Tempo menceritakan betapa, pada 5 Maret 2007, ruang rapat Komisi Kesehatan DPR RI DPR RI seolah-olah berubah jadi ruang sidang bagi Husniah Rubiana Thamrin Akib dan jajaran Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang dipimpinnya.
Resminya, “penyidangan” di Senayan siang itu adalah Rapat Dengar Pendapat. Namun, yang terjadi, selama empat jam para anggota parlemen yang terhormat melontarkan interupsi, suara keras, dan tudingan pedas. Ketua Komisi Kesehatan Ribka Tjiptaning mempertanyakan alasan Badan POM tak menarik infus Otsuka dari pasar. “Cairan itu bisa membahayakan penggunanya,” ujar politisi PDI Perjuangan ini.
Kolega Ribka dari Golkar, Mariani Akib Baramuli, lebih lugas lagi. Dia memaksa Badan POM merekomendasikan hanya satu merek cairan infus: buatan Sanbe Farma. “Kalau memang ada yang lebih baik, kenapa tidak digunakan?” katanya seperti dikutip Tempo.
Ya, ini memang bukan berita baru. Kendati demikian, yang dilakukan komisi resmi lembaga tinggi negara itu adalah suatu hal yang sama sekali baru di negeri tercinta ini. Sebelumnya, selama puluhan tahun, tak pernah terdengar ada wakil rakyat begitu antusias memilihkan kita — rakyat yang mendudukkan mereka di kursi terhormat — sebuah merek untuk kita konsumsi.
Pengarahan DPR untuk menggunakan produk infus Sanbe bahkan telah dilakukan secara terbuka beberapa bulan sebelumnya. Pada awal Oktober 2006 Ribka sudah bicara kepada pers, hanya infus yang dipanaskan pada suhu 121 derajat yang steril. Lain dari itu tak steril, dan berbahaya. Masalah ini lalu diangkat sebagian besar anggota Komisi Kesehatan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Badan POM, pada 16 Januari 2007. Di situ, mereka memaksa Badan POM mencabut izin produk Otsuka yang dinilai tidak steril dan menariknya dari pasar.
Badan POM tak melakukannya karena tidak ada alasan untuk itu. Akan tetapi, pada 28 November 2006, otoritas pengawasan obat dan makanan ini memerintahkan penghentian produksi tiga jenis infus Otsuka: normal saline, ringer lactate, dan sterile water for irrigation. Mereka baru memproduksi ketiga infus itu kembali pada awal Mei 2007, setelah mengubah metode sterilisasinya menjadi 112 derajat Celcius selama 65 menit (sebelumnya 102 derajat Celcius selama 45 menit). Itulah sebabnya, ketika banjir melanda dua pertiga wilayah Jakarta dan rumah sakit kebanjiran pasien — yang umumnya terserang diare atau demam berdarah — PT Merapi Utama Pharma, distributor PT Otsuka Indonesia, tak mampu menyediakan infus pengganti cairan tubuh itu dalam jumlah yang cukup.
Pemasok lain memang ada yang menyediakan infus yang langka tersebut, salah satunya Sanbe, tetapi harganya hampir dua kali lipat produk Otsuka. Maka, kebanyakan rumah sakit lalu memburu infus impor: Euromed (buatan Filipina) dan B Braun (merek Jerman dan dibuat di Malaysia) yang, di tingkat distributor, harganya setara dengan infus Otsuka. Ironisnya, kedua infus impor ini menggunakan proses sterilisasi bioburden seperti yang digunakan Otsuka. Di Asia Tenggara, perlu dicatat, hanya Sanbe yang menggunakan metode sterilisasi overkill — pemanasan 121 derajat Celcius selama 15 menit.
Pihak Sanbe sendiri mengakui hal ini dalam sebuah kesempatan ketika, pertengahan Januari lalu, meresmikan pabrik infus mereka di Padalarang. Jahja Santoso memaparkan, keunggulan produk infus Sanbe terletak pada teknologi yang digunakan, sistem sterilisasi 121 derajat Celcius selama 15 menit itu tadi. “Teknologi ini merupakan yang pertama dan satu-satnya di Asia Tenggara,” ujar CEO Sanbe itu bangga.
Sanbe dapat menerapkan metode suhu tinggi tersebut karena menggunakan softbag berbahan campuran (polietilena, polipropilena, poliester) yang tahan panas sebagai pengemas produk infusnya. Otsuka dan produsen infus lainnya di Asia Tenggara menggunakan botol plastik (plabottle) berbahan polietilena yang akan meleleh pada suhu tinggi sehingga harus menggunakan sterilisasi dengan suhu yang lebih rendah, 102 derajat Celcius selama 45 menit. Namun, tak seperti metode overkill yang melakukan hantaman mematikan pada tahap akhir proses, Otsuka dan lain-lain itu melakukan pengendalian jumlah mikroba sejak tahap awal. Dengan demikian, infus yang dihasilkan tak pernah memberikan masalah sejak diperkenalkan puluhan tahun silam.
