergerak lebih lincah ketimbang saudara tuanya, PT Ethica Industri Farmasi, yang didirikan pada 1949. Lingkup produk Ethica, cikal-bakal Grup Soho, lebih sempit — injeksi dan, belakangan, obat golongan cephalosporin yang (laiknya antibiotik) juga harus diresepkan oleh dokter.

Lukas yang telah bergabung dengan Soho sejak 1994 mengutak-atik temulawak. Telah malang-melintang di bidang pemasaran pada berbagai perusahaan farmasi besar, termasuk PMA, dokter lulusan Universitas Atma Jaya ini tahu betul bahwa rimpang yang menyandang nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza itu telah diterima masyarakat luas sebagai obat. Maka, salah satu langkah pertama yang dia ayun begitu bergabung dengan Soho adalah, itu tadi, membawa temulawak ke kalangan kedokteran.

Berbekal masukan positif yang diterimanya dari lapangan, Lukas membawa Soho untuk mengadakan The First Symposium on Curcuma di Surabaya, lalu di kota-kota besar lain di seluruh Nusantara. Dan, tak tanggung-taggung, mereka menampilkan “Sembilan Dewa” — julukan bagi sembilan dokter paling senior di Indonesia, termasuk Prof. Ali Sulaeman, ahli hepatologi terkemuka. Seperti yang diharapkan, simposium tersebut mendapat respons bagus.

Buktinya, sejak itu temulawak (buatan Soho yang berbentuk tablet dan tablet lapis gula, dengan merek Curcuma) mulai banyak diresepkan dokter. Peresepan pada akhir 1990-an tersebut terutama untuk pengobatan kelainan liver (termasuk membantu penyembuhan hepatitis), bukan menambah nafsu makan.

Sukses awal dengan Curcuma yang diluncurkan pada 1995 ini meningkatkan semangat untuk mengembangkan obat herbal lain: Matovit (ekstak billberry, diluncurkan pada 1997) dan Oste (chondroitin dan glukosamin, 1999). Selain itu, Curcuma juga segera diekstensi menjadi Curcuma Plus (1999), sirup penambah nafsu makan.

Lagi-lagi, dipasarkan secara etikal, Curcuma Plus mendapat sambutan baik. Para dokter banyak yang meresepkannya. Maklum, kalangan medis itu telah paham dengan khasiat temulawak sebagai penambah nafsu makan. Beberapa di antaranya, terutama para dokter dari Jawa, bahkan mengaku, “Waktu kecil saya sering dicekokin temulawak oleh ibu, kalau nggak nafsu makan.”

Pada 2000, Soho meluncurkan produk herbal over the counter (OTC/produk obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter) pertamanya: Diapet yang berbahan aktif ekstrak daun jambu biji dan kunyit. Seperti temulawak yang mengandung curcumin (antiradang) dan xanthorrhizol (penambah nafsu makan), daun jambu biji dan kunyit juga telah dikenal masyakarat memiliki khasiat sebagai obat. Kunyit telah lama dikenal sebagai antiseptik alami dan kandungan tanin yang tinggi membuat pucuk daun tanaman Psidium guajava sering digunakan banyak orang untuk mengobati diare.

Didukung promosi gencar, Diapet yang dikembangkan melalui kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi ini meledak di pasar. Sampai sekarang, menurut Harun, “Pertumbuhan Diapet masih rata-rata 15%/tahun.”

Sukses Diapet memang fenomenal. Bagaimana tidak, di negara berkembang dengan iklim tropis, diare adalah penyakit rakyat. Sebab itu, pasar produk antidiare di Indonesia pasti sangat crowded. Dan kenyataannya memang demikian, warung-warung di pelosok Nusantara pun telah dijejali oleh berbagai merek, termasuk Enterovioform (alias Pil Ciba) dan Entrostop (andalan Kalbe Farma).

Apa yang membuat Diapet mampu menumbangkan tablet antidiare buatan Ciba-Geigy yang berjaya selama belasan tahun itu?

“Hoki,” ujar Simon Jonatan. Keberhasilan Soho dengan produk herbalnya, CEO Brandmaker Indonesia ini meyakinkan, “Karena hoki semata.”

Mengapa? Waktu Soho menyerbu pasar OTC, masih menurut Simon, Dirjen POM (yang sekarang menjadi Badan POM, otoritas pengawas obat dan makanan di Indonesia) hanya membolehkan antidiare berformulasi attapulgite — dan semua antidiare lain yang mengandung bahan aktif dilarang beriklan karena alasan kandungan bahan berbahaya dari obat. Karena melenggang sendirian di media massa inilah, Diapet jadi cepat dikenal dan, buntutnya, merebut pasar.

