Memang, setiap kali membuat perencanaan pemasaran, salah satu hal yang membuat orang pemasaran pusing adalah soal data. Mereka selalu bingung, data semacam apa yang harus mereka cari untuk dijadikan dasar pembuatan perencanaan pemasaran. Kalau pun mereka tahu data apa yang harus mereka cari, pertanyaan berikutnya adalah, dimana mereka harus mencari data tersebut.
Mencari data di Indonesia memang ibarat mencari jarum di tengah jerami. Kalau Anda hanya sendirian mencarinya, tidak akan ketemu. Namun kalau Anda mempergunakan banyak orang untuk mencari, kemungkinan menemukannya pun jauh lebih besar. Jadi, mungkin bukan susah mencarinya tapi biaya untuk mencarinya bisa besar sekali (karena Anda membutuhkan lebih banyak usaha). Itu pun belum tentu menghasilkan data yang 100 persen akurat. Contoh paling sering yang ditanyakan oleh para pemasar adalah bagaimana mencari data market share.
Mengapa tidak mudah bagi para pemasar untuk mencari data market share? Lihat saja, 70 persen channel distribusi (untuk consumer product) mempergunakan channel tradisional seperti toko kelontong, pasar, asongan, dan lain-lain. Channel seperti ini banyak sekali dan titiknya tersebar di mana-mana. Jika Anda ingin melakukan pengumpulan data relatif lebih sulit dan lebih lama dibandingkan di negara maju. Pedagang kecil mana punya data yang canggih? Semua penjualan ditulis ke dalam buku tulis. Bahkan pedagang asongan pun hanya mencatat di selembar kertas bekas bungkus rokok.
Pada negara-negara maju, sebagian besar ritel disana sudah mempergunakan teknologi informasi seperti barcode sehingga kuantitas dan nilai penjualan pun dengan cepat terdokumendasi. Makanya di sana data market share bisa cepat diketahui.
Lucunya, kadang-kadang kita menemukan data yang kita inginkan secara tidak sengaja. Seorang pemasar pernah ingin mencari tahu berapa pertumbuhan industri dari produk yang dijualnya. Berminggu-minggu keluar masuk departemen, namun hasilnya tidak pernah ada.
Akhirnya, jawabannya ditemukan lewat sebuah koran yang sudah mau dibuang. Di dalam koran tersebut ada pernyataan dari Dirjen Pajak yang mengeluarkan statement bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di sektor industrinya bertumbuh tahun lalu sebesar 7 persen. Artinya, kalau diasumsikan industri dimana dia memasarkan produknya kira-kira bertumbuh 7 persen. Lumayan juga untuk memperkuat perencanaan, sekalipun menemukannya di tong sampah!
Dalam dunia marketing research ada dua jenis penggalian data. Pertama adalah data yang digali lewat sumber-sumber yang bersifat primer. Contohnya adalah data dari konsumen langsung. Kedua adalah data yang digali dari sumber yang bersifat sekunder. Artinya, data diperoleh dari pihak lain yang telah melakukan penggalian data. Contohnya adalah melalui departemen, BPS, Bank Indonesia, dan lain-lain.
Menggali data lewat sumber primer relatif memang jauh lebih mahal. Anda harus mempergunakan tim pencari data yang cukup besar. Sebaliknya, untuk menggali data sekunder, Anda hanya membutuhkan sedikit orang yang ke luar masuk institusi untuk meminta data. Hanya saja di Indonesia, kredibilitas data sekunder seringkali menjadi pertanyaan.
Hal yang sering menjadi masalah dalam penggalian data adalah kejujuran dari subyek data. Banyak perusahaan yang sering low profile ketika berhubungan dengan pihak pajak, namun menjadi high profile ketika berbicara untuk urusan publikasi. Artinya, penjualan di laporan pajak dikecil-kecilin, namun kalau diwawancara angkanya dibesar-besarkan. Dalam kasus BLT pun, banyak orang yang mengaku-aku termasuk golongan miskin ketika ditanya. Makanya bantuan akhirnya bisa salah sasaran.
Di sisi lain, masih banyak pelaku bisnis yang kurang menghargai data. Melihat kasus sang pemasar itu, berapa sih sebenarnya nilai data tersebut? Kalau dilihat cara dia menemukan data tersebut di tong sampah, data tersebut barangkali tidak akan dinilai tinggi. Contoh lain, banyak pelaku bisnis melihat ukuran data dari tebalnya laporan data. Semakin tebal semakin mahal. Tapi kalau cuma selembar, apalagi cuma satu angka berarti semakin murah. Tapi cobalah melihat proses yang harus dijalani selama berhari-hari untuk mencari satu angka tersebut, barangkali si pemasar rela mengeluarkan satu juta rupiah ketimbang opportunity lost yang terjadi gara-gara mencari data.
Dengan berbagai masalah ini, pada akhirnya orang-orang pemasaran lebih sering mempergunakan banyak asumsi data ketika melakukan perencanaan. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang tidak percaya data sama sekali dan mengandalkan pada insting. Bagaimanapun, insting kadangkala memang benar sekalipun tidak selalu benar. Adanya data sebenarnya lebih bertujuan untuk memperkuat keyakinan dibandingkan menjadi alasan untuk menjalankan strategi. Tapi kalau kebanyakan asumsi, ya lebih baik mempergunakan strategi yang bersifat tembak langsung. Dalam kasus BLT akhirnya bukan Bantuan Langsung Tunai tapi BTL (Bantuan Tembak Langsung!).
Oleh : PJ Rahmat Susanta