BannerFans.com

ALLAHU AKBAR

Allahu Akbar!
pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil tergetar


Allahu Akbar! Allah Maha Besar!
Urat-urat leher kalian membesar meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad nafsu kebencian kalian membakar apa saja yang kalian anggap mungkar

Allahu Akbar, Allah Maha Besar!
Seandainya 5 milyar manusia penghuni bumi sebesar debu ini sesat semua atau saleh semua,
tak sedikit pun akan mempengaruhi KebesaranNya
Melihat keganasan kalian aku yakin kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayangNya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakanNya ketika dengan pongah kau melibas mereka
yang sedang mencari jalan menujuNya?
Mengapa kalau mereka memang pantas masuk neraka tidak kalian biarkan saja Tuhan mereka yang menyiksa mereka
Kapan kalian mendapat mandat dan wewenang dariNya untuk menyiksa dan melaknat?

Allahu Akbar!
Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar adalah mensekutukanNya dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri
Laa ilaaha illallah!

(KH Mustofa Bisri, Rembang)

Pertarungan Para Business Leader Masa Depan

Persaingan ketat dengan perbedaan angka yang tidak terlalu jauh mewarnai pemilihan pemimpin bisnis di masa depan ini. Siapa saja mereka dan apa keunggulan masing-masing?

Leadership is the art of getting someone else to do something you want done because he wants to do it (Dwight Eisenhower)

Ruang yang dingin di Yogyakarta Room, Hotel Shangri-La, Jakarta, terasa seperti ruang sidang yang menegangkan. Maklum, para finalis Indonesia Future Business Leader (IFBL) 2010 harus melakukan presentasi di depan dewan juri yang terdiri dari para tokoh dan pentolan manajemen, serta top eksekutif dalam posisi duduk setengah persegi. Pertanyaan tajam kerap terlontar, membuat suasana agak tegang. Para juri itu adalah mantan Menteri BUMN Tanri Abeng, Komisaris Utama PT Garuda Indonesia Abdul Ghani, CEO Master Indonesia Bambang Bhakti, pendiri Principia Learning Lab Henk T. Sengkey, dan mantan Presiden Direktur PT Jakarta Setiabudi International Tbk. Amir Abdul Rachman.

IFBL merupakan ajang untuk mencari talent pemimpin di masa depan dengan latar belakang yang berbeda baik profesi maupun industrinya. Sepuluh finalis yang masuk tahap presentasi di depan juri memiliki latar belakang yang amat beragam, mulai dari perusahaan penerbangan, distribusi, power plant, promotor musik, farmasi, hingga perbankan. “Kita harus melihat tidak hanya pada fungsinya, tetapi skala dan tantangan apa yang dia kerjakan atau the thinking challenge (tantangan untuk berpikir), dan bagaimana kedalaman keluasan wawasan. Proses ini sangat menarik,” ujar Tanri Abeng.

Di balik wajah-wajah serius para juri, sesungguhnya mereka begitu antusias dan senang melihat penampilan para finalis. Menurut Abdul Ghani, ajang ini telah menampilkan peserta dengan kapabilitas dan kapasitas yang tinggi. Hampir semua mempunyai semangat dan daya analisis yang kuat. “Mereka memiliki kemampuan merumuskan strategi dengan baik, karena perkembangan profesional leader ini sangat menentukan perkembangan bisnis Indonesia ke depan,” katanya bersemangat. Tak mau kalah dari Abdul Gani, Tanri Abeng mencermati bahwa sebagai pemimpin, mereka harus memiliki karakter kreatif, punya visi dan inovatif. Yang penting, “Mampu melihat dan mengembangkan manusia, baru kemudian ilmu teknis, accounting, SDM, dan lain-lain. Teknis itu yang terakhir,” tambahnya.

Penilaian terhadap para finalis dibagi dalam dua aspek. Pertama, konten (bobot 80%) yang terdiri dari aspek clearness, breakthrough & solution, originality, dan applicable. Kedua, konteks (bobot 20%) yang terdiri dari aspek time management, attitude & performance, serta communication skill. Aspek yang memiliki bobot tertinggi adalah breakthrough & solution dengan nilai 35%.

Akhirnya, Megawaty Khie, Direktur Pengelola Personal Systems Group Hewlett-Packard Indonesia, tampil di peringkat pertama di antara 10 finalis tersebut, disusul Ario Setra Setiadi, Presdir PT IDS Marketing Indonesia, dan Obed Fuk Liang, Direktur Ethical Sales PT Soho Pharmasi Industry. Menurut Bambang Bhakti, keunggulan Megawaty adalah pada karakter kepemimpinan yang kuat. Ia cepat belajar meskipun tidak berlatar belakang teknologi informasi. “Orang seperti Megawaty berani mengambil keputusan yang tidak populer,” ujarnya. Adapun Henk berpendapat, keunggulan Megawaty terletak pada eksekusi.

Keunggulan Ario, menurut Henk, yaitu pada kemampuannya memahami dan mengenali dirinya. “Dia punya potensi, dia tahu dan mengenal dirinya. Bukan hanya mengenal environment,” ujarnya. Adapun Obed adalah sosok yang punya komitmen dan pekerja keras. “Dia awalnya adalah orang lapangan, jadi sangat mengerti industrinya dan sangat konsisten terhadap kariernya.”