“Lalu, Entrostop protes,” tutur Simon. Ketika Entrostop diizinkan beriklan lagi, Diapet telanjur diterima pasar.

Apa yang dikatakan Simon ada benarnya. Apalagi, pada akhir 1990-an itu dia mengomandani pemasaran Bintang Toedjoe, salah satu anak perusahaan Kalbe, sehingga boleh dibilang mengalami sendiri.

Kendati demikian, ada rincian hal yang tak disebut oleh Simon. Waktu itu, Dirjen POM sebenarnya telah cukup lama menyosialisasi kemungkinan pelarangan obat-obat yang mengandung vioform — bahan aktif dalam antidiare OTC. Pasalnya, penyebab diare itu tidak kelewat jelas. Bahkan kalau disebabkan infeksi pun, bakteri yang membuat penderita buang-buang air nonspesifik. Dengan demikian, pemberian antibakteri belum tentu (bahkan telah dibuktikan tidak) efektif sehingga pasien hanya terancam efek samping tanpa menikmati efek terapetik yang berarti.

Artinya, wajar saja kalau akhirnya hanya antidiare yang tak mengandung bahan aktif dan cuma berisi bahan penyerap cairan dan toksin bakteri yang terlarut di dalamnya yang (nantinya) boleh beredar. Attapulgite yang disebut Simon hanya satu dari sedikit zat absorban yang diperbolehkan (masih banyak yang lain, termasuk arang aktif, pektin dan kaolin). Tahap pertama dari pelarangan beredar adalah pelarangan beriklan, yang juga telah disosialisasi cukup lama. Diapet tak terkena larangan ini karena formulanya herbal, bebas vioform dan bahan aktif kimia lainnya, sehingga dipercaya keamanannya.

(Neo) Entrostop kemudian diperbolehkan beriklan lagi juga bukan berkat protes Kalbe semata, tetapi karena formulanya telah diubah dan tak lagi mengandung vioform atau bahan aktif lainnya. Jadi, kalau perubahan formula menjadi Neo Entrostop itu bisa dilakukan sebelum pelarangan dan Entrostop formula vioform (yang mengopi formula Pil Ciba, sang pemimpin pasar) telah ditarik seluruhnya dari pasar, bisa dipastikan produk andalan Kalbe tersebut tak akan dilarang tampil di televisi, radio, majalah dan koran.

“Kami mulai mengembangkan Diapet itu sebelum pelarangan (antidiare yang mengandung vioform),” tutur Lukas. Waktu itu, Soho ingin memperbesar diferensiasi ke arah herbal setelah sukses awal dengan temulawak. “Agar bisa bertahan, kami perlu differentiate.”

Ketika langkah diferensiasi buat menghindari persaingan di pasar obat antidiare yang crowded telah diayun, para penguasa pasar tiba-tiba dilarang beriklan. Memiliki dana yang cukup, Soho memanfaatkan peluang langka ini. Pelarangan inilah yang merupakan kebetulan, by default, sedangkan langkah ke obat herbal tetaplah berkat sebuah perencanaan, by design, guna persaingan langsung dengan pesaing yang disadari jauh lebih besar dan kuat. “Kami adalah perusahaan pertama yang mempromosikan produk alami ke dokter,” ujar Andreas bangga. “Jadi, kami membuat segmen (pasar) baru.”

Kebetulan lain (kalau ini juga bisa dibilang kebetulan), Soho yang memosisikan diri sebagai penyedia lengkap bahan baku obat racikan, termasuk beragam sediaan ekstrak terstandar, adalah satu dari sedikit perusahaan farmasi yang memiliki fasilitas ekstraksi cukup canggih berkapasitas cukup tinggi. Kompetensi yang unik ini membuat mereka lebih mudah masuk ke segmen herbal yang belum tergarap.

Di luar segala kebetulan itu, kemampuan Soho memanfaatkan dengan baik pintu peluang berpromosi sendirian yang tak begitu lama terbuka lebar tetap layak diacungi jempol. Maklum, waktu itu sebetulnya sudah ada merek obat antidiare yang cukup kuat dan tak terkena larangan beriklan. Toh, entah mengapa, produsen Norit — antidiare OTC yang telah lama diterima pasar tersebut itu — tak tergerak untuk mengayun langkah promosi yang berarti.