Tak mengherankan, antusiasme anggota DPR untuk menyapu produk yang tak bermasalah dan menggantinya dengan produk baru yang jelas lebih mahal (walau konon lebih baik) lalu memantik rumor miring. Kendati demikian, sejauh ini tak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Sanbe yang membuat sementara anggota parlemen itu hiperaktif untuk mengarahkan kita semua, termasuk masyarakat miskin yang pemeliharaan kesehatannya dibiayai negara melalui Askeskin, untuk beralih produk infus hanya karena proses sterilisasinya yang lain dari yang lain. Sebab itu, kita tak boleh berburuk sangka.
Sanbe memang misterius. Di antara perusahaan farmasi besar di Indonesia, kampiun industri yang satu ini paling tertutup. Para eksekutif puncak perusahaan keluarga ini hampir tak pernah bersedia diwawancara. Bahkan, ketika mereka mengundang wartawan untuk peresmian pabrik infus pada pertengahan Januari lalu itu, tak satu pun direksi bersedia diwawancara dalam konferensi pers. Ditambah sifat bisnisnya yang terutama bergerak di produk ethical — obat-obatan yang dijual dengan resep dokter, sehingga “tertutup” dari jangkauan pengetahuan masyarakat luas — sikap yang sangat tertutup itu menyuburkan berbagai teori konspirasi di benak banyak orang.
Apalagi, bisnis Sanbe sangat sukses. Selama bertahun-tahun mereka berkibar di peringkat puncak jajaran perusahaan farmasi terakbar di Indonesia, dan baru tersalip jadi No. 2 setelah Kalbe Farma melakukan merger internal terbesar dalam sejarah bisnis di Nusantara. Pohon yang menjulang ke langit, kita tahu, mengundang badai.
Didirikan di Bandung oleh Jahja Santoso dan saudara sekandungnya pada 1975, Sanbe (yang konon merupakan kependekan “Santoso Bersaudara”) tak memerlukan waktu kelewat lama untuk merajai industri farmasi di Indonesia. Pada 1998, bahkan mungkin lebih awal dari itu, mereka sudah menempati posisi peringkat ke-2 di antara perusahaan-perusahaan farmasi terbesar di Tanah Air. Waktu itu mereka membukukan penjualan Rp 257 miliar — hanya kalah dari Kalbe Farma yang dengan portofolio produk lebih lengkap meraup penjualan Rp 330 miliar.
Tak lama kemudian, menjadi perusahaan farmasi pertama yang menembus penjualan Rp 1 triliun — tepatnya, menurut data dari sebuah lembaga internasional independen, Rp 1,07 triliun — Sanbe merebut peringkat puncak. Ketika itu, pada 2002, Kalbe membukukan penjualan yang jauh di bawahnya, Rp 859 miliar.
Sejak itu, posisi Sanbe di peringkat puncak tak tergoyahkan sampai, itu tadi, Kalbe (KLBS) melakukan merger dengan dua perusahaan publik lain di lingkungan kelompok bisnisnya, Dankos Laboratories dan Enseval Putera Megatrading, pada 2006. Bersamaan dengan itu, penjualan Sanbe anjlok jadi Rp 1,33 triliun dari Rp 1,83 triliun. Kalau Sanbe berhasil mempertahankan penjualannya, lompatan penjualan Kalbe dari Rp 1,42 triliun menjadi Rp 1,58 trilun tentu belum cukup untuk merebut posisi puncak.
Apa rahasia Sanbe sehingga bisa sekian lama memecundangi KLBS yang dikenal sangat inovatif serta memiliki riset dan pengembangan andal, portofolio produk lengkap dan segudang merek yang kuat?
Jawabnya sederhana: Sanbe merajai pasar ethical. Padahal, pangsa produk farmasi yang penjualannya harus melalui peresepan oleh dokter ini menempati porsi terbesar, hampir 70%, dari penjualan total produk farmasi di Indnonesia yang, pada 2006, tercatat Rp 23,17 triliun.
Jadi, boleh saja Sanaflu kalah dari Mixagrip dan Procold (keduanya dari Grup Kalbe) atau Paramex (Konimex) — bahkan bertekuk lutut di hadapan obat flu bikinan perusahaan farmasi papan bawah (pernah dengan nama Supra Ferbindo?) yang dijagokan seorang dalang kondang, Oskadon. Boleh saja Neosanmag tak ada apa-apanya dibanding Promag. Juga, biar saja produk obat bebas (over the counter, OTC) yang menyandang identitas “San” tak ada yang masuk jajaran Top 100 Produk Farmasi. Dengan mendominasi pasar produk ethical yang lebih gemuk, Sanbe tetap mampu berkibar di puncak.