Secara keseluruhan Henk punya saran kepada para finalis sebagai future leader. Jika ingin berhasil menjadi pemimpin di masa depan, para finalis harus mengetahui konteks bisnis yang mereka hadapi. “Kalau tidak, mereka tak akan mampu memprediksi kompleksitas apa yang akan terjadi,” ujarnya.(***)

Megawaty Khie:

Sang Bintang itu telah Lahir

Ia merupakan Srikandi satu-satunya dalam kompetisi Indonesia Future Business Leader (IFBL) 2010, dan menang. Apa kehebatan dia?

Langkah kaki yang mantap mengiringi kehadiran Megawaty ketika memasuki ruang penjurian di Hotel Shangri-La siang itu, 7 Oktober 2010. Tanpa tedeng aling-aling ia langsung memperkenalkan sekaligus menawarkan produk notebook terbaik HP saat ini. Sempat terjadi gelak tawa yang hangat, maklum para juri didominasi pria, sedangkan produk yang bergambar kupu-kupu itu ditujukan bagi kalangan wanita alias for ladies (meminjam istilah Megawaty). “Bapak-bapak jika suka kupu-kupu juga boleh,” ujar wanita bernama lengkap Megawaty Khie, Direktur Pengelola Personal Systems Group HP Indonesia ini sambil tersenyum simpul.

Bagaikan secangkir welcome drink tawaran Megawaty itu langsung memikat para juri dan mereka yang hadir dalam ruangan itu. Seperti tak ingin kehilangan momen terbaiknya, wanita kelahiran 4 November 1970 ini langsung melakukan presentasi yang begitu cepat, lugas dan fokus. Sejumlah pertanyaan yang begitu antusias dari para juri dijawab Megawaty dengan cepat dan komprehensif. Tak bisa dimungkiri, saat itu aura sang juara langsung memancar dari diri penyandang BSc. bidang pemasaran dari South Illinois University, Carbondale, Amerika Serikat ini. Dan, ketika ia terpilih menjadi juara pertama IFBL 2010 tampaknya hal itu sudah dapat ditebak. Peserta wanita satu-satunya ini – meminjam slogan iklan sebuah produk – memang layak dapat bintang. Begitulah kalimat yang tepat untuk kemenangan Megawaty.

“Megawaty memiliki karakter yang kuat sebagai seorang leader. Ia mampu memunculkan karakter kepemimpinannya, dari cara bicara, intonasi, dan bahasa tubuh,” ujar Bambang Bhakti, CEO Master Indonesia, yang juga salah seorang Dewan Juri IFBL 2010. Di samping mampu menjelaskan secara runtut presentasinya, Bambang menambahkan, juga terlihat originalitas pemikirannya dan mampu membangun tim. “Ia juga mampu menghadapi kompleksitas di industri teknologi informasi yang persaingannya sangat ketat,” mantan Dirut Merpati Airlines ini mengungkapkan kekagumannya pada Megawaty. “Orang seperti Megawaty berani mengambil keputusan yang tidak populer,” Bambang menegaskan.

Hasil penilaian menunjukkan, angka yang diraih Megawaty berada jauh di atas peserta yang lain dengan total skor 87,15. Bandingkan dengan pemenang nomor dua dan tiga yang mendapat angka total 78,40 dan 78,19. Keunggulan Megawaty pada atribut clearness sebesar 94 dan time management 90. Pencapaian skor 94 pada atribut clearness ini merupakan angka yang paling tinggi dibanding finalis IFBL 2010 lainnya. Bahkan, beberapa juri memberikan poin100 padanya untuk atribut ini. Hal ini menunjukkan keunggulan dirinya pada saat menjabarkan program dan strategi kerja.

Wanita berusia 40 tahun ini bisa disebut kutu loncat. Ia memulai kariernya sebagai Manajer Pengembangan Produk PT Mobile Seluler Indonesia, lalu pindah ke PT SkyTelindo Services sebagai General Manager; PT M-Web Indonesia sebagai Direktur Penjualan & Pemasaran; PT Microsoft Indonesia sebagai Direktur Small and Midmarket Solutions & Partners Group (Desember 2002); dan Dell Indonesia (2006) sebagai Director & Country Manager.

Pada Mei 2009 ia bergabung dengan HP Indonesia untuk menduduki posisi Direktur Pengelola Personal Systems Group (PSG). Di sini ia bertanggung jawab atas produk handheld, mulai dari desktop PC, notebook, dan thin client solution (hardware atau terminal yang fungsinya menggantikan komputer/PC di client dalam jaringan yang memiliki kemampuan sama seperti halnya komputer biasa), serta solusi lainnya yang termasuk dalam portofolio PSG untuk pelanggan dari segmen bisnis berbagai skala. Salah satu prestasinya adalah mengerek pertumbuhan notebook HP hingga 94% per tahun.

Megawaty menuturkan, pertumbuhan PC client tahun 2010 mencapai 30%, yang mana notebook mengambil porsi 60%-70%. Itulah sebabnya, ia mengincar pasar daerah yang lebih prospektif. Tak tanggung-tanggung, ia membuat 1000 drop of points di seluruh Indonesia, di antaranya bekerja sama dengan toko-toko yang menjual produk HP. Dijelaskan Megawaty, kunci dari jualan produk elektronik adalah layanan pascajual. Tujuannya, lebih memudahkan dan mendekatkan HP dengan pelanggan. Gagasan ini mendapat penghargaan di tingkat HP worldwide. Terobosan lainnya, menawarkan produk notebook dengan harga yang lebih terjangkau, yaitu HP mini. Selama ini, HP masih dikenal sebagai produk yang mahal atau high price (HP). Ia ingin menghilangkan citra tersebut.