Hal lain yang patut diacungi jempol adalah kejelian Soho mempersiapkan infrastruktur distribusi sebelum melakukan diferensiasi yang terbukti bukan hanya membuat mereka dapat bertahan, melainkan juga berkembang pesat. Tanpa overhaul menjadi perusahaan modern dengan kemampuan sistem TI yang online real-time, gebrakan kedua yang dilakukan Soho — kita sebut saja strategi “herbalisasi” guna menghindar dari arena yang persaingannya sudah berdarah-darah dan membuka pasar baru yang segar — belum tentu memberikan hasil yang lebih dari sekadar bertahan.

Sukses besar Diapet bukan hanya menambah keyakinan Soho terhadap strategi diferensiasi dengan produk herbal. Penjualannya yang meledak dahsyat juga membuat mereka punya amunisi yang cukup untuk invasi pasar berikutnya.

Melihat kenyataan bahwa Curcuma Plus mampu mendominasi pasar ethical hanya dalam tempo setahun, Soho pun kemudian yakin betul dengan popularitas temulawak. Segeralah mereka meluncurkan sirup vitamin yang tak ada padanannya ini ke pasar OTC yang berada di bawah consumer health division (CHD). Langkah yang diayun ini tepat. Menggunakan Sherina Munaf sebagai endorser, dengan cepat Curcuma Plus mendominasi pasar sirup vitamin untuk anak.

Pemilihan Sherina, yang telah menjadi ikon anak-anak dengan meledaknya album (Andai Aku Besar Nanti, 1999) dan film (Petualangan Sherina, 1999), sebagai duta merek patut dipuji. Kendati demikian, yang harus diacungi jempol adalah, lagi-lagi, kesiapan infrastruktur Soho menangani produk yang penjualannya meledak. Adanya Sherina yang fenomenal, mengambil istilah Simon, adalah sebuah kebetulan, tetapi kesiapan Parit Padang mengisi ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan, gerai (mulai dari apotek dan toko obat sampai ke warung-warung) di seluruh Nusantara adalah berkat sebuah visi jangka panjang.

Sebagai pembanding, ada sebuah perusahaan farmasi yang produk vitaminnya meledak berkat endorser yang tak kalah hebat (masih ingat iklan Sakatonik ABC yang dilantunkan Joshua?). Gema ledakan produk ini, kita tahu, tak berumur panjang. Penyebabnya bukan karena popularitas Joshua lebih rendah dan pendek ketimbang Sherina, melainkan lantara produsennya tak mampu memenuhi permintaan pasar secara tepat waktu sehingga khalayak konsumen kecewa.

Pengalihan Curcuma Plus yang mulus ke pasar OTC justru membawa masalah yang berbeda — masalah yang positif. Para dokter jadi kehilangan obat andalan untuk penambah nafsu makan. Buat mengisi kekosongan di pasar ethical ini, pada 2006 Soho meluncurkan Curvit Syrup yang komposisi vitaminnya dibuat sedikit beda.

Lahirnya Curcuma Plus punya cerita tersendiri. “Idenya sebenarnya dari experience anak saya,” tutur Lukas. Ketika anaknya sakit, Lukas, yang juga dokter tapi tak pernah berpraktik sebagai dokter, membawa sang anak ke dokter. Salah satu resep yang diberikan adalah campuran Curcuma Tablet yang digerus, dijadikan puyer, dengan berbagai vitamin. “Dari situ saya jadi berpikir, kenapa tidak bikin curcuma plus vitamin dalam bentuk sirup saja.” Bentuk sirup, kita tahu, lebih mudah diterima oleh anak-anak.

Ketika dikemukakan di Soho, masih menurut Lukas, ide ini mendapat respons positif dari tim. Lalu, itu tadi, diluncurkanlah Curcuma Plus. “Tapi otaknya bukan saya,” lelaki yang gemar berolah raga ini buru-buru menambahkan. “Tim lebih banyak berperan di sini. Saya sekadar inisiatornya.”

Boleh jadi, kesediaan Lukas berbagi kredit dengan timnya inilah yang membuat orang-orang yang bekerja di bawahnya kian kreatif. Buktinya, sukses dengan Curcuma Plus dan Curvit segera disusul dengan produk berbasis ekstrak temulawak lainnya: Curliv dan Curliv Plus, suplemen hepatoprotektor yang selain memproteksi liver juga membantu penyembuhan penyakit organ yang berfungsi mengolah limbah metabolisme itu.

Kreativitas insan Soho di produk OTC lebih mengesankan lagi. Dalam rentang waktu singkat mereka meluncurkan Imboost (echinacea, 2000), Curcuma Plus DHA dan Prebiotik (2002), Curcuma Plus Emulsion (2005).