Kita lihat saja. Di jajaran Top 15 Produk Ethical pada 2006, Sanbe menempatkan empat produk — Cefat (peringkat ke-5), Amoxsan (ke-7), Baquinor (ke-13), dan Taxegram (ke-13) — lebih banyak dibanding perusahaan farmasi mana pun.
Dilihat dari peringkat produknya yang paling tinggi cuma ke-5, prestasi Sanbe di produk ethical mungkin tak kelewat mengesankan. Namun, kalau dianalisis lebih dalam, ceritanya akan lain. Cefat yang sekadar “generik bermerek” itu hanya kalah dari produk blockbuster kelas dunia (Norvask dan Lipitor, andalan Pfizer, yang masing-masing di peringkat ke-1 dan ke-3), obat generik berlogo (OGB) yang murah (Amoxycillin dari Indofarma, peringkat ke-2), dan produk klasik yang sejak lama dikonsumsi bebas oleh kalangan menengah-bawah (Supertetra, peringkat ke-4).
Posisi Cefat yang “cuma” ke-4 ini menjadi lebih dapat dimaklumi lagi kalau kita melihat peringkat pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2005, produk Sanbe yang mengandung bahan aktif cefadroxil ini berkibar di peringkat puncak dengan penjualan Rp 137,36 miliar, meningkat dari Rp 114,99 miliar (peringkat ke-2) pada tahun sebelumnya. Jadi, jatuhnya Cefat ke peringkat ke-5 juga disebabkan anjloknya penjualan obat ini menjadi hanya Rp 86,58 miliar, atau lebih kecil ketimbang penjualan pada 2003 yang Rp 90,55 miliar (peringkat ke-3) dan hanya sedikit lebih tinggi dibanding pada 2002 yang Rp 78,01 miliar (peringkat ke-4).
Kehebatan Sanbe di kategori obat ethical tecermin pula pada keberhasilan mereka menjajakan Amoxsan. Selama bertahun-tahun produk yang satu ini selalu jadi best seller dalam kategorinya, bahkan sendirian di antara obat generik bermerek berbahan aktif amoxycillin yang masuk ke jajaran Top 100 Produk Farmasi. Padahal, amoxycillin adalah antibiotik yang pemakaiannya tertinggi di Indonesia.
Masih kurang? Strategi ethical Sanbe juga berhasil menempatkan Sanmol — yang sebetulnya dapat dipasarkan sebagai OTC — di jajaran Top 100 Produk Farmasi, yaitu di peringkat ke-76.
Memang, penjualan Sanmol masih kalah dibanding Panadol (peringkat ke-44), apalagi Bodrex (peringkat ke-4). Ini wajar, karena kedua produk pesaing yang juga berbahan aktif parasetamol itu dipasarkan sebagai OTC yang didukung promosi besar dan dibanderol dengan harga lebih rendah. Patut dicatat pula, Panadol adalah produk originator dan Bodrex telah dikenal sejak 1970-an, ketika komposisinya masih APC (acetosal, phenacetine, caffeine).
Selain itu, walau nilai penjualannya lebih kecil, belum tentu laba yang diraup Sanbe dari Sanmol lebih rendah ketimbang yang dinikmati GlaxoSmithKline maupun Tempo Scan, masing-masing dari Panadol dan Bodrex. Bagaimana tidak. Dipasarkan sebagai produk ethical, Sanbe bisa membanderol Sanmol dengan harga yang lebih tinggi dan mempromosikannya dengan biaya lebih rendah, karena tak perlu pasang iklan mahal di TV dan media massa lainnya.
Harus diakui, di sinilah kepiawaian Sanbe: memproduksi obat yang relatif murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Dari segi reputasi, seperti yang ditunjukkan oleh hasil survei SWA, Sanbe tak banyak beda dari perusahaan farmasi (nasional) lainnya.
Laiknya PMDN farmasi, Sanbe lebih banyak mengeluarkan obat me-too, alias versi generik dari obat yang telah habis masa patennya yang lalu diberi merek dagang. Kalangan perusahaan farmasi di Indonesia — sekali lagi, yang lokal — cenderung memosisikan produk semacam ini sebagai “obat paten” (mungkin karena mereknya didaftarkan di kantor paten), walau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “branded generic”, alias obat generik bermerek itu tadi.
Perusahaan farmasi lokal lainnya tentu juga banyak yang mengayun strategi generik bermerek. Agar obat yang sebenarnya biasa-biasa saja bisa dibanderol tinggi tanpa diketahui konsumen awam, branded generic biasanya dipasarkan sebagai obat ethical (tak peduli obat tersebut sebenarnya boleh dijual tanpa resep dokter).
Mengapa? Ada beberapa penyebabnya, yang saling berkait.