Menurut Megawaty, ia memiliki gaya kepimimpinan yang tegas dengan pendekatan personal. Ia mengungkapkan, ada tiga hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pertama, tujuan yang jelas, bisa diutarakan dan mudah dipahami. Kedua, reward ketika mencapai tujuan. Setelah punya kesamaan persepsi, ketiga yaitu memberi tahu cara mencapainya. Maka, ia melihat seorang pemimpin harus memiliki sejumlah karakter, yaitu: visi yang jelas, mampu membangun kerja sama tim, punya keberanian mengambil keputusan, dan integritas. Adapun, “Legacy yang saya inginkan, selain revenue, margin, pangsa pasar, mereka bangga menjadi bagian dari tim dan bisa berkontribusi,” ujarnya.

Megawaty menambahkan, ke depan ia tidak terlalu mempersoalkan posisi menjadi CEO atau tidak, melainkan pada kontribusi. “Saya masih ingin di industri teknologi informasi, dan suka dunia pendidikan,” ujar ibu dari Oscar (11 tahun), Imelda (8 tahun) dan Angelina (6 tahun) ini. Diakuinya, berkarier di industri TI banyak didominasi pria. Toh, hal itu bukan masalah baginya, laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan untuk berprestasi. “With passion, you can change the world,” ia menegaskan.

Ario Setra Setiadi:

Fokus pada CRM

Usianya relatif muda, 43 tahun, tetapi pengalamannya segudang. Ario Sentra Setiadi, begitulah nama lengkapnya. Lulusan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini adalah fasilitator senior Mark Plus Institute of Management (1999-2007), Koordinator Dosen MM Strategic Marketing Universitas Bina Nusantara, dan pemenang Allianz-Binus Teaching Excellence Award 2009.

Di dunia farmasi, Ario telah merambah sejumlah perusahaan. Diawali dengan bergabung di Matrindo & Grup ASRAM tahun 1991 sebagai Manajer Pemasaran, disusul di Jansen Pharmaceutical (1995) sebagai Manajer Produk Senior, lalu menjadi VP Pengembangan Pasar dan Bisnis PT Kartika Bina Medikatama pada 2003, Direktur Pemasaran PT Meiji Pharmaceutical (2004), dan kemudian menjadi Presdir PT IDS Marketing Indonesia dari 2008 hingga sekarang.

Dalam ajang Indonesia Future Business Leaders (IFBL) 2010, Ario meraih posisi kedua setelah Megawaty Khie dari Hewlett-Packard, dengan perolehan skor 78,4. Angka tertinggi diraih Ario pada atribut Time Management sebesar 88, Attitude & Performance serta Communication Skill masing-masing mendapat nilai 86.

Menurut pria kelahiran Madiun, 5 Januari 1967, ini, menjadi komandan perusahaan yang berpusat di Hong Kong itu tidak ringan karena persaingannya sangat ketat. “Ditambah lagi produk Cina yang membanjiri pasar,” ujar Preskom PT Sinergi Bisnis Pratama ini. Untuk mengatasi hal itu, salah satu strateginya adalah fokus pada customer relationship management (CRM). “Mereka perlu special attention,” ujar penyandang gelar Ph.D manajemen dari Washington Int. University, Amerika Serikat, ini.

Di IDS, Ario diberi kebebasan penuh untuk mengatur dan mengelola bisnis di Indonesia. Kantor pusat hanya memberikan anggaran dan target tingkat keuntungan yang harus dicapai, sedangkan pengembangan produk, ekspansi pasar dan keputusan membuka cabang di daerah dilakukannya sendiri. “Pada akhirnya, yang lebih critical dari people management adalah to handle people,” ujarnya menegaskan.

Obed Fuk Liang:

Sang Pionir yang Pantang Mundur

Dunia farmasi adalah bagaikan rumah kedua bagi Obed Fuk Liang. Meskipun latar belakang pendidikannya sarjana teknik industri, alumni Universitas Indonesia Esa Unggul ini telah mendedikasikan hampir seluruh perjalanan kariernya selama 19 tahun untuk industri farmasi. Tak tanggung-tanggung, ia memulai karier dari level terendah yaitu administrator gudang pada 1991 di Kalbe Farma. Dan ia menempati posisi Direktur Penjualan Ethical PT Soho Pharmasi Industri tahun 2009 hingga sekarang. Dalam IFBL 2010, ia meraih posisi ketiga dengan total skor 78,30.

Kelahiran Surabaya 11 April 1973 ini adalah pria yang tangguh dan pekerja keras. Ia tampaknya berhasil menggabungkan kemampuannya sebagai sarjana teknik dengan kecintaan pada penjualan dan farmasi. Ketika bergabung di Soho pada 1995 dan diangkat menjadi Manajer Penjualan tahun 2000, ia merintis penggunaan teknologi informasi di kantornya. Obed melihat alangkah pentingnya TI dalam melancarkan pekerjaan dan koneksi di antara mereka.

Cara pertama yang dilakukan Obed adalah merekrut tim administrator dan mengirim komputer ke cabang-cabang, lalu cabang-cabang itu di-online-kan. Selanjutnya, ia memberikan pelatihan kepada admin. Bahkan ia terlibat penuh dalam pembuatan modul admin pertama kali di Soho. Alhasil, kini semua cabang sudah terkoneksi ke pusat, bahkan semua pemimpin cabang Soho di seluruh Indonesia sudah memakai laptop.