Produk yang disebut terakhir ini meruapakan varian temulawak dari emulsi minyak ikan yang langsung menggulung Scott’s Emulsion, andalan GlaxoSmithKline (GSK) yang di seluruh dunia menjadi pemimpin pasar di kategorinya. “Dalam volume, pangsa Scott’s hanya 6,7% tapi value share-nya 17,8%. Sementara, volume share Curcuma Plus Emulsion mencapai 29,4% dan value share-nya 30,6%,” ujar Lukas mengutip data AC Nielsen.

Masih kurang? Soho juga meluncurkan varian lain, termasuk Curcuma Plus Imun, Curmax, Curcuma Health Drink dan, yang teranyar, Curcuma Plus Susu.

“Saat ini produk berbahan baku temulawak itu telah menyumbang 30% lebih penjualan Grup Soho,” ujar Lukas bangga. Sebuah angka yang sangat besar mengingat penjualan gabungan Soho, Ethica, Parit Padang dan anak perusahaan lainnya itu, menurut Tan Eng Liang, pada 2008 mencapai Rp 2,6 triliun.

Menurut catatan sebuah lembaga riset independen, pada 2007 saja penjualan Curcuma Plus sudah Rp 109,07 miliar, melejit 44,3% dibanding pada 2006. Pada 2008, angka penjualan Curcuma Plus ini bisa dipastikan melejit lagi, karena per akhir September saja sudah mendatangkan Rp 104,77 miliar ke brankas Soho, 34,11% lebih tinggi ketimbang pada periode yang sama di tahun sebelumnya, dan bertahan di peringkat ke-11 jajaran produk obat OTC dengan penjualan tertinggi.

Dalam jajaran Top 20 Produk Obat OTC itu, Soho juga menempatkan Imboost di peringkat terhormat. Membukukan penjualan Rp 111,32 miliar (per 30 September), pionir kategori produk immunomodulator ini bahkan berkibar di posisi yang lebih tinggi ketimbang Curcuma Plus pada 2008: peringkat ke-8, melejit dari peringkat ke-10 pada 2007.

Di produk ethical, Soho tak menempatkan satu pun produknya di Jajaran Top 20. Kendati demikian, cengkeraman yang kuat di produk OTC telah cukup buat mengibarkan anak perusahaan andalan Grup Soho ini di peringkat ke-3 Jajaran Perusahaan Farmasi Terbesar Indonesia dengan penjualan total Rp 1,15 triliun (per 30 September 2008). Maklum, selain Curcuma dalam berbagai varian, Soho juga memiliki Laxing, Lelap, Diapet NR dan produk herbal lain yang pertumbuhannya rata-rata 20% per tahun dalam lima tahun terakhir ini plus beberapa produk nonherbal, termasuk Fitkom, yang penjualan dan pertumbuhan penjualannya tak kalah mencengangkan.

Apa kiat Soho mengelola pertumbuhan bisnis yang demikian tinggi dalam waktu yang demikian lama — lebih dari satu dasawarsa?

Rahasianya terletak pada pengelolaan SDM yang sungguh piawai. Dalam menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat, Grup Soho selalu mengupayakan promosi dari dalam. Baru, kalau kualifikasi yang dibutuhkan tak tersedia, mereka akan mengambil profesional dari luar. Untuk itu, rekrutmen dilakukan secara hati-hati agar budaya perusahaan yang mengedepankan kehati-hatian dan mengandalkan kerja tim tetap terjaga. Rekrutmen Lukas yang memiliki pengalaman pemasaran yang diperlukan Soho dan Andreas yang telah dikenal sejak lama oleh keluarga Tan sebagai eksekutif puncak Grup Soho mencerminkan hal ini.

Satu hal lain yang dijaga betul oleh Tan Junior agar budaya perusahaan yang kondusif terjaga baik adalah, dia sangat membatasi anggota keluarga yang bekerja di Grup Soho. “Sampai saat ini cuma saya dan seorang adik ipar yang di Soho,” ujarnya. Sebagai pemilik, Tan Junior menduduki kursi komisaris (utama), sementara itu suami salah seorang adik perempuannya itu tak menduduki jabatan yang cukup penting.

Agar SDM terpilih itu memberikan sumbangan maksimal, Grup Soho bukan cuma memberikan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Lebih dari itu, mereka menggenjot motivasi seluruh karyawan dan jajaran manajemen. Salah satunya dengan memberi kejutan yang menyenangkan seperti yang dilakukan di Kemayoran, pertengahan Desember tahun lalu.

“Waktu itu, semua karyawan sudah bisa menerima kalau perusahaan tidak memberikan hadiah seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka mengerti, ada krisis ekonomi,” tutur Andreas. “Itu sebabnya mereka surprised ketika ternyata semua mendapat Rp 1 juta.”