Produk yang dipasarkan sebagai obat ethical tak perlu bersaing secara bebas memperebutkan perhatian konsumen akhir yang umumnya sensitif terhadap harga, tetapi cukup merebut hati dan pikiran kalangan medis yang memilihkan konsumer akhir obat mana yang mesti mereka konsumsi — terutama para dokter. Di negeri ini, jumlah konsumen akhir mencapai puluhan juta atau lebih, sementara populasi dokter hanya 40-an ribu (dan mereka yang menentukan obat mana yang harus tersedia di rumah sakit, klinik, puskesmas paling hanya berbilang ratusan).
Anda bisa perkirakan sendiri mana yang lebih mahal, mempromosikan sebuah produk ke puluhan juta anggota masyarakat yang setiap saat dibombardir segala macam info atau ke beberapa puluh ribu orang yang memang punya perhatian terhadap kategori produk yang ditawarkan. Lebih dari itu, karena kalangan medis yang memilihkan obat itu tak harus merogoh koceknya sendiri — bahkan bisa mendapat fulus dari pilihan yang diberikan — mereka tak kelewat peduli dengan banderol harga yang tinggi.
Kalangan apotek juga happy dengan harga obat yang tinggi. Mengutip laba dalam persentase, semakin tinggi harga obat makin banyak fulus yang bisa ditangguk. Apalagi jika obat tersebut best seller, fulus yang masuk akan deras. Buat menjadikan produknya best seller, merebut hati orang-orang yang menentukan pemilihan obat.
Di Indonesia, kekuasaan dokter memilihkan obat mana yang harus dibeli konsumen akhir sangatlah besar. Sebab, bahkan apotek (yang secara teknis dikelola apoteker, tenaga medis yang mungkin lebih mengerti tentang obat ketimbang dokter yang lebih mendalami diagnosis penyakit dan pengobatannya) pun tak boleh mengganti merek obat yang tercantum dalam resep tanpa izin dokter penulis resep. Aturan main yang membuat pasar kian asimetris ini jelas meningkatkan daya tarik para dokter sebagai intermediary dalam perdagangan obat.
Nah, di antara 200-an perusahaan farmasi di Indonesia, Sanbe yang paling berhasil merebut simpati kalangan dokter sehingga banyak di antara profesional yang terikat sumpah untuk memberikan yang terbaik kepada pasien tersebut dengan senang hati meresepkan produk Sanbe, walau harganya termasuk mahal. Seberapa mahal? SWA membandingkan 8 produk Sanbe yang masuk jajaran Top 100 Produk Farmasi dengan produk sejenis dari pesaing lokal yang sekaliber (Kalbe Farma, Dankos, Dexa Medica, Ferron, atau Tempo Scan Pacific), originator (korporasi multinasional pemegang paten awal), pesaing lokal yang lebih kecil (Phapros, Kimia Farma, Interbat, Soho, atau Hexpharm), dan OGB (Indofarma atau Hexpharm).
Hasilnya, empat dari produk best seller Sanbe — dua tergolong obat keras Daftar G (Cefat, Baquinor) dan dua lagi obat yang boleh dijual bebas (Sanmol dan Neurosanbe yang tergolong obat bebas Daftar B atau bebas terbatas Daftar W) — tergolong mahal, bahkan termahal, dibanding produk pesaing lokal. Sementara itu, empat produk best seller lainnya (Amoxsan, Claneksi, Taxegram, Terfacev) tergolong tidak mahal. Lalu, dibanding produk originator, harga produk Sanbe tersebut sebagian besar cukup rasional: Sebagian besar kurang dari 50% harga produk penyandang paten, dan hanya tiga produk (Amoxsan, Sanmol, Neurosanbe) yang mencapai lebih dari 70% harga produk penyandang paten.
Dengan demikian, produk Sanbe umumnya dibanderol lebih murah, yaitu 50%- 80% produk originatornya. Dibanding produk generik yang tak diberi merek dagang, produk best seller Sanbe tersebut dibanderol 4-10 kali lipat OGB masing-masing.
Apakah produk Sanbe — juga perusahaan farmasi lokal lainnya — tersebut kelewat mahal?
“Istilah mahal di sini (dalam hal obat) relatif sekali,” ujar Ahmad Fuad Afdhal. “Mahal untuk siapa, obat yang bagaimana?” Komisaris Independen PT Indofarma ini lalu memberi ilustrasi, “Ada dua obat yang harga satuannya mahal, tapi kalau makan sekali tiga hari sudah sembuh. Obat yang lebih murah, tapi satu bulan baru sembuh. Jadi, bagaimana?”
Seperti sebagian besar narasumber yang diwawancara SWA untuk menggali strategi bisnis Sanbe, jawaban Fuad Afdhal cenderung sumir. Kendati demikian, dia meyakinkan bahwa obat generik sekarang sudah cukup murah. Lalu, dia mewantiwanti untuk membandingkan secara apple to apple.