Sebagai komandan dalam penjualan obat etikal di Soho, ia membentuk tim injeksi yang bernama Tiger untuk meningkatkan kinerja timnya. Tim ini menjual produk khusus injeksi. Setelah pembentukan Tiger, produk injeksi Soho naik signifikan, yaitu 70% lebih dari tahun lalu (Januari-September). “Hal itu luar biasa. Tim ini berarti sangat berhasil,” ia menandaskan. Kini, menurutnya, Soho berada di urutan empat perusahaan farmasi terbesar di Indonesia untuk ethical medical. Ini juga yang menjadi alasan Soho kini lebih banyak menggarap pasar ethical dengan bermacam spesifikasi, mulai dari obat generik bermerek dan generik, nutrisi hingga medical device.

Jemsly Hutabarat:

Ciptakan Kultur Baru

daripada Ubah Kultur Lama

Jemsly Hutabarat adalah sosok yang lengkap. Ia tak hanya sukses sebagai profesional tetapi juga aktif sebagai pengajar, pembicara dan penulis sejumlah buku serta kolom di majalah dan harian. Penyandang Master Manajemen dari Universitas Indonesia (bekerja sama dengan Massachusetts Institute of Technology) ini memulai kariernya di Garuda Indonesia pada 1991, dan tahun 2000 bergabung di PT GMF Aero Asia sebagai GM Strategi & Pengembangan Bisnis. Setelah beberapa kali mendapat promosi, tahun 2009 ia menjadi VP Pemasaran & Penjualan GMF.

Membawa GMF (anak perusahaan Garuda Indonesia) hingga go public merupakan target penyandang sarjana hukum (Universitas 17 Agustus, Jakarta) dan sarjana teknik (Universitas Sumatera Utara, Medan) ini. Pria kelahiran Tarutung 10 Januari 1966 ini mengungkapkan, untuk merealisasi hal itu maka harus ada perubahan kultur di GMF yang lekat dengan unsur BUMN. Ia bersyukur kini kultur BUMN di GMF tinggal 50%.


Faisal Muzakki:

Kedepankan Etika Bisnis

Menjadi panutan dan berintegritas merupakan prinsip kepemimpinan Faisal Muzakki. Tampaknya, itu pula yang menjadi kunci suksesnya, sehingga pria kelahiran Mojokerto 21 Desember 1968 ini dipercaya PT Wartsila Indonesia, perusahaan yang membidangi permesinan diesel (seperti power plant dan mesin penggerak kapal), menjabat sebagai Deputi Direktur Servis (2009).

Ia menjelaskan, selama ini dirinya telah melakukan terobosan di perusahaan asal Finlandia itu, yaitu dari hanya menjual suku cadang sebagai bisnis utamanya, kemudian menjadi ke servis. Terobosan ini dilakukan karena saat ini ada tren one stop service, yang mana konsumen tidak ingin repot membeli di banyak tempat. Selain itu, konsumen ingin fokus di bisnis intinya semata. Maka, ia sangat memprioritaskan klaim pelanggan, serta layanan yang on time dan fair.

Dalam ajang Indonesia Future Business Leader 2010, insinyur teknik dari Brawijaya Malang ini meraih posisi nomor 9 dengan total skor 70,5.

Ari Suryanta:

Bermimpi Meraih Posisi sebagai Pemimpin Bisnis

Klop, itulah kata yang pas untuk menggambarkan pengalaman Ari Suryanta, yang tak hanya berlatar belakang di bidang engineering, tetapi juga keuangan. Dengan kombinasi itu ia dinilai tepat menduduki posisi sekarang, Executive Project Manager Cost Effectiveness PT Garuda Indonesia. Ari mengawali kariernya di tahun 1989 sebagai staff contract & cost control Garuda Maintenance Facility. Delapan tahun kemudian (1997), ia dipercaya menjadi General Manager Maintenance & Engineering Controller Garuda. Pada 2004, ia didapuk menjadi Manajer Keuangan BUMN ini untuk wilayah Jepang, Korea, Cina dan Amerika Serikat.

Bagi lulusan Magister Management Air Transportation Universitas Indonesia ini, bekerja di dunia penerbangan memiliki tantangan tersendiri, yaitu preferensi orang terus berubah-ubah. “Kepuasan tidak hanya pada saat on board, tapi mulai dari kontak pertama di call center, check in, saat terbang hingga mengambil bagasi,” ujarnya.

Dalam ajang Indonesia Future Business Leader 2010 ini, Ari berada di posisi kelima dengan perolehan nilai total 76,94. Perolehan tertinggi diraih Ari pada atribut time management dan originality sebesar 83,75 dan 80. Dibandingkan finalis yang lain, kelebihan Ari pada atribut originality. Pada atribut ini Ari berada di posisi kedua setelah Megawaty Khie yang meraih skor 85.

Ari menjelaskan, sebagai maskapai pelat merah, sesungguhnya Garuda ingin menjadi pemimpin pasar, tetapi hal itu tak mudah diwujudkan. Penyebabnya, Garuda bermain di pasar menengah-atas, padahal pasar ini hanya 13% dari total pasar. Di sisi lain, adanya persepsi pasar menengah terhadap Garuda bahwa maskapai ini masih terlalu mahal. Untuk itu, Ari menyarankan agar Garuda menurunkan harga, tetapi tetap konsisten dengan full service. Caranya, Garuda perlu melakukan efisiensi cost. Dengan situasi tersebut, jangan heran, Ari mengaku belum puas dengan posisi kariernya saat ini. Ia masih bermimpi meraih jenjang yang lebih tinggi, yakni pemimpin bisnis.