Pada 2007, masih menurut Andreas, Soho membawa karyawan jalan-jalan ke Pulau Dewata. “Mereka senang sekali, karena banyak di antara mereka yang belum pernah ke Bali bahkan banyak yang mengatakan bahwa naik pesawat saja belum pernah.” Dengan memberikan perhatian yang melebihi harapan ini, wajar kalau motivasi kerja insan Grup Soho terpompa kencang. “Kerja tim,” Andreas meyakinkan, “juga dirasakan semakin bagus.”

Lebih dari itu, seluruh insan Grup Soho mau berpartisipasi aktif dalam memajukan perusahaan. Manajemen Grup Soho sendiri mendorong partisipasi aktif ini. Pada pengembangan produk, misalnya, manajemen mengajak seluruh karyawan, dari tingkat terbawah sampai tertinggi, untuk sumbang saran memberikan merek produk tersebut.

Sumbang saran banyak orang inilah yang melahirkan merek-merek yang catchy sekaligus mendeskripsikan produk yang menyandangnya. Sebut saja Laxing (laxative, alias obat untuk melancarkan, mohon maaf, ngising atau buang air besar), Lelap (obat untuk membantu tidur pulas), Diapet (memang terdengar sama dengan miniatur mobil buatan Jepang, tetapi sangat pas buat meggambarkan khasiatnya yang bikin diare cepat mampet), Diapet NR (yang tak lain adalah Diapet yang ditambahi beberapa komponen sehingga dapat Nyerap Racun).

“Merek Laxing itu, dari seorang karyawan yang bukan bagian pemasaran,” tutur Lukas. “Untuk itu, dia diberi hadiah.”

Rasa memiliki dan motivasi kerja karyawan yang tinggi serta teamwork yang bagus jelas merupakan aset yang luar biasa bagi Grup Soho untuk terus lari kencang. Akan tetetapi untuk terus tumbuh 20% plus setelah besaran bisnis yang meraksasa — pada 2005 Soho telah masuk ke Top 10 Jajaran Perusahaan Farmasi Terbesar Indonesia, tepatnya di peringkat ke-8 — diperlukan strategi bisnis yang jelas dan terpadu.

Guna meningkatkan kinerja di semua lini bisnis — keuangan, operasional, pemasaran, inovasi dan pembelajaran — Tan Eng Liang yang mencari masukan dari beberapa konsultan memilih management tool terbaik: Balanced Scorecard (BSC). Dan, lebih dari ketika membangun infrastruktur TI, untuk manajemen yang sangat terkait SDM (yang dipandang sebagai inti dari strategi besar Grup Soho) ini, Tan Junior ngotot menggunakan penemu BSC sendiri, Robert S. Kaplan dan David P. Norton, sebagai konsultannya. Bahkan, dia sendiri yang mengontak kantor perwakilan Kaplan dan Norton di Australia.

“Terus terang, banyak sekali uang yang kami belanjakan untuk itu,” tutur Andreas. “Dan sampai sekarang pun (pengembangan) BSC masih kami lakukan.”

Biaya yang konon mencapai puluhan miliar itu sepadan dengan hasil yang diperoleh? Ya. Andreas meyakinkan, “Sejak BSC diterapkan pada pertengahan 2006, bisnis Soho tumbuh dua kali lipat dibanding pertumbuhan pasar.”

Maka, kalau pada 2006 Soho masih tertahan di peringkat ke-8, memasuki 2007 anak perusahaan andalan Grup Soho ini melejit ke peringkat ke-6, menyalip kampiun global sekaliber Pfizer dan Bayer Indonesia. Dan puncaknya, itu tadi, per akhir September 2008 meroket ke peringkat ke-3 dalam Jajaran Perusahaan Farmasi Terbesar Indonesia.

Tak heranlah, Soho memenangi BSC Award. Di Tokyo, pada 30 Oktober tahun lalu, Soho menjadi satu-satunya perusahaan Asia di luar Jepang yang memperoleh penghargaan bergengsi itu. “Yang lain perusahaan kelas dunia, seperti BMW, Ricoh, Wendy’s,” tutur Andreas yang segera menambahkan, “Namun, bukan berarti perusahaan yang tidak memperoleh BSC Award itu tidak bagus, mungkin mereka menggunakan metode (management tool) lain.”