Bisakah produk perusahaan farmasi lokal kita, termasuk dari Sanbe, dibandingkan apple to apple dengan OGB dan produk originator?
Semua produk perusahaan farmasi lokal kita, kecuali beberapa fitofarmaka, adalah produk me-too. Alhasil, kalau sama-sama menggunakan bahan aktif yang memenuhi syarat, boleh dibilang tak ada bedanya antara OGB dan yang dibubuhi merek. Apakah harga yang dibanderol sampai 10 kali lipat OGB hanya karena menyandang merek terbilang wajar? Bagaimana jika harganya dibanderol 4 kali lipat OGB? Silakan Anda jawab sendiri.
Terhadap originator, sampai saat ini belum ada aturan yang betul-betul mengikat bahwa obat-obat me-too harus dibuktikan setara “khasiatnya.” Persyaratan bioavailabilitas/bioekivalen (BA/BE) baru berlaku pada 2008. Dengan demikian, produk me-too yang telah diluncurkan cukup lama tersebut — yang hanya diberi logo maupun yang dibubuhi merek dagang — belum tentu setara kualitasnya dengan produk originator. Apakah harga yang dibanderol 50%-80% obat originator terbilang wajar? Silakan Anda jawab sendiri.
Apa pun jawaban Anda, strategi produk dan harga Sanbe di atas kertas ternyata tak beda dari yang diayun perusahaan farmasi lokal lainnya. Anda bisa menemukan sendiri buktinya dengan mempelajari beberapa referensi resmi seperti MIMS.
Akan tetapi, tunggu dulu. Kalau Anda membuka-buka MIMS yang diterbitkan setelah pertengahan 2005, Anda tak akan menemukan secuil pun data tentang Sanbe, seolah-olah perusahaan ini telah lenyap ditelan bumi. Apakah Sanbe demikian sakti hingga bisa membuat sebuah lembaga survei independen internasional tak memublikasikan data yang terkait dengan Sanbe?
Sulit dipastikan. Sebab, tak satu pun petinggi Sanbe, termasuk Jahja Santoso, bersedia meluangkan waktu untuk tulisan ini.
Untuk mengungkap lebih dalam strategi harga Sanbe, SWA melakukan survei ke beberapa apotek di Jakarta. Ini perlu karena sejak 2005, terutama pada 2006, terjadi banyak perubahan di dunia farmasi nasional. Menteri Kesehatan memangkas harga 80-an OGB dan mengimbau agar perusahaan farmasi nasional menurunkan harga produk me-too mereka sehingga maksimal hanya 4-5 kali lipat OGB.
SWAmenemukan, harga produk generik bermerek yang telah disebut di atas meningkat terhadap OGB (karena harga OGB yang turun), tetapi cenderung stabil terhadap produk originatornya. Kekecualian terjadi pada produk berbahan aktif amoxycillin. Amoxsan merebut posisi Kalmoxillin sebagai yang termahal setelah Kalbe menurunkan harga produknya itu.
Di antara perusahaan farmasi besar nasional, tercatat hanya Kalbe yang merespons imbauan untuk menurunkan harga produknya seiring dengan penurunan OGB. Namun, harga obat Kalbe yang diturunkan (secara berarti) juga hanya Kalmoxillin itu.
Yang dilakukan Sanbe? Sesuatu yang menarik disimak: kampiun industri farmasi asal Bandung ini mengalihkan Amoxsan, salah satu tambang duit miliknya, ke PT Caprifarmindo Laboratories. Didirikan secara resmi pada Maret 1994, Caprifarmindo sekarang dikuasai sebuah perusahaan investasi yang berkedudukan di Singapura.
Langkah ini dilakukan buat mengantisipasi kebijakan pemerintah yang (diperkirakan akan) terus menuntut penurunan harga obat? Jawabnya, seperti kata sebuah iklan, “Mei” — mei bi yes, mei bi no…
Satu hal yang pasti, Sanbe sangat jeli melihat peluang dan tantangan pasar. Pada tahun-tahun awal perjalanan bisnisnya, Sanbe banyak menggarap pasar pemerintah. Waktu itu, belum ada yang namanya otonomi daerah, penyediaan obat untuk seluruh puskesmas (juga rumah sakit pelat merah, untuk obat-obat tertentu), dilakukan secara tersentralisasi. Di zaman (pemerintah memiliki dana yang cukup) berkelimpahan itu, perusahaan farmasi cukup berurusan dengan segelintir orang di Jakarta untuk memenangkan tender pemerintah.
Pada 1980-an itu Sanbe termasuk perusahaan swasta yang paling sukses menyalurkan produknya ke puskesmas dan rumah sakit. Sukses ini membuat Amoxsan, Sanmol, dan sebangsanya jadi dikenal oleh para dokter. “Dulu itu, (rumah sakit) swasta ambil obatnya juga di (rumah sakit) negeri,” tutur Kartono Muhamad. Lalu, masih kata mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia ini, “Setelah nama Sanbe dikenal oleh para dokter di rumah sakit sampai ke tingkat daerah, dokterlah yang ganti didekati.”