Budi T. Halim:

Sang Pendobrak yang Tak Gampang Puas

Suka tantangan. Itulah kesan yang tampak dari Budi T. Halim. Setelah cukup lama berkecimpung di sejumlah bank ternama, akhirnya pada 2009 ia memutuskan bergabung dengan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk. (BNP) dengan posisi sebagai Direktur Business & Treasury. Budi menjelaskan, kepindahannya ke BNP karena ia ingin menjadikan bank ini sebagai salah satu bank ritel terbaik dengan skala yang masih kecil. Caranya, mengembangkan produk, SDM dan proses bisnisnya.

Pria yang mengawali kariernya di Bank Bali sebagai account officer & credit analyst (1986) hingga menjadi direktur eksekutif (1998) ini menceritakan, ketika mulai bergabung dengan BNP, kondisi bank tersebut belum kondusif karena ada perubahan manajemen. Lulusan Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada ini dipercaya untuk membenahi BNP yang sempat stuck saat itu. Sekarang, kondisi BNP sudah tumbuh dan mulai dikenal masyarakat. “Saya ingin bank ini semakin besar, memberikan value kepada semua stakeholder, dalam arti customer dan employee, bahwa ini perusahaan yang baik. Dan, bagi saya ada kepuasan,” ujar pria berusia 47 tahun ini.

Dalam ajang IFBL 2010, mantan VP Senior Bank Universal (2000) ini meraih posisi ketiga dengan skor 78,19. Menurut mantan Strategic Planning Coordinator for Retail Banking Retail Banking Group Head Mega (2003) ini, seorang pemimpin harus punya visi dan mampu menjelaskan visi tersebut kepada timnya. Setelah itu, pemimpin harus punya strategi kreatif yang berbeda dari perusahaan lain untuk bisa menghadapi persaingan. Yang juga penting, pemimpin harus mendapatkan kepercayaan dari atasan dan tim. gMereka bekerja berdasarkan visi, bukan karena otoritas, karena mereka percaya kita sebagai leader bisa membawa mereka ke tempat yang lebih baik,h ujar mantan Head of Commercial Business di Bank Danamon Indonesia (2004) ini menegaskan.

Rudy Priambodo:

Berani Lakukan Perubahan & Pasang Target

Setelah 15 tahun berkutat di industri elektronik seperti Sony, Philips dan Sharp, Rudy Priambodo memutuskan memasuki dunia keuangan dan perusahaan genteng. Pria kelahiran Surabaya 39 tahun lalu ini punya target: pada usia 35 tahun menjadi general manager dan 40 tahun di level direktur. Nyatanya berhasil, karena pria kelahiran tahun 1971 ini didaulat menjadi GM Penjualan & Pemasaran Electronic City pada 2004, dan GM Distribusi & Pemasaran PT Adira Quantum Multifinance pada 2006. Bahkan, pada 2008 ia dinobatkan menjadi Direktur Penjualan & Pemasaran PT SG Consumer Finance Indonesia, dan Direktur Penjualan & Pemasaran Terreal Indonesia pada awal Mei 2009 (hingga kini).

Ia meyakini seorang pemimpin harus memiliki empat karakter, yaitu visioner, bisa memberdayakan karyawan, seimbang antara kemampuan finance dan human resources, serta mampu menjadi panutan. Dalam ajang IFBL 2010 , ia meraih posisi ke-6 dengan total nilai 73,69.

Benny Prasetyo Kuntoro:

Ingin Fokus di Superband

Menjadi pemimpin pasar di bidang event organizer (musik) merupakan impian Benny Prasetyo Kuntoro. Dan, melalui Bharata Komunika (BK), ia ingin menghadirkan sejumlah superband seperti Metallica (kelompok band metal asal Amerika serikat) ke Indonesia pada 2011. Bahkan, ia juga akan membeli lisensi majalah metal asing dan merilisnya dalam versi bahasa Indonesia. CEO BK ini akan melakukan terobosan dengan membuat konser dan ditayangkan langsung di stasiun teve swasta dan selanjutnya dikemas dalam DVD. Kini pria yang berencana mengundang Justin Bieber tahun depan ini sedang menjajaki konser musisi asing di pelataran Candi Borobudur.

Diungkapkan Benny, esensi promotor hanya mengundang. “Mereka tidak akan bertanya, ‘Siapa kita?’, tapi ‘Berani bayar berapa?’,” ujarnya. Di Indonesia sendiri persoalannya bukan mencari penonton, melainkan mencari sponsor. “Karena harga kami sangat besar,” ujarnya. Dalam IFBL 2010, ia meraih posisi ke-8 dengan skor total 71,63.

Budy Purnawanto:

Bercita-cita Jadi Pemimpin Transformasional

Sebagai Direktur SDM PT Tigaraksa Satria Tbk., Budy Purnawanto melihat ada dua hal yang harus dibenahi ketika ingin memperbaiki manajemen ke dalam, yaitu people dan process. “Untuk memperbaiki people sendiri, ada tiga ukuran, yaitu peningkatan jumlah orang yang kompeten, orang yang berkinerja bagus dan high rate index. Ia yakin jika ketiganya sudah meningkat, strategi di bidang people juga akan berjalan baik.

Di sisi lain, proses harus memiliki ukuran pencapaian terhadap targetnya dan jika ada gap, harus diperbaiki. “Bagi saya, strategi apa pun akan berjalan dengan sendirinya apabila ada orang-orang bagus karena saat ada masalah mereka mampu mencarikan solusinya sendiri,” ujar Budy. Itulah sebabnya, ia melihat pentingnya assessment competencies di setiap posisi supaya bisa diketahui gap-nya. Dalam ajang IFBL 2010, ia memperoleh total skor 67,7 dan menduduki posisi ke-10. (Swa.co.id)

Merajut kembali Masa Depan Pfizer Indonesia

Dia ditugaskan melejitkan kembali Pfizer Indonesia setelah sempat mengalami masa sulit di awal 2007. Apa strateginya menuntaskan tugas tersebut?