Andreas yang wong Lasem itu agaknya sungkan meninggikan Soho, terutama terhadap perusahaan farmasi Indonesia lainnya. Pujian justru datang dari pihak luar. “Soho selalu melakukan inovasi,” ujar Asto Sunu Subroto. Dalam setiap langkahnya, masih menurut pengamat pemasaran dari Capricorn Mars Indotama ini, mereka terlihat elegan. Produk mereka ditata baik, didukung riset yang kuat dan komunikasi yang bagus. Mereka jeli membaca pasar.

Kejelian inilah yang menuntun Soho terjun ke obat herbal. Lalu, mereka fokus di situ. Selain itu, mereka juga taat azas. Kalau tak ada nilai tambah tertentu dalam suatu produk, mereka tak akan meluncurkan produk tersebut. Produk Curcuma dan Diapet, masih menurut analisis Asto, adalah buah sukses Soho dari ketaatan azas yang sangat.

Namun, dia mewanti-wanti, “Kalau ingin lebih cepat berkembang, Soho harus bisa bermain di distribusi.”

Asto melihat, Parit Padang hanya kuat di salah satu lini sehingga memerlukan distributor lain buat menambal kelemahannya. Dan ini tak gampang, karena, “Parit Padang masih satu keluarga dengan Soho.”

Apa itu kelemahan Parit Padang? Asto tak menyebutkan secara jelas, tetapi kemungkinan adalah dalam pendistribusian produk-produk konsumer dan non-ethical lainnya. Andrew sendiri mengakui, 50% produk yang didistribusikan Parit Padang masih berasal dari Soho dan Ethica, dan dia memperkirakan dua pertiga dari penjualan Grup Soho disumbang oleh produk ethical.

Dengan kata lain, sebagian besar produk yang didistribusikan Parit Padang adalah produk ethical. Sebab itu, mudah dimengerti kalau anak perusahaan distribusi Grup Soho ini piawai dalam mendistribusikan produk ethical. Apalagi, produk-produk awal Grup Soho, terutama dari Ethica yang merupakan anak perusahaan tertua, boleh dibilang seluruhnya ethical.

Yang masih jadi pertanyaan, apa betul kepiawaian distribusi produk ethical tersebut dengan sendirinya menunjukkan kelemahan distribusi produk consumer atau OTC?

Parik Padang yang memiliki 25 cabang dan 16 yang tersebar di seluruh Nusantara, masih menurut Andrew sang Direktur Pengelola, mendistribusikan produk dari 39 perusahaan, termasuk Soho dan Ethica. Dari 39 mitra bisnis tersebut, sebagian besar, 22, adalah produsen produk konsumer dan OTC. Dan prinsipal yang memercayakan distribusi produk konsumer dan OTC mereka kebanyakan adalah nama-nama besar, termasuk Nestle, Meiji, Jordan, Bausch & Lomb, Equal, Watchout, Roche, Pharos, Betadine dan Sosro.

Bukti lain dari kemampuan Parit Padang menangani distribusi produk consumer dan OTC adalah kenyataan bahwa mereka berhasil mengawal pertumbuhan luar biasa Curcuma Plus, Diapet dan sebangsanya sehingga tak mengalami nasib seperti Sakatonic ABC. Produk vitamin anak-anak yang meledak berkat dukungan Joshua ini, kita tahu, kehilangan momentum karena distributornya kehabisan napas ketika mencoba memenuhi permintaan yang meledak.

Akan mampukah Parit Padang terus mengawal pertumbuhan produk OTC yang mereka distribusikan, mengingat pertumbuhan produk herbal Soho saja mencapai 20%/tahun?

Andrew sangat yakin. Parit Padang memiliki keunggulan, salah satunya adalah penerapan BSC yang telah menjangkau ke operational level dan sampai ke seluruh cabang. Selain itu, dia juga percaya betul dengan kompetensi dan komitmen awak Parit Padang yang sekarang mencapai 1.700-an dan hampir semua minimal berpendidikan S-1. “Turnover karyawan kami tergolong sangat rendah,” ujarnya.

Kebetahan karyawan untuk tetap bergabung dalam jangka waktu lama ini di satu sisi mempermudah Andrew membangun barisan SDM yang mumpuni. Di sisi lain, kebetahan tersebut menunjukkan kepuasan mereka terhadap perusahaan. Karyawan yang puas, bisa diharapkan, akan berupaya lebih maksimal memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan atau mitra bisnis, termasuk mendukung pertumbuhan mereka.

Kalaupun tak dapat sepenuhnya mengejar, secara tersirat Andrew mengisyaratkan kemungkinan mengikuti langkah yang sudah jadi tren. “Kami bisa saja menggunakan tenaga outsourcing, misalnya di cabang baru,” ujarnya. “Namun, kalau terkait dengan pelayanan terhadap pelanggan dan komitmen pegawai, kami tetap lebih memilih untuk menangani dengan tenaga langsung daripada menggunakan tenaga outsourcing.”