Meski demikian, Kartono meyakinkan, semua perusahaan juga melakukan pendekatan agar produknya diresepkan dokter. Jadi, sungguh hebat kalau di antara puluhan (bahkan ratusan) perusahaan farmasi yang ada di Tanah Air, Sanbelah yang paling sukses merebut hati kalangan medis itu. Penjualan Sanbe melejit, walau mereka tak pernah mengiklankan produknya, melakukan promosi di pameran-pameran yang diselenggarakan kalangan kedokteran, atau jadi sponsor seminar ilmiah kedokteran. Ruarr biasa.
Loyalitas yang ditunjukkan seorang dokter yang bekerja di sebuah perusahaan farmasi lain mungkin bisa menggambarkan keluarbiasaan Sanbe. Di perusahaan farmasi yang terkenal dengan produk KB-nya itu — dan tak memiliki produk antibiotik, analgesik, dan obat lain yang lazim digunakan untuk penyakit biasa — dia selalu meresepkan produk Sanbe. Para karyawan yang jadi pasiennya, walau telah berupaya meyakinkan untuk meresepkan obat yang betul-betul paten, bukan sekadar generik bermerek, tak pernah mampu menggoyahkan sang dokter perusahaan. Jangan heran, dia lalu dijuluki Dokter Sanbe Ong.
Pendekatan dengan uang, kalau benar perusahaan farmasi melakukannya, bukanlah hal yang gampang. Maklum, uang yang diberikan ke mereka yang bersedia menerimanya dengan imbalan penulisan resep — dalam bentuk apa pun — bisa dipastikan tanpa kuitansi, apalagi dokumen perjanjian legal. Tanpa bukti apa pun, uang panas itu rawan manipulasi. Tanpa sistem kontrol yang kuat, perusahaan farmasi itu sendiri akan kebobolan oleh medical representative (med rep)-nya yang nakal.
“Kalau kita memberikan hadiah berharga ke orang lain, tentu akan tergoda untuk ikut menghadiahi diri sendiri. One for you, one for me,” ujar seorang eksekutif perusahaan farmasi yang perusahaannya pernah kebobolan oleh orang-orangnya sendiri dan sekarang tengah berupaya mengembalikan orientasi pemasarannya yang tadinya “kelewat memanjakan dokter.”
Sanbe memiliki organisasi yang unik. Setiap cabang mereka, menurut Simon Jonatan, bukan hanya dilengkapi dengan barisan med rep, melainkan juga orang-orang finance yang setiap saat bisa turun melakukan audit langsung. Sebelum mendirikan Brandmaker Indonesia, dia pernah malang-melintang di pemasaran produk farmasi — termasuk membidani Extra Joss dan Irex.
Organisasi pemasaran Sanbe memang orisinal. “Saya juga heran ketika pertama kali bergabung dengan Sanbe. Kenapa ada auditornya di cabang-cabang, kenapa mesti dilakukan audit internal terhadap para med rep?” tutur eksekutif lain yang juga pernah malang-melintang di beberapa perusahaan farmasi.
Kontrol ketat yang dilakukan belum tentu bisa menutup semua lubang yang memungkinkan kebocoran. Untuk itu, perlu pula disiapkan upaya penjeraan. Hal ini tak gampang pula, karena tak ada bukti legal buat menyeret sang pencoleng ke pengadilan. Caranya? Tentu harus melalui hal-hal yang tak memerlukan bukti legal pula.
Sukses memasarkan obat untuk manusia, pada 1985 Sanbe mulai memproduksi obat-batan untuk hewan, terutama ternak (dari unggas sampai kambing, domba, babi, dan sapi, bahkan kuda). Divisi Veteriner Sanbe ini berkembang cukup baik. Buktinya, mereka kemudian mampu melebarkan sayap ke obat-obatan untuk sektor perikanan dengan meluncurkan tiga produk akuatik. Bersifat B to B, pemasaran obat hewan tentu memberikan tantangan tersendiri bagi mereka.
Memasuki 1987, Sanbe sudah berhasil merebut kepercayaan dunia luar. Pada tahun itu mereka meneken kerja sama internasionalnya yang pertama dengan Zambeleti/Eurodrugs. Lalu, dua tahun kemudian, mendapatkan lisensi untuk memproduksi dan memasarkan obat-obatan dari dari Menarini, salah satu perusahaan farmasi tertua di Italia (yang pada 2003 membukukan nilai penjualan US$ 2,32 miliar).