Apa yang bakal Anda lakukan jika tiba-tiba ditugaskan memimpin sebuah perusahaan besar yang sedang tidak performed? Langkah penting apa yang akan diambil sebagai CEO baru?

Bila belum juga menemukan jawabannya, tampaknya tak salah untuk mengenal kiprah Luthfi Mardiansyah dalam memimpin PT Pfizer Indonesia (PI). Dia juga mengalami masalah serupa ketika pertama kali ditugaskan sebagai CEO di perusahaan farmasi multinasional itu tahun 2007. Namun, kini, setelah berjalan tiga tahun, perusahaan yang ditanganinya itu mampu tampil kinclong dan terus sukses menjadi perusahaan farmasi asing terbesar di Indonesia.

Kisah kepemimpinan Luthfi di PI memang menarik dan kaya akan pembelajaran, khususnya tentang bagaimana membenahi perusahaan yang tengah dirundung demotivasi. Kiprahnya di PI dimulai pada Februari 2007 ketika ditugaskan pulang ke Indonesia setelah enam tahun di Cina. Sebelumnya, di Cina, dia menjadi eksekutif Capsugel China, anak usaha Pfizer Group yang memproduksi berbagai jenis kapsul. Di Negeri Tirai Bambu kinerja Capsugel yang dipimpinnya juga sangat baik sehingga manajemen Pfizer kemudian memanggil pulang ke Indonesia karena ada tantangan besar yang harus dibenahi.

Ketika pertama kali bergabung dengan PI, Luthfi tidak langsung menjabat CEO, tetapi menjadi Direktur Penjualan dulu selama beberapa bulan – CEO masih dijabat ekspatriat. Begitu ditugaskan sebagai CEO, dia pun menganalisis perusahaan dan menyadari bahwa organisasi yang dipimpinnya memang tidak sedang pada kinerja yang baik. “Saya ingat ketika kuartal I/2007, penjualan turun sekitar 30%,” dia mengawali cerita.

Saat itu secara global Pfizer sedang gencar mereorganisasi bisnis. Beberapa bisnis direstrukturisasi dan hal itu juga berimbas pada bisnisnya di Indonesia. Saat itu, sejumlah mitra bisnis Pfizer seperti distributor dan dokter banyak yang bertanya-tanya ada apa dengan PI. Di internal karyawan pun banyak keresahan karena kondisi itu. Di sisi lain, secara organisasi, PI telanjur besar, telanjur gendut, sehingga lamban. Beban untuk berjalan sedemikian tidak ringan. “Saya lihat komunikasi di perusahaan juga nggak jelas sehingga karyawan resah,” kata mantan profesional Grup Indofood ini mengenang.

Dari sisi organisasi, Luthfi melihat seharusnya organisasinya tidak perlu segemuk saat itu. Selain itu, dari sisi produk, banyak pembenahan pemasaran yang juga mesti dilakukan. Contoh kecilnya ialah Viagra, salah satu produk Pfizer yang citra mereknya semakin tak terkendali karena banyak pedagang kecil yang mengiklankan Viagra sebagai obat impotensi — kondisi itu tak sesuai dengan visi Pfizer yang menjadikan obat itu sebagai obat resep solusi hubungan suami-istri. “Seharusnya perusahaan sebagai pemilik brand yang mengendalikan dan mengelola arah pencitraan brand, namun saat itu Viagra telanjur ter-branding tidak sesuai dengan harapan perusahaan,” ujarnya.

Sejumlah langkah penting diambil Luthfi untuk membenahi kondisi yang terjadi. Pertama, aspek komunikasi. Dia tergolong orang yang meyakini tugas terpenting CEO ialah komunikasi, komunikasi, dan komunikasi. Dia melihat karyawan saat itu resah karena kurang tahu ke mana arah perusahaan, apalagi saat itu secara global memang ada perubahan. “Yang penting, bagaimana berkomunikasi dengan teman-teman. Termasuk dengan karyawan di lapangan sebagai ujung tombak perusahaan. Mereka harus kami perhatikan lebih baik, kami harus take care lebih banyak ke mereka,” kata lelaki tamatan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ini. Dalam rangka membangun komunikasi itu, dia sangat intens mengunjungi cabang-cabang dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia, termasuk ke dokter-dokter dan distributor.

Luthfi dan timnya ingin meyakinkan bahwa tidak ada masalah dengan PI. Semua baik-baik saja. Dia teringat, pada awal-awal memimpin, waktunya habis untuk berkeliling Indonesia membangun komunikasi dengan stakeholders. “Waktu Pak Luthfi lebih banyak di lapangan saat itu. Traveling terus setiap minggu,” demikian komentar Chrisma Albanjar, Direktur Public Affairs PI, yang bergabung dalam tim Luthfi sejak 2007.

Kemudian, secara internal, Luthfi mencoba melancarkan jalur-jalur komunikasi yang masih tersendat. “Saya lebih sering berdialog dan (menggunakan) e-mail untuk mengomunikasikan segala sesuatunya,” ungkapnya. Sebab itu, kata kunci yang selalu digembar-gemborkan ialah teamwork, kolaborasi dan dialog terbuka. Dia tak ingin karyawannya mengalami demotivasi. “Saya selalu bilang, kerjakan tugas teman-teman semua dengan baik, yang lain sudah ada yang ngurus. Semua harus fokus pada tugasnya,” kelahiran 31 Maret 1963 ini menjelaskan prinsipnya. Pendeknya, saat-saat awal melakukan misi turnaround, dia menciptakan banyak dialog dan komunikasi agar arah perusahaan menjadi jelas di mata karyawan. Pola komunikasinya sendiri bermacam-macam. Dari one on one hingga meeting dengan kelompok-kelompok.