Kalau, katakanlah, dengan satu dan lain cara Parit Padang mampu mengawal pertumbuhan Soho (dan Grup Soho), mampukah bintang baru industri farmasi Indonesia ini menyalip Sanbe Farma (dan Grup Sanbe), lalu Kalbe Farma (dan Grup Kalbe) untuk berkibar di peringkat puncak?

Mari kita lihat. Herbal yang jadi produk andalan Soho punya potensi pasar yang besar dan belum tergarap. Kendati demikian, tak banyak herbal yang memiliki karakteristik “ideal” seperti temulawak — dikenal luas masyarakat, dipercaya manjur untuk mengobati berbagai penyakit yang banyak diderita masyarakat, rasanya tak terlalu mengganggu. Bahkan, daun jambu hanya dikenal sebagai antidiare doang, walau mencret-mencret merupakan penyakit tropis yang penderitanya sangat banyak di Indonesia, yang termasuk Negara Dunia Ketiga.

Selain itu, tak banyak pula herbal yang bisa diposisikan sebagai penangkal ampuh penyakit atau keadaan yang mengancam orang banyak secara berkala, seperti Imboost. Sukses pasar herbal impor yang berfungsi sebagai immunomodulator ini, diakui atau tidak, adalah berkat ketakutan masyarakat terhadap wabah demam berdarah yang (terutama di musim hujan) selalu mengancam. Kenyataan bahwa produk lain (Pocari Sweat, misalnya) yang dipersepsikan dapat meredam keganasan demam berdarah juga membukukan penjualan selangit dibanding produk sejenis yang tidak memperkuat tesis ini.

Jadi, walau potensinya besar, produk herbal yang bisa diharapkan Curcuma Plus, Imboost dan Diapet masa depan sangat terbatas. Dengan demikian, jika ingin menyalip Sanbe (yang penjualannya telah jauh menembus Rp 1,5 triliun), apalagi Kalbe (yang penjualannya telah menembus Rp 2 triliun), Soho harus melakukan lompatan kuantum di segmen yang lebih besar lagi. Dan ini bukan perkara mudah. Maklum, pasar analgetik dan obat flu yang luar biasa besar itu telah dijejali oleh Bodrex (Tempo Scan), Paramex (Konimex), Mixagrip (Dankos), Neo Rheumacyl (pereda nyeri rematik, Tempo Scan) yang tak tergoyahkan. Lalu, pasar obat nyeri lambung telah dikuasai Promag (Kalbe), pasar vitamin didominasi Calcium D Redoxon (Bayer) dan Neurobion (Merck).

Cara tergampang untuk cepat bongsor adalah dengan memenangi sebanyak mungkin lisensi produk blockbuster. Meski demikian ini pun tak seperti membalik telapak tangan, karena produk yang meledak di pasar dunia itu, apalagi milik perusahaan multinasional yang tak punya perwakilan di Indinoesia, sangat langka — sehingga kalaupun ada, harus berebut dengan para kampiun industri yang telah lebih dulu dipercaya, terutama dari Grup Kalbe.

Menggenjot produk ethical? Soho harus berhadapan dengan Sanbe yang produknya telah jadi favorit para dokter di Tanah Air. Menggeber pasar ekspor? Tak mudah mengalahkan para kampiun industri farmasi India, walau ekspor Soho ke beberapa negara Afrika dan Timur Tengah sekitar 1% dari penjualan total. Membesarkan produk penunjang kesehatan, misalnya yang berbasis susu? Ada Grup Kalbe yang telah jauh lebih dulu menancapkan kuku.

Artinya, tak ada harapan bagi Soho (dan Grup Soho) untuk jadi numero uno? Tentu saja masih ada, asalkan mereka dapat merebut pasar yang cukup besar di seluruh segmen nonherbal yang disebut di atas itu. Mungkin inilah yang dimaksud Asto dengan, “Soho perlu memperbaiki basis inovasi.” Mereka perlu memperluas inovasi itu, mencari mesin-mesin pertumbuhan baru beyond produk herbal.

Untuk itu, Soho harus sekali lagi berani melakukan apa yang disebut Joseph Schumpeter dengan creative destruction. Rekonstruksi besar terhadap basis sukses sekarang yang belum tentu cocok dengan kenyataan di masa mendatang ini amat-sangat sulit, walau tidak mustahil dilakukan. Apalagi sejak dulu, mengambil istilah Asto, “ketaatan terhadap azas” telah jadi DNA Soho. “Biasanya,” ujar Asto, “perusahaan yang taat azas sukar jadi industri besar.”