Kerja sama dengan Menarini yang terkenal dengan produk-produk uji glukosa dan urine itu membukakan Sanbe pintu untuk memasuki pasar produk diagnostik. Kerja sama internasional lainnya yang dilakukan kemudian membawa Sanbe ke bisnis-bisnis lain yang masih terkait dengan kesehatan, termasuk produksi dan pemasaran optalmologik (Sanbe Vision), dermatologik (Sanbe Skin Care), bioteknologi (Sanbe Biotech and Reserach Centre). Mereka juga melakukan kegiatan ekspor, walau belum besar, ke beberapa negara Asia (terutama Asia Tenggara) dan Afrika.
Memasuki 1992, Sanbe mencari tantangan baru lagi dengan masuk ke pasar obat OTC. Di sektor yang persaingannya paling bebas ini, kita tahu, Sanbe kurang berhasil dibanding kampiun industri farmasi lainnya — sebut saja Kalbe, Tempo Scan, dan Konimex. Namun, posisinya sebagai Raja Ethical tak tergoyahkan.
Namun, sebagai sebuah entitas bisnis, Sanbe harus terus berkembang. Buat perusahaan yang telah demikian meraksasa, tentu tak gampang menemukan sumber pertumbuhan yang cukup besar. Mungkin inilah yang mendorong Jahja membawa Sanbe memasuki bisnis baru, melengkapi 10 divisi bisnis yang telah ada lebih dahulu: bisnis infus.
Karena pasar telah didominasi pesaing yang menguasai sampai 80% pangsa, Sanbe harus menawarkan sesuatu yang baru. Menanamkan investasi US$ 25 juta, mereka mendatangkan teknologi canggih dari Prancis. Sistem sterilisasi yang digunakan pun dipilih yang beda, demikian pula kemasan produknya yang tahan panas.
Di tengah produk infus botol, Infusan (demikian merek infus Sanbe) yang dikemas kantong lunak memberikan diferensiasi yang cukup mencolok. Bahan kemasan yang lebih modern memberikan justifikasi yang cukup untuk banderol harga yang lebih mahal. So far, so good. Semua jurus pemasaran yang terbukti ampuh telah diayun untuk mendobrak pasar.
Satu hal yang mungkin luput dari perhitungan. Para perawat kita, yang bertanggung jawab memasukkan cairan infus ke tubuh pasien, telah terbiasa menangani infus dalam botol yang tidak gampang mleyat-mleyot. Hal ini, ditambah harga yang jauh lebih mahal walau harga softbag hanya sedikit di atas plabottle, mungkin yang membuat jalannya produk infus Sanbe yang diluncurkan sejak 2005 itu tak selaju yang mereka harapkan.
Di tengah kesulitan selalu ada kemudahan, begitu kata orang bijak. Memasuki 2006, tepatnya 8 Februari, Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Farid W. Husain menerbitkan surat imbauan kepada rumah sakit pemerintah untuk menggunakan infus yang dipanaskan 121 derajat Celcius selama 15 menit. Surat edaran Pak Dirjen ini dengan cepat menyebar karena sementara med rep dengan antusias menyodorkan fotokopinya ke banyak rumah sakit lain.
Memasuki 2007, dukungan terhadap infus yang dipanaskan 121 derajat Celcius selama 15 menit lebih hebat lagi. Tak kurang dari Komisi Kesehatan yang memberikan endorsement, dan dengan cara yang lebih terbuka sampai menyebut merek.
Ini bukan berita baru. Dan, karena menyangkut masalah kesehatan yang mendasar, ini bukan berita yang kita inginkan. Keinginan kita dalam hal yang satu ini sederhana saja: akses kesehatan yang luas dan terjangkau. Untuk itu, harga obat yang merupakan komponen vital dalam kesehatan harus dijaga agar tetap wajar.
Langkah awal telah diambil pemerintah. Baru-baru ini, kalangan bisnis telah berhasil diajak menandatangani kesepakatan untuk menjalankan kode etik farmasi. “Saya berharap, dengan adanya kesepakatan ini dapat terpelihara iklim usaha yang kondusif dengan persaingan yang sehat, sehingga dunia farmasi Indonesia dapat berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sejalan dengan itu, masyarakat mendapat kepastian jaminan ketersediaan obat,” ujar Rirektur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Richard Panjaitan dalam sambutannya.
Kalau ternyata masih terjadi pelanggaran, apa tindak lanjutnya? Inilah yang masih jadi pekerjaan rumah otoritas terkait. Belum ada aturan main apa pun untuk enforcement kesepakatan ideal di atas. Padahal, tanpa enforcement, aturan sebagus apa pun hanyalah macan kertas.
Di negara maju, sebut saja Amerika Serikat, perusahaan farmasi yang terbukti memasang harga berlebihan untuk produknya dikenai denda besar yang bisa dipastikan membuat mereka jera. Penjeraan seperti ini agaknya perlu pula diterapkan di negeri kita.