Sudah tentu untuk memotivasi karyawan, dalam pertemuan formal pun, Luthfi dan timnya menjelaskan arah pengembangan perusahaan. Tahun 2007, misalnya, pada pertemuan tahunan di Batam, dilakukan kesepakatan bersama tentang target-target perusahaan.

Skala organisasi pun dibenahi. Saat itu Luthfi dan timnya melihat organisasi PI terlalu besar sehingga cenderung kurang lincah. Dia memberi contoh, dalam departemen penjualan, dulu sangat berjenjang: medical representative, manajer distrik, manajer penjualan regional, manajer penjualan dan direktur penjualan. “Ini kami potong sehingga tinggal medrep, manajer area dan manajer penjualan,” katanya. Sekarang banyak sekali manfaat yang dirasakan dari pemangkasan itu. Yang terpenting: pengambilan keputusan bisa lebih cepat. Selain itu, banyak orang yang kariernya kemudian naik. Dulu untuk menjadi manajer penjualan, rentang yang harus dilakui panjang sekali.

Memang tak bisa dimungkiri, pembenahan itu diikuti dengan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 80 karyawan. “Saya cenderung lebih suka membereskan sekalian. Kalau toh memotong, hanya sakit sekali, namun setelah itu beres. Daripada mulur-mulur nggak jelas,” ujarnya. Yang pasti, PHK itu juga dibarengi dengan komunikasi ke karyawan agar tidak beredar isu yang tak kondusif.

Dalam upaya memompa kinerja, Luthfi juga memperbaiki sistem yang sudah ada. Salah satu contoh yang paling kentara ialah perbaikan pada sistem manajemen kinerja dan sistem insentif. Kemudian juga dikembangkan sistem karier terpadu di bidang penjualan.

Ya, bagian penjualan memang menjadi fokus karena merupakan ujung tombak perusahaan. Luthfi teringat, waktu masih krisis itu, pihaknya memanggil sejumlah tenaga penjualan dari cabang-cabang untuk datang ke Jakarta. Mereka mendiskusikan perihal karier tenaga penjualan. Jadi, mereka dilibatkan dalam perumusan sistem karier.

Terobosan paling menarik yang dilakukan adalah caranya mendinamisasi tim. Untuk tim penjualan, misalnya. Luthfi rajin mengunjungi cabang-cabang dan menemani para medrep melakukan prospek ke dokter-dokter. “Kalau itu dilakukan seorang manajer, mungkin biasa. Namun presdir mau menemui medrep melakukan kunjungan ke dokter sampai pukul 12 malam menunggu pasien habis, tentu sangat jarang,” Chrisma mengomentari bosnya.

Biasanya kunjungan ke cabang selalu diiringi dengan makan malam bareng karyawan. Acara makan dilakukan bukan di restoran mahal, tetapi di lesehan di tepi jalan atau di warung kaki lima di pinggir jalan. Setelah mereka ditemani melakukan prospek ke dokter, mereka juga bisa sampaikan uneg-uneg langsung ke Luthfi saat makan. Mereka juga bisa sampaikan setelah acara main bulutangkis bareng. “Saya hanya ingin menunjukkan ke mereka bahwa dalam bekerja mereka tidak sendirian. Ada yang menemani. Hanya porsinya yang berbeda-beda,” kata Pak Presdir ini.

Contoh menarik, pada kuartal akhir 2007. Ketika itu omset masih kurang Rp 288 miliar dari yang ditargetkan. Maka untuk mengejar angka itu, angka 288 digembar-gemborkan Luthfi di mana-mana. “Angka 288 kami promosikan dan kontes di mana-mana sehingga karyawan melihat itu sebagai sesuatu yang harus dicapai,” katanya. Di ruang-ruang kantor ditempel angka 288. Lalu, bila di tepi jalan menemukan angka 288, langsung diprotret – misalnya ada bakmi 288. Kalau ketemu teman kantor, selalu bilang, “Salam 288.” Dengan ini, karyawan semua terlibat dan bergairah. “Tiap bulan kinerjanya kami track,” ujar Luthfi.

Ini belum termasuk manajemen produk. Contoh kecilnya, diadakan kontes khusus untuk penjualan produk-produk yang selama ini kurang diperhatikan. “Kami konteskan siapa yang bisa menjual paling banyak produk-produk yang sebelumnya kurang diapresiasi itu dan kami beri hadiah-hadiah bagi yang paling bagus,” ujarnya. Semua itu dibarengi upaya pemasaran, termasuk menjelaskan ke mitra dan konsumen terhadap produk-produk PI, termasuk menjelaskan posisi Viagra ke warung-warung kecil.

Tak lupa, upaya mendinamisasi karyawan dilakukan pula dengan terus mendengarkan aspirasi mereka. Karyawan tidak dilarang bicara kritis untuk mencari solusi. Tak mengherankan, dalam tiga tahun ini, tiap ada acara pertemuan tahunan seluruh karyawan (townhall meeting) selalu banyak pertanyaan kritis yang muncul. Karyawan bicara tanpa rasa takut.

Rupanya upaya pembenahan yang dilakukan selama kepemimpinan Luthfi tidak sia-sia. Motivasi karyawan terdongkrak. Kinerja perusahaan naik. “Dalam tiga tahun ini kami tumbuh double digit terus,” kata Luthfi. “Akhir tahun 2007 kami bisa buktikan ke semua pihak, termasuk karyawan dan pelanggan, bahwa Pfizer still exist. Tahun 2008 dan 2009 terus berjalan dengan baik,” imbuhnya. PI yang sempat memangkas orang di tahun 2007 pun kini terus mengembangkan bisnisnya dan bahkan kembali menambah karyawan karena memang ada kebutuhan baru. Saat ini jumlah karyawan sekitar 1.000 orang — termasuk 500 salesforce dan 300-an karyawan pabrik. Lebih dari itu, proses organisasi kini menjadi lebih ramping, lebih efisien. Keputusan bisa diambil lebih cepat dan lebih fokus ke pelanggan dan bisnis.

Tak ayal, PI tetap sanggup menancapkan posisinya sebagai perusahaan farmasi asing terbesar di Indonesia. Target omset Rp 1 triliun pada 2012 yang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu tampaknya akan bisa dicapai setahun lebih awal. PI juga memastikan akan menambah kapasitas produksi pabriknya (hingga 50%) di Bogor, Jawa Barat, yang dimulai akhir 2010.

Yang menarik, meski hanya dengan 1.000 karyawan, PI mampu sejajar dengan pemain besar di farmasi seperti Kalbe Farma, Dexa dan Sanbe yang notabene karyawannya jauh lebih banyak. “Kami memang fokus pada produk di mana kami unggul, tidak main diversifikasi ke mana-mana,” kata Luthfi memberi alasan. PI fokus di obat ethical. Beberapa produk obat andalannya antara lain obat-obat untuk anti-inflamasi, kardiovaskuler, antidepresi, antidiabetes, kanker, disfungsi ereksi dan glaukoma. Merek yang cukup dikenal antara lain Visine, Combantrin, Viagra dan Ponstan.

Berdasarkan data sebuah perusahaan riset farmasi terkemuka, penjualan obat ethical PI periode Juni 2009-Juli 2010 telah menyentuh Rp 853 miliar, dengan pangsa pasar 4,3%. Bisnis farmasi memang dikenal sebagai industri yang persaingannya sangat ketat sehingga penguasaan pasarnya amat terfragmentasi. Kalbe sebagai pemain terbesar di farmasi bahkan hanya mampu menguasai pangsa 7,7%. Pangsa seperti yang sekarang dikuasai PI jelas sudah sangat signifikan.

Lilik Agung, pemerhati bidang manajemen, melihat apa yang dilakukan Luthfi tepat karena bicara tentang reorganisasi, maka mayoritas terjadi demotivasi pada banyak karyawan. “Apalagi jika reorganisasi juga menyangkut reorganisasi jumlah karyawan dan terjadi PHK. Menumbuhkan semangat, meyakinkan karyawan akan masa depan perusahaan dan masa depannya diperlukan. CEO harus turun langsung ke karyawan dan

berkomunikasi langsung dengan mereka. Urusan eksternal (pihak luar, konsumen) akan terselesaikan dengan sendirinya apabila urusan internal sudah solid,” Lilik memberi alasan.

Dia melihat ada banyak cara membenahi organisasi bermasalah. “Tergantung konteksnya. Untuk konteks PI akibat dari kebijakan Pfizer global, maka meyakinkan karyawan akan masa depannya dan perusahaan perlu dikedepankan,” ujarnya. Selain itu, juga menyatukan visi perusahaan-karyawan, membangun soliditas tim, melakukan komunikasi yang intensif, dan membangkitkan motivasi. “Kesuksesan dalam melakukan transformasi bisnis sangat ditentukan kecakapan CEO dalam mengendalikan perubahan serta konsistensi manajemen untuk terus-menerus mengawal dinamika yang terjadi,” papar Lilik.

Luthfi menjelaskan, proses transfomasi untuk men-turnaround perusahaannya sebenarnya tidak menemui hambatan yang sangat berat. “Hambatannya lebih pada visi dan persepsi yang berbeda-beda dari karyawan sehingga butuh penyatuan visi dan persepsi,” ungkapnya. Menurut dia, dalam proses restrukturisasi, tahapan paling genting biasanya pada tiga bulan pertama. “Itu masa-masa transisi. Tapi kalau karyawan tahu bahwa transisi itu memang perlu, mereka akan senang melakukannya dan memang hasilnya bisa kelihatan. Tugas saya meyakinkan kepada karyawan, ‘You are the best. Masa kita nggak bisa mencapai ke sana?’.”

Kini, PI sudah kembali ke jalur yang sebenarnya. Dan Luthfi pun telah menjawab tantangan yang diberikan. Namun laiknya sebuah performa, dia akan diuji dari waktu ke waktu. Inilah tantangan Luthfi dan keluarga besar PI: mempertahankan dan meningkatkan prestasi yang ada.

Riset: Rachmanto Aris D.

Infografis

Sukses Pembenahan Pfizer Indonesia

Sebelum Pembenahan

- Kuartal I/2007 omset turun 30%

- Karyawan resah, efek dari reorganisasi global

- Beberapa mitra bisnis bertanya-tanya soal kondisi Pfizer

- Organisasi perusahaan terlalu gendut

- Birokrasi memanjang, proses pengambilan keputusan lama

Setelah Pembenahan

Tiap tahun selalu tumbuh dua digit

Organisasi lebih ramping karena jenjang karier disederhanakan

Komunikasi perusahaan-karyawan semakin terbuka dan lancar

Pengambilan keputusan lebih cepat

Performance management system diarahkan untuk reward system

(Swa Online)