Apakah keberanian untuk mendobrak pakem selama ini menjamin sukses? Belum tentu juga. Tak sedikit perusahaan yang malah terjerembap ketika mengupayakan lompatan yang kelewat jauh.

Salah satu kendala yang berpotensi menghadang sukses Soho melakukan lompatan di luar pakem adalah, itu tadi, tembok persaingan yang telanjur kokoh. Kecil kemungkinan merebut pasar yang cukup signifikan di satu kategori produk, Soho harus membuka medan pertempuran di beberapa front sekaligus agar hasilnya secara total besar. Upaya yang tak bisa fokus ini, pada gilirannya, sulit pula diharapkan hasilnya.

Namun, buat Grup Soho, ruang untuk bermanuver terbuka jauh lebih luas. Menduduki peringkat ke-6 dalam Jajaran Perusahaan Distribusi Produk Farmasi Terbesar, Parit Padang saja punya cukup ruang untuk tumbuh jauh lebih besar, termasuk dengan menarik lebih banyak prinsipal akbar.

Yang lain? Secara umum Grup Soho bisa memperluas diri ke hulu maupun hilir dari bisnis atau produk yang telah dikuasai. Terkait dengan distribusi, misalnya, mereka bisa masuk ke ranah ritel. Dan ekspansi ini memang telah dilakukan melalui Global Ritel Inti, anak perusahaan terbaru yang mengusung merek Harmoni untuk jaringan apotek yang akan mereka kembangkan. “Sekarang baru ada satu apotek. Itu, di situ,” ujar Andreas sambil menunjuk ke luar dalam wawancara di kantornya.

Ke hulu, Grup Soho bisa masuk ke sektor agrobisnis — membuka kebun tanaman obat yang digunakan sebagai bahan baku berbagai produk herbal Soho. “Ya, siapa tahu?” ujar Andreas yang hanya mengatakan bahwa kelompok usaha yang dikomandaninya telah memiliki strategi jangka panjang yang jelas. “Kami punya Vision 2015 yang penyusunannya dibantu para konsultan BSC.”

Reportase: Yuyun Manopol, Kristiana Anissa, Sigit A. Nugroho

Kiat di Balik Lompatan Kuantum Soho

Grup Soho telah mentransformasikan diri sejak 1997. Inilah strategi besar yang memungkinkan kelompok usaha yang sebelumnya sangat tradisional itu melakukan lompatan kuantum:
Mengembangkan infrastruktur TI yang canggih. Kepioniran Grup Soho menjadi perusahaan farmasi pertama di Indonesia dengan distribusi yang menerapkan sistem online real-time inilah yang memungkinkan mereka mengelola penjualan yang meledak.
Masuk ke produk herbal yang belum banyak digarap perusahaan farmasi lain. Dengan menghindari pasar yang persaingannya berdarah-darah dan menciptakan kategori baru yang segar, Grup Soho mendapat mesin-mesin pertumbuhan yang memungkinkan penjualan melejit rata-rata 20% per tahun, setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Melakukan pembenahan terpadu manajemen perusahaan. Untuk pengembangan faktor inti dari strategi besar yang diluncurkan, Grup Soho menggunakan management tool yang diyakini terbaik, Balanced Scorecard (BSC) — langsung di bawah bimbingan penggagasnya, Robert S. Kaplan dan David P. Norton, sebagai konsultan.
Mempertahankan terus dan mengembangkan budaya perusahaan yang mengandalkan kehati-hatian dan mengedepankan kerja tim. Agar budaya perusahaan yang ditanamkan pendiri dan terbukti kondusif ini terjaga, Grup Soho sedapat mungkin mengupayakan promosi dari dalam. Kalaupun terpaksa diambil dari luar, dipilih betul eksekutif bertipe team builder, utamanya yang telah dikenal lama. Selain itu, mereka juga membatasi anggota keluarga yang bekerja di Grup Soho.
Mengupayakan secara maksimal kepuasan pelanggan dengan memuaskan pelanggan internal. “Tugas utama kami memotivasi karyawan,” ujar Andreas Halim Djamwari, Presdir Grup Soho. Caranya? Dengan memberi karyawan lebih dari yang mereka harapkan (misalnya, hadiah kejutan Rp 1 juta untuk setiap insan Grup Soho) dan mendorong mereka berpartisipasi aktif dalam memajukan perusahaan (antara lain, dengan lomba memberikan nama produk baru yang berhadiah menarik). (Swa.co.id)