Dan, yang tak kalah penting, harus dibangun sistem kesehatan nasional yang baik. Dengan adanya asuransi yang mengover masyarakat, harga obat akan lebih mudah dikendalikan. Perusahaan asuransi yang tak kalah besar tentu memiliki kekuatan tawar-menawar yang cukup kuat di hadapan perusahaan farmasi.
Satu hal yang harus diingat, sistem kesehatan yang dibangun juga tak boleh mengerdilkan industri farmasi nasional — harus win-win — agar pasar farmasi Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara (dan memiliki potensi berkembang terbesar pula) memberikan kemaslahatan maksimal kepada kita semua. Sebab, bagaimanapun, Sanbe dan lain-lain itu adalah aset bangsa, dan kita memerlukan mereka untuk kemandirian di bidang kesehatan.
Produk Sanbe di Tengah Produk Sejenis
Produk Sanbe di Tengah Produk Sejenis
Jenis Obat | Merek | Harga (per 100 tablet) | Keterangan |
Amoxycillin tablet 500mg | Generik (Indofarma) Amoxil (originator) Amoxsan (Sanbe) Kalmoxillin (Kalbe) Dexymox (Dexa) Pehamoxil Forte (Phapros) | Rp 40.340 Rp 313.390 Rp 240.000 Rp 275.000 Rp 225.000 Rp 180.000 | Produk Sanbe tergolong murah di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, tetapi lebih dari empat kali lipat harga OGB dan hampir 80% harga produk originator. |
Cefadroxil tablet 500mg | Generik (Hexpharm) Duricef (originator) Cefat (Sanbe) Longcef (Dankos) Dexacef (Ferron) Docef (Kimia Farma) | Rp 198.000 Rp1.329.870 Rp 670.000 Rp 650.000 Rp 635.000 Rp 484.000 | Produk Sanbe termahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, tetapi kurang dari empat kali harga OGB dan hanya sekitar 50% harga produk originator. |
Ciprofloxacin tablet 500mg | Generik (Hexpharm) Ciproxin (originator) Baquinor (Sanbe) Scanax (Tempo Scan) Quidex (Ferron) Phaproxin (Phapros) | Rp 77.000 Rp1.853.500 Rp 865.000 Rp 625.000 Rp 833.333 Rp 658.000 | Produk Sanbe termahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain dan harganya lebih dari 10 kali lipat harga OGB, tetapi kurang dari 50% harga produk originator. |
Amoxycillin 500mg + asam klavulanat 125mg | Generik (Hexpharm) Augmentin (originator) Claneksi (Sanbe) Clavamox (Kalbe) Dexyclav (Dexa) Palentin (Phapros) | Rp 40.340 Rp 921.616 Rp 695.000 Rp 726.000 Rp 837.800 Rp 500.000 | Produk Sanbe tergolong murah di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain dan harganya lebih dari 10 kali lipat harga OGB, tetapi kurang dari 50% harga produk originator. |
Paracetamol 500mg | Generik (Indofarma) Panadol (originator) Sanmol (Sanbe) Dapyrin (Hexpharm) Bodrex Forte (Tempo Scan)* Pamol (Interbat) | Rp 8.500 Rp 19.000 Rp 15.750 Rp 8.500 Rp 14.500 Rp 17.000 | Produk Sanbe termahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain dan harganya 80% lebih produk originator, tetapi kurang dari dua kali lipat harga OGB. |
Vit B1 100mg + Vit B6 200mg + Vit B12 200 mcg | Generik ** Neurobion (originator) Neurosanbe (Sanbe) Scanneuron (Tempo Scan) Neurodex (Dexa) Bioneuron (Phapros) | Rp – Rp 80.730 Rp 57.500 Rp 46.750 Rp 59.375 Rp 50.000 | Produk Sanbe tergolong mahal di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain dan harganya lebih dari 70% produk originator. |
Cefotaxime vial 1000mg*** | Generik (Hexpharm) Claforan (originator) Taxegram (Sanbe) Kalfoxim (Kalbe) Clacef (Dexa) Soclaf (Soho) | Rp 23.100 Rp 235.620 Rp 78.000 Rp 101.200 Rp 99.000 Rp 75.000 | Produk Sanbe tergolong murah di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, kurang dari empat kali harga OGB dan hanya sekitar 34% harga produk originator. |
Ceftriaxone vial 1000mg*** | Generik (Indofarma) Rocephin (originator) Terfacev (Sanbe) Broadced (Kalbe) Tricefin (Dexa) Cefaxon (Kimia Farma) | Rp 26.600 Rp 256.600 Rp 120.000 Rp 138.600 Rp 141.000 Rp 104.000 | Produk Sanbe termurah di antara generik bermerek dari produsen Top 10 lain, kurang dari lima kali harga OGB dan kurang dari 50% harga produk originator. |
Data dari beberapa referensi resmi
* Bodrex Forte mengandung paracetamol 650mg
** Todak ada produk generiknya
*** Harga satu vial
Sumber: Swa.co